Rebuwes dan Jejak Bahasa Belanda dalam Bahasa Jawa: Sejarah, Budaya, dan Cerita Kehidupan

Budaya | 07 Nov 2025 | 22:52 WIB
Rebuwes dan Jejak Bahasa Belanda dalam Bahasa Jawa: Sejarah, Budaya, dan Cerita Kehidupan
Sebuah truk dihentikan polisi dan didenda karena tidak memiliki Rebuwes. Kejadian di Lampung antara tahun 1932-1933. (Foto : Rijksmuseum.nl)

Uwrite.id - Belakangan ini beredar sebuah video yang memperlihatkan Sri Sultan Hamengku Buwono X menggunakan istilah “rebuwes” dalam percakapan di sebuah acara. Ucapan tersebut langsung menarik perhatian publik, terutama kalangan generasi muda yang mengaku jarang, bahkan belum pernah mendengar kata tersebut sebelumnya. Padahal, istilah sederhana tersebut menyimpan sejarah panjang tentang bagaimana bahasa Belanda meninggalkan jejaknya dalam bahasa Jawa pada masa kolonial, sekaligus mencerminkan kreativitas lidah Jawa dalam mengadaptasi kata asing.

Kata rebuwes berasal dari bahasa Belanda Rijbewijs, yang berarti surat izin mengemudi (SIM). Lidah Jawa pada masa itu menyesuaikan pelafalannya menjadi rebuwes, sehingga terdengar alami dalam percakapan sehari-hari. Banyak orang tua yang masih mengingat, sewaktu muda mereka harus mengantri untuk mendapatkan rebuwes ketika baru belajar mengemudi, sebelum istilah “SIM” populer digunakan. Namun, belakangan istilah ini mulai jarang terdengar, terutama di kalangan generasi muda.

Surat ijin mengemudi yang dikeluarkan tahun 1925, pemilik beralamatkan Surakarta. (Foto:Istimewa)

Tidak hanya rebuwes, ada banyak istilah Belanda yang diadopsi ke bahasa Jawa dan pernah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Misalnya:

Stanplat, dari standplaats, yang berarti tempat parkir atau pangkalan kendaraan. Banyak orang tua menceritakan bagaimana mereka dulu menunggu di stanplat sambil menonton aktivitas kendaraan di pasar, pelabuhan atau stasiun kereta.

Afdruk, yang berarti hasil cetak foto, tetapi di lidah Jawa sering disebut adrep poto. Dulu, anak-anak akan dengan antusias menunggu adrep poto mereka dari studio foto Belanda yang pertama kali masuk ke kota-kota besar.

Brandweer, yang berarti pemadam kebakaran, dahulu dikenal sebagai blangwir. Beberapa generasi masih ingat cerita tetangga atau kerabat yang harus memanggil blangwir ketika ada kebakaran kecil di kampung.

Brug, yang berarti jembatan, menjadi di bruk dalam bahasa Jawa. Orang tua sering menyebut jalan rusak atau yang sedang diperbaiki sebagai “di bruk”, sehingga anak-anak mengerti bahwa jalan tersebut belum bisa dilewati.

Sri Sultan Hamengku Buwono X Datangi Karaton Surakarta, Sampaikan Dukacita atas Wafatnya PB XIII

Selain contoh di atas, ada banyak kata lain yang kini jarang digunakan, tetapi dulunya lumrah di percakapan sehari-hari. Kata-kata ini menjadi saksi sejarah bagaimana masyarakat Jawa mampu menyerap istilah asing, menyesuaikannya, dan menjadikannya bagian dari budaya lokal. Banyak kata yang hanya tersisa dalam cerita orang tua, sehingga menjadi harta linguistik yang mulai memudar seiring waktu.

Mengapa Raja Surakarta Dimakamkan di Yogyakarta? Menelusuri Jejak Sejarah Dinasti Mataram di Imogiri

Sejarah linguistik ini erat kaitannya dengan konteks sosial dan budaya pada masa penjajahan. Kota-kota besar seperti Yogyakarta, Surakarta, Semarang, dan Batavia menjadi pusat administrasi, pendidikan, dan perdagangan, di mana interaksi antara Belanda dan masyarakat lokal terjadi secara intens. Dalam konteks ini, istilah-istilah Belanda menjadi bagian dari percakapan sehari-hari, baik formal maupun informal, dan sering kali melekat dalam kosakata lokal untuk menamai benda, pekerjaan, atau kegiatan tertentu.

Buku panduan ujian untuk mendapatkan rebewes C (SIM C), edisi tahun 1959.  (Foto: Darus vespa)

Sri Sultan Hamengku Buwono X menyinggung rebuwes dalam video tersebut sebagai contoh bagaimana kata-kata lama menyimpan sejarah dan budaya. Memahami istilah-istilah ini bukan sekadar nostalgia, tetapi juga cara untuk menghargai perjalanan sejarah, melihat adaptasi bahasa, dan memahami kekayaan budaya masyarakat Jawa. Kata sederhana seperti rebuwes atau blangwir ternyata memuat cerita panjang tentang kehidupan masyarakat, inovasi teknologi, dan hubungan sosial pada masa lampau.

Kini, istilah-istilah tersebut memang sudah jarang digunakan. Anak muda lebih akrab dengan istilah modern, seperti “SIM” untuk rebuwes, “pemadam kebakaran” resmi untuk blangwir, atau “cetak foto” untuk adrep poto. Namun, meski jarang terdengar, kata-kata ini tetap menyimpan nilai sejarah yang penting. Mereka menjadi pengingat akan kekayaan budaya, kreativitas masyarakat, dan cara bahasa hidup dan beradaptasi seiring waktu.

Kabar Duka dari Keraton Surakarta, Sri Susuhunan Pakubuwono XIII Wafat di Usia 77 Tahun

Keindahan perpaduan bahasa Belanda dan Jawa ini tidak hanya terlihat dari kata-kata yang terdengar unik, tetapi juga dari cerita yang menyertainya. Setiap istilah membawa ingatan tentang kehidupan sehari-hari di masa lalu, bagaimana orang tua menunggu di stanplat, memanggil blangwir, atau menerima adrep poto dari studio foto. Kata-kata ini adalah jembatan antara generasi, yang menghubungkan kita dengan sejarah, budaya, dan kreativitas lidah Jawa.

Sungguh, perpaduan bahasa ini adalah salah satu keindahan budaya yang patut diapresiasi. Menghargai istilah-istilah lama berarti menghargai sejarah, budaya, dan kekayaan bahasa yang terus hidup hingga kini, meski jarang digunakan. Kata sederhana seperti rebuwes, di bruk, atau blangwir bukan sekadar istilah, tetapi cermin sejarah panjang, adaptasi budaya, dan kreativitas masyarakat Jawa yang patut dikenang dan dilestarikan.

Menulis di Uwrite bisa dapat penghasilan, Investasikan tulisan anda sekarang juga
Daftar di sini

Jika anda keberatan dan memiliki bukti atau alasan yang kuat bahwa artikel berita ini tidak sesuai dengan fakta, anda dapat melakukan pengaduan pada tautan ini

Tulis Komentar