Mengapa Raja Surakarta Dimakamkan di Yogyakarta? Menelusuri Jejak Sejarah Dinasti Mataram di Imogiri

Uwrite.id - Kabar duka menyelimuti Tanah Jawa. Sri Susuhunan Pakubuwono XIII Hangabehi, Raja Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat, wafat pada Minggu pagi, 2 November 2025, di RS Indriati, Solo Baru, Sukoharjo. Raja yang dikenal bijaksana dan bersahaja ini mengembuskan napas terakhir pada usia 77 tahun.
Namun di balik duka itu, muncul pertanyaan dari sebagian masyarakat: mengapa Raja Surakarta akan dimakamkan di Yogyakarta, tepatnya di kompleks Makam Raja-Raja Mataram di Imogiri? Pertanyaan ini menarik karena secara administratif, Surakarta dan Yogyakarta adalah dua entitas berbeda—hasil dari pembagian kerajaan Mataram Islam pada abad ke-18.
Untuk memahami jawabannya, kita perlu menelusuri sejarah panjang dinasti Mataram dan makna sakral Imogiri dalam budaya Jawa.
Akar Sejarah: Imogiri sebagai Warisan Mataram Islam
Kompleks makam raja-raja di Imogiri dibangun pada masa pemerintahan Sultan Agung Hanyokrokusumo, Raja Mataram Islam yang berkuasa antara tahun 1613 hingga 1645. Menurut catatan dari budaya.jogjaprov.go.id, pembangunan kompleks tersebut dimulai sekitar tahun 1632 M di atas Bukit Merak Imogiri, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Kabar Duka dari Keraton Surakarta, Sri Susuhunan Pakubuwono XIII Wafat di Usia 77 Tahun
Sultan Agung tidak memilih lokasi itu secara sembarangan. Dalam pandangan kosmologi Jawa, gunung atau tempat tinggi dianggap sebagai wilayah yang dekat dengan kahyangan (alam para dewa). Imogiri sendiri berasal dari kata “Himma Giri” atau “bukit surga”. Tempat itu diyakini sebagai titik pertemuan antara dunia manusia dan dunia spiritual, simbol keseimbangan antara alam nyata dan gaib.
Sultan Agung memutuskan untuk menjadikan Imogiri sebagai makam dinasti Mataram, agar para penerusnya kelak tetap bersatu dalam satu garis spiritual meski kerajaan mengalami perubahan politik. Setelah wafat pada tahun 1645, Sultan Agung pun menjadi orang pertama yang dimakamkan di Imogiri.
Perjanjian Giyanti: Awal Terbentuknya Dua Keraton
Sekitar satu abad kemudian, tepatnya pada tahun 1755, terjadi peristiwa besar dalam sejarah Jawa: Perjanjian Giyanti. Kesepakatan ini membagi Kerajaan Mataram menjadi dua kekuasaan — Kasunanan Surakarta yang dipimpin oleh Pakubuwono III, dan Kasultanan Yogyakarta yang dipimpin oleh Pangeran Mangkubumi bergelar Sultan Hamengkubuwono I.
Pembagian wilayah itu bukan hanya bersifat politik, tetapi juga administratif dan kultural. Namun, satu hal tetap dijaga bersama: makam leluhur di Imogiri. Baik Surakarta maupun Yogyakarta menganggap Imogiri sebagai tempat suci warisan bersama dari nenek moyang mereka, Sultan Agung.
Sejak saat itu, kompleks makam Imogiri terbagi menjadi dua wilayah:
* Bagian barat (Kasunanan Surakarta)
* Bagian timur (Kasultanan Yogyakarta)
Masing-masing memiliki pintu gerbang, penjaga, dan tata cara ritual yang sedikit berbeda, tetapi tetap dalam satu kawasan yang sama. Hal ini menjadi simbol bahwa meski Mataram terpecah secara politik, secara spiritual dan genealogis mereka tetap satu garis keturunan.
