Tokoh NU dan Muhammadiyah Menolak Gelar Pahlawan Nasional untuk Soeharto

Peristiwa | 09 Nov 2025 | 14:03 WIB
Tokoh NU dan Muhammadiyah Menolak Gelar Pahlawan Nasional untuk Soeharto
Mantan Presiden Soeharto ketika mengumumkan pengunduran dirinya pada 21 Mei 1998. (Foto: Istimewa)

Uwrite.id - Dua tokoh ormas Islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, menyatakan menolak rencana pemerintah menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden ke-2 RI, Soeharto.

Penolakan ini muncul karena dinilai tidak sesuai dengan prinsip moral dan sejarah perjuangan bangsa. Para tokoh dari kedua organisasi menilai, gelar pahlawan hanya layak diberikan kepada sosok yang memiliki integritas tanpa noda pelanggaran hak asasi manusia maupun korupsi.

Dari kalangan Muhammadiyah, suara keberatan disampaikan oleh Usman Hamid, pengurus Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) Pimpinan Pusat Muhammadiyah.
Menurutnya, kriteria pahlawan nasional seharusnya tidak sekadar diukur dari lamanya seseorang berkuasa, tetapi dari keteguhan moral dan keberanian menegakkan kebenaran.

“Kalau seseorang meninggal dunia dalam keadaan terlibat kejahatan — entah pelanggaran HAM, korupsi, atau kejahatan lingkungan — sulit rasanya menyebutnya pahlawan,” ujar Usman dalam keterangan tertulis, Kamis (6/11/25).

Rebuwes dan Jejak Bahasa Belanda dalam Bahasa Jawa: Sejarah, Budaya, dan Cerita Kehidupan

Usman menyoroti bahwa kasus dugaan korupsi yang melibatkan Soeharto tidak pernah benar-benar tuntas secara hukum.

“Soeharto wafat saat proses hukum terhadap dugaan korupsinya belum selesai. Bahkan di Asia Tenggara, ia pernah dinilai sebagai salah satu pemimpin paling buruk karena praktik kekuasaan yang koruptif,” tambahnya.

Ia menegaskan, pahlawan sejati bukanlah mereka yang lama berkuasa, melainkan yang berani melawan arus demi keadilan dan kesejahteraan rakyat.

“Bagaimana mungkin Soeharto disandingkan dengan Gus Dur atau Marsinah yang justru berjuang untuk kebenaran dan kemanusiaan?” tuturnya.

Mengulik Manfaat Nasi Thiwul: Alternatif Sehat Pengganti Nasi dengan Kandungan Gizi Tinggi

Sikap serupa juga datang dari kalangan Nahdlatul Ulama. KH Ahmad Mustofa Bisri (Gus Mus), Mustasyar PBNU, menyatakan secara terbuka ketidaksetujuannya terhadap rencana pemberian gelar tersebut.

“Saya paling tidak setuju kalau Soeharto dijadikan Pahlawan Nasional,” ujar Gus Mus, Rabu (5/11/25).

Gus Mus mengenang masa kelam Orde Baru yang menurutnya penuh tekanan terhadap kalangan ulama dan pesantren. Ia menyebut banyak kiai yang mengalami perlakuan tidak adil, bahkan hingga dipaksa mendukung Golkar.

“Banyak kiai yang masuk sumur, papan nama NU tidak boleh dipasang. Adik saya sendiri, Kiai Adib Bisri, keluar dari PNS karena menolak masuk Golkar,” kenangnya.

Ia juga menuturkan kisah Kiai Sahal Mahfudh yang menolak menjadi penasihat Golkar Jawa Tengah, sebagai contoh sikap moral ulama yang tidak mau tunduk pada kekuasaan.

Mengapa Raja Surakarta Dimakamkan di Yogyakarta? Menelusuri Jejak Sejarah Dinasti Mataram di Imogiri

Lebih jauh, Gus Mus menyinggung bahwa banyak kiai dan pejuang bangsa yang berjasa besar, namun keluarganya tidak pernah mengajukan gelar pahlawan karena menjaga keikhlasan amal perjuangan.

“Banyak kiai yang berjuang, tapi keluarganya tidak mau mengajukan gelar pahlawan agar amalnya tidak berkurang. Mereka menghindari riya’,” ujar Rais Aam PBNU periode 2014–2015 itu.

Menurut pengasuh Pesantren Raudlatut Thalibin, Leteh, Rembang, mereka yang mendukung pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto justru menunjukkan ketidaktahuan terhadap sejarah.

“Kalau ada orang NU yang ikut mendukung, berarti tidak ngerti sejarah,” tegasnya.

Wacana pemberian gelar Pahlawan Nasional untuk Soeharto memang memicu perdebatan di berbagai kalangan. Sebagian tokoh politik menilai langkah itu sebagai bentuk penghargaan atas stabilitas pembangunan di era Orde Baru, sementara kalangan aktivis dan akademisi menganggapnya sebagai bentuk pengabaian terhadap pelanggaran HAM dan korupsi yang terjadi selama masa kekuasaannya.

Pemerintah sendiri belum memberikan keterangan resmi terkait kelanjutan rencana pemberian gelar tersebut. Namun, perbedaan pandangan antara kelompok pendukung dan penolak tampaknya akan terus menjadi perdebatan panjang dalam memaknai sejarah dan kepahlawanan bangsa.

Menulis di Uwrite bisa dapat penghasilan, Investasikan tulisan anda sekarang juga
Daftar di sini

Jika anda keberatan dan memiliki bukti atau alasan yang kuat bahwa artikel berita ini tidak sesuai dengan fakta, anda dapat melakukan pengaduan pada tautan ini

Tulis Komentar