Sabotase di Tengah Bencana: Baut Jembatan Dicopot, Nyawa Rakyat Dipertaruhkan

Uwrite.id - Upaya penanganan bencana yang seharusnya menjadi ruang paling steril dari kepentingan apa pun justru tercoreng oleh dugaan tindakan sabotase. Sejumlah baut pengunci Jembatan Bailey di Desa Teupin Mane, Kecamatan Juli, Kabupaten Bireuen, Aceh, ditemukan dalam kondisi dicopot oleh orang tak dikenal. Tindakan ini bukan sekadar perusakan fasilitas, tetapi berpotensi mengancam nyawa warga yang menggantungkan akses hidupnya pada jembatan darurat tersebut.
Jembatan Bailey itu dibangun oleh prajurit TNI Angkatan Darat sebagai jalur vital pascabencana. Namun pada Sabtu malam (27/12/25), ada pihak yang diduga sengaja mencopot baut-baut struktur jembatan. Aksi berbahaya itu baru diketahui pada Ahad pagi (28/12/25), sebelum sempat menimbulkan korban jiwa.
Penemuan tersebut langsung direspons dengan pengamanan ketat. Sejak saat itu, pembangunan dan penggunaan jembatan Bailey dijaga selama 24 jam oleh prajurit TNI AD guna mencegah kejadian serupa terulang.
Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal TNI Maruli Simanjuntak menyatakan kemarahannya secara terbuka. Dalam konferensi pers di Posko Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur, Senin (29/12/2025), Maruli menyebut tindakan itu sebagai perbuatan yang melampaui batas kemanusiaan.
“Masyarakat yang sedang bencana pun mau dikorbankan. Saya semalam tidak bisa tidur memikirkan ini. Orang sebiadab ini luar biasa,” ujar Maruli.
Maruli bahkan memperlihatkan rekaman video baut-baut yang telah dicopot. Baginya, sulit diterima nalar bahwa ada pihak yang tega mempertaruhkan keselamatan warga hanya demi tujuan tertentu yang belum jelas.
Menurut Maruli, sabotase tersebut mengindikasikan adanya upaya sistematis untuk menciptakan celaka di tengah masyarakat, sekaligus berpotensi menyudutkan negara dan aparat yang sedang bekerja di lapangan. Meski tidak menyebut siapa pelakunya, ia menegaskan bahwa tindakan semacam ini tidak bisa dianggap sebagai kejahatan biasa.
“Kalau pengkondisian membuat masyarakat mati, itu bukan pengkondisian. Itu biadab,” tegasnya.
Kasus ini membuka pertanyaan serius mengenai keamanan infrastruktur darurat di wilayah bencana. Jembatan Bailey bukan hanya bangunan teknis, tetapi jalur hidup bagi warga untuk mengakses logistik, layanan kesehatan, dan aktivitas pemulihan. Sabotase terhadap fasilitas semacam ini dapat berakibat fatal, terutama jika dilakukan tanpa terdeteksi.
Pengamat kebencanaan menilai, sabotase di tengah situasi darurat memiliki dampak berlapis. Selain risiko kecelakaan massal, kejadian semacam ini berpotensi memicu ketidakpercayaan publik, memperkeruh suasana sosial, dan mengganggu proses pemulihan psikologis korban bencana.
KSAD juga menepis kemungkinan bahwa tindakan pencopotan baut dilakukan oleh prajurit TNI AD sendiri. Menurutnya, dalam situasi penanganan bencana, mustahil muncul niat sejahat itu dari aparat yang justru bekerja tanpa henti membantu warga.
“Bagaimana mungkin dalam kondisi penanganan bencana terpikir ide seperti itu,” katanya.
Hingga kini, aparat masih melakukan pendalaman untuk mengungkap pelaku dan motif di balik tindakan tersebut. Belum ada kesimpulan resmi apakah sabotase ini bermotif kriminal, provokatif, atau memiliki agenda lain.
Di akhir pernyataannya, Maruli menyerukan persatuan seluruh elemen bangsa. Ia mengingatkan bahwa bencana tidak boleh dijadikan arena konflik, provokasi, atau kepentingan sempit apa pun.
“Dalam kondisi seperti ini kita harus kompak. Bernegara kita harus kompak,” ujarnya.
Kasus sabotase Jembatan Bailey di Bireuen menjadi peringatan keras bahwa ancaman terhadap keselamatan publik tidak selalu datang dari alam. Ketika solidaritas justru dirusak oleh tindakan tak bertanggung jawab, negara dan masyarakat dituntut hadir bersama: menjaga kemanusiaan, melindungi infrastruktur vital, dan memastikan bahwa penderitaan korban bencana tidak diperparah oleh ulah manusia.

Tulis Komentar