Tradisi Pemakaman Raja Surakarta di Imogiri
Sejak masa Pakubuwono III hingga masa kini, semua raja Kasunanan Surakarta dimakamkan di bagian barat kompleks Imogiri. Tradisi ini sudah berlangsung lebih dari dua setengah abad.
Beberapa di antaranya antara lain:
* Pakubuwono III (1755–1788)
* Pakubuwono IV (1788–1820)
* Pakubuwono X (1893–1939) — raja yang terkenal karena kedekatannya dengan rakyat dan masa kejayaan Surakarta.
* Pakubuwono XII (1945–2004)
* Dan kini, Pakubuwono XIII (1948–2025) menyusul leluhurnya di tempat yang sama.
Tradisi pemakaman ini dilaksanakan dengan tata cara adat yang ketat. Jenazah terlebih dahulu disemayamkan di Keraton Surakarta untuk diberi penghormatan terakhir, kemudian diberangkatkan menuju Imogiri melalui prosesi kirab. Para abdi dalem dan keluarga keraton mengenakan busana adat, sementara doa dan tembang macapat mengiringi perjalanan suci menuju “pajimatan” — tempat peristirahatan terakhir para raja.
Makna Filosofis: Kesatuan Leluhur dan Kesakralan Tanah Jawa
Pemakaman raja Surakarta di Imogiri tidak hanya persoalan tradisi turun-temurun, tetapi juga memiliki makna filosofis yang mendalam.
Dalam pandangan kosmologi Jawa, raja dianggap sebagai “titisan wahyu”, yaitu sosok yang menerima legitimasi spiritual dari Sang Pencipta untuk menjaga keseimbangan jagat. Maka, ketika wafat, raja tidak sekadar dimakamkan — ia “kembali” ke asalnya, ke tempat di mana wahyu itu pertama kali turun dalam garis keturunan dinasti Mataram.
Budiman Sudjatmiko Gerakkan BP Taskin: Dari Bantuan Sosial Menuju Pembangunan Sosial
Imogiri menjadi simbol kesatuan antara dunia fana dan dunia spiritual, sekaligus lambang keabadian dinasti Mataram yang tak pernah benar-benar terpisah, meski politik membaginya menjadi dua keraton. Karena itu, pemakaman PB XIII di Imogiri adalah bentuk penghormatan terhadap akar sejarah yang sama.
Imogiri dalam Perspektif Modern
Kini, kompleks Makam Raja-Raja Mataram di Imogiri tidak hanya menjadi tempat ziarah rohani, tetapi juga situs sejarah dan cagar budaya nasional. Kompleks tersebut dikelola bersama oleh dua keraton, Surakarta dan Yogyakarta, dan menjadi simbol penting bagi pelestarian budaya Jawa.
Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta juga telah menempatkan Imogiri sebagai salah satu destinasi wisata sejarah spiritual, dengan tetap menjaga kesakralannya. Setiap tahun, terutama menjelang bulan Sura dalam kalender Jawa, ribuan peziarah datang untuk berdoa dan berziarah ke makam Sultan Agung serta para penerusnya.
Tradisi yang Menyatukan Dua Keraton
Dengan demikian, pemakaman Pakubuwono XIII di Imogiri Yogyakarta bukanlah hal yang aneh atau baru. Ia adalah kelanjutan dari tradisi ratusan tahun yang telah dijalankan sejak era Sultan Agung — tradisi yang menyatukan dua keraton, dua wilayah, tetapi satu leluhur.
Bagi masyarakat Jawa, Imogiri bukan sekadar tanah peristirahatan, tetapi tanah simbol kesetiaan terhadap sejarah dan leluhur. Maka ketika Raja Surakarta terakhir berpulang dan dimakamkan di sana, itu bukan pemindahan wilayah — melainkan sebuah perjalanan pulang ke asal, ke rahim sejarah yang sama, tempat semua raja Mataram bersemayam dalam keabadian.

Tulis Komentar