Korupsi Bantuan Korban Banjir Bandang di Samosir, Kepala Dinas Sosial Jadi Tersangka

Uwrite.id - Bantuan negara yang semestinya menjadi penopang pemulihan ekonomi korban bencana alam justru berubah menjadi ladang korupsi. Kejaksaan Negeri Samosir menetapkan Kepala Dinas Sosial dan Pemerintahan Masyarakat Desa Kabupaten Samosir berinisial FAK sebagai tersangka dugaan korupsi bantuan penguatan ekonomi bagi korban banjir bandang.
Bantuan tersebut bersumber dari Kementerian Sosial Republik Indonesia dengan nilai total Rp 1,5 miliar, yang dialokasikan untuk membantu 303 kepala keluarga terdampak banjir bandang di Desa Sihotang, Kecamatan Harian, pada 2023. Namun, dalam praktiknya, penyaluran bantuan diduga menyimpang jauh dari tujuan awal.
Kepala Seksi Intelijen Kejaksaan Negeri Samosir, Richard Simaremare, menyatakan penetapan tersangka dilakukan setelah penyidik mengantongi alat bukti yang cukup.
“Penetapan tersangka FAK selaku Kepala Dinas Sosial dan Pemerintahan Masyarakat Desa Kabupaten Samosir terkait dugaan korupsi bantuan penguatan ekonomi korban bencana alam banjir bandang di Samosir Tahun 2024,” kata Richard, Senin (22/12/25).
Berdasarkan hasil penyidikan, total anggaran bantuan yang dikelola mencapai Rp 1.515.000.000. Dari perhitungan kerugian keuangan negara, ditemukan potensi kerugian sebesar Rp 516.298.000.
“Bahwa telah dilakukan perhitungan kerugian keuangan negara dan diperoleh kerugian keuangan negara sebesar Rp 516.298.000,” ujar Richard.
Penyimpangan bermula ketika tersangka diduga mengubah mekanisme penyaluran bantuan. Rencana awal bantuan berupa transfer tunai langsung kepada penerima manfaat justru diubah menjadi bantuan barang, tanpa alasan yang sah dan tanpa persetujuan dari Kementerian Sosial RI.
Sabotase di Tengah Bencana: Baut Jembatan Dicopot, Nyawa Rakyat Dipertaruhkan
Lebih jauh, FAK diduga secara sepihak menunjuk Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) bersama Marsada Tahi sebagai penyedia barang. Penunjukan tersebut dilakukan tanpa melalui mekanisme persetujuan kementerian dan berpotensi melanggar ketentuan pengadaan bantuan sosial.
Tak hanya itu, penyidik juga menemukan dugaan adanya penyisihan dana sebesar 15 persen dari total nilai bantuan yang diminta oleh tersangka untuk kepentingan pribadi dan pihak lain. Praktik ini bukan hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga memangkas hak korban bencana yang seharusnya menerima bantuan secara utuh.
Kasus ini kembali menyoroti lemahnya pengawasan penyaluran bantuan sosial, khususnya pada fase pascabencana ketika masyarakat berada dalam kondisi paling rentan. Alih-alih menjadi instrumen pemulihan, bantuan justru berubah menjadi objek manipulasi oleh pejabat yang diberi kewenangan.
Kejaksaan menegaskan penyidikan tidak akan berhenti pada satu tersangka.
“Penyidikan akan terus dikembangkan untuk mengungkap secara menyeluruh pihak-pihak yang bertanggung jawab dalam perkara ini,” kata Richard.
Usai ditetapkan sebagai tersangka, FAK langsung menjalani pemeriksaan kesehatan dan dinyatakan sehat oleh dokter. Selanjutnya, ia ditahan di Lembaga Pemasyarakatan Kelas III Pangururan selama 20 hari ke depan guna kepentingan penyidikan.
“Terhadap tersangka FAK dilakukan pemeriksaan kesehatan dan oleh dokter dinyatakan sehat. Kemudian, tersangka dilakukan penahanan di Lapas Kelas III Pangururan selama 20 hari ke depan,” pungkas Richard.
Kasus ini menjadi peringatan keras bahwa korupsi bantuan sosial bukan sekadar kejahatan administrasi, melainkan pengkhianatan terhadap kemanusiaan. Di tengah penderitaan korban bencana, negara dituntut memastikan setiap rupiah bantuan sampai ke tangan yang berhak—bukan bocor di meja birokrasi.

Tulis Komentar