Indonesia Bukan Jepang atau Korea: Mundur, Jika Pemimpinnya Ada Anak Buah Salah, oleh Aendra Medita

Opini | 01 Sep 2025 | 19:21 WIB
Indonesia Bukan Jepang atau Korea: Mundur, Jika Pemimpinnya Ada Anak Buah Salah, oleh Aendra Medita
Aendra Medita, memiliki pandangan yang lateral mengenai tradisi mundur bagi pemimpin yang memiliki kesalahan fatal dalam tugasnya

Uwrite.id - Jakarta - Di berbagai belahan dunia, sikap pemimpin dalam menghadapi kesalahan bawahan bisa menjadi cermin budaya politik dan etika kepemimpinan suatu bangsa.

Contoh konkrit adalah Jepang dan Korea Selatan. Negara ini memiliki tradisi panjang di mana seorang pemimpin akan mengundurkan diri apabila bawahannya berbuat salah, atau dia sendiri yang salah atau bahkan baru diduga salan. 

Bahkan bila kesalahan itu tidak secara langsung tapi diindikasi ada yang melibatkan dirinya. Hal ini dilihat sebagai bentuk tanggung jawab moral yang lebih tinggi dari sekadar tanggung jawab hukum.

Di Indonesia, tradisi seperti itu hampir tidak pernah ditemui. Pemimpin cenderung tetap bertahan, meskipun anak buahnya melakukan kesalahan fatal, bahkan kasus korupsi sekalipun di dalam penjara saja anak buahnya masih sowan untuk minta tanda tangan. 

Bahkan apalagi jika partainya belum memecat dan sudah menjalani penjara dan bebas pun bahkan ada yang diangkat jadi dewan penasehat partainya. Tahu pasti Anda kan, belum lama ini terjadi.

Perbedaan ini membuka ruang diskusi penting tentang bagaimana kita memahami tanggung jawab, etika, dan kepemimpinan di negara ini. 

Etika Mundur di Jepang: Tanggung Jawab Sebagai Kehormatan

Jepang adalah salah satu contoh paling jelas dalam hal budaya tanggung jawab.

Konsep seppuku lebih dikenal dengan sebutan harakiri di masa samurai—yakni bunuh diri demi menjaga kehormatan—menjadi akar budaya yang memengaruhi etika kepemimpinan modern di Jepang. Kini tentu tidak lagi dengan pedang, tetapi dengan mengundurkan diri dari jabatan sebagai bentuk tanggung jawab moral.

Contohnya, pada tahun 2010, Menteri Transportasi Jepang Seiji Maehara mundur setelah menerima sumbangan politik kecil sekitar 50 ribu yen dari seorang warga Korea, meskipun jumlahnya kecil dan ia tidak secara pribadi memanfaatkannya. 

Bagi standar Indonesia, jumlah itu tidak seberapa, bahkan mungkin dianggap sepele. Namun bagi Maehara, itu merupakan pelanggaran etika, dan jalan terbaik adalah mundur.

Contoh lain adalah Perdana Menteri Jepang, Yukio Hatoyama, yang mundur pada 2010 karena gagal memenuhi janji kampanye untuk memindahkan pangkalan militer AS dari Okinawa. 

Ia tidak terjerat kasus hukum, tidak pula melakukan kejahatan, tetapi rasa tanggung jawab moral mendorongnya untuk menyerahkan jabatan. Bagi orang Jepang, mundur adalah kehormatan. Bagi orang Indonesia, sering kali justru sebaliknya: mundur dianggap kekalahan, bahkan kelemahan.

Etika Mundur di Korea Selatan: Transparansi dan Akuntabilitas

Korea Selatan memiliki tradisi serupa, meskipun tidak seketat Jepang. Pemimpin di sana juga terbiasa mundur apabila ada krisis besar atau kesalahan di lingkup bawahannya. Misalnya, pada 2014 terjadi tragedi ferry Sewol yang menewaskan ratusan pelajar. 

Perdana Menteri Korea Selatan saat itu, Chung Hong-won, mengundurkan diri meskipun ia tidak berada di kapal itu dan tidak mengendalikan langsung operasional penyelamatan. 

Kapal feri Korea Selatan, Sewol, terbalik pada tanggal 16 April 2014. Kapal ini mengangkut 476 penumpang, sebagian besar korban adalah siswa sekolah.

Chung Hong-won menyatakan bahwa ia gagal memberikan kepercayaan publik dan karena itu memilih mundur. Contoh lebih keras lagi adalah Park Geun-hye, Presiden Korea Selatan, yang akhirnya dimakzulkan dan dipenjara akibat skandal penyalahgunaan kekuasaan bersama seorang teman dekatnya, Choi Soon-sil. 

Kasus itu menunjukkan bagaimana di Korea Selatan, publik tidak ragu menuntut tanggung jawab hingga level tertinggi.

Dalam banyak kasus, pemimpin Korea memilih mundur atau dijatuhkan karena adanya tuntutan publik yang kuat. Transparansi dan demonstrasi publik menjadi kekuatan pendorong.

Di Dunia Barat: Mundur Sebelum Dipaksa

Bukan hanya Jepang dan Korea. Di Inggris, Belanda, Jerman, hingga Australia, kita bisa melihat contoh pemimpin yang mundur karena kesalahan, bahkan kesalahan kecil.

Negara seperti Inggris: Perdana Menteri Boris Johnson akhirnya mundur pada 2022 setelah skandal “Partygate”—pesta di kantor pemerintahan saat rakyat dikunci karena pandemi Covid-19. Ia tidak dipenjara, tetapi tekanan moral dan politik membuatnya tak bisa bertahan.

Belanda: Pada 2021, seluruh kabinet Belanda di bawah PM Mark Rutte mengundurkan diri karena skandal tunjangan anak. Pemerintah dianggap salah dalam sistem administrasi, bukan karena korupsi pribadi. Namun mereka memilih mundur sebagai bentuk tanggung jawab institusional. 

Jerman: Karl-Theodor zu Guttenberg, Menteri Pertahanan, mundur setelah ketahuan plagiarisme dalam disertasi doktoralnya, meskipun kasus itu tidak terkait dengan pekerjaannya sebagai menteri.  

Di Australia: Politisi sering mundur karena hal-hal yang di Indonesia mungkin dianggap kecil, seperti pernyataan keliru, konflik kepentingan, atau dugaan penyalahgunaan biaya perjalanan dinas. 

Di negara-negara ini, tanggung jawab moral dan tekanan publik menjadi faktor utama. Mundur adalah bentuk menjaga kehormatan dan kepercayaan.

Baca Juga: Jaga Kondusivitas, FRI dan Mendiktisaintek Sepakati Proteksi Mahasiswa dalam Demonstrasi, IZ: Langkah Preventif

Nah di Indonesia, Budaya Bertahan, bukan Mundur. Di Indonesia, situasinya sangat berbeda. 

Pemimpin jarang mundur karena kesalahan bawahan. Bahkan dalam kasus besar, di mana anak buah terjerat korupsi, pimpinannya sering memilih bertahan dengan alasan “tidak tahu-menahu” atau “bukan tanggung jawab langsung.”

Contohnya banyak:

Menteri, gubernur, hingga wali kota yang anak buahnya tertangkap KPK, tetapi pimpinannya tetap bertahan tanpa merasa perlu bertanggung jawab moral. Sejumlah  Direksi BUMN yang tetap bertahan meski bawahannya melakukan penyelewengan. Bahkan ketika ada tragedi nasional seperti Kanjuruhan 2022 yang menewaskan ratusan orang, tidak ada pejabat tinggi yang langsung mengundurkan diri.

Budaya politik di Indonesia cenderung melihat jabatan sebagai sesuatu yang harus dipertahankan sekuat tenaga. Mundur dianggap kalah, bahkan lemah. Padahal, dalam standar global, justru bertahan di tengah kegagalan bisa dipandang sebagai kehilangan moralitas.

Mengapa Indonesia Berbeda?

Ada beberapa faktor yang membuat Indonesia berbeda dari Jepang, Korea, atau negara Barat:

Satu: Budaya Politik Di Jepang, kehormatan pribadi dan kolektif lebih penting daripada jabatan.

Di Indonesia, jabatan sering dianggap sebagai hak istimewa yang harus dipertahankan, bahkan ketika kredibilitas runtuh. 

Dua: Tekanan Publik Lemah Di Korea atau Barat

Tekanan publik—demonstrasi, media, opini masyarakat—sangat kuat. 

Di Indonesia, protes biasanya cepat meredup, atau dialihkan ke isu lain. 

Tiga:  Hukum Formal vs Moral Pemimpin 

Indonesia lebih berpegang pada prinsip hukum formal: “kalau tidak terbukti bersalah, tidak perlu mundur.” 

Sementara di Jepang atau Eropa, standar moral jauh lebih tinggi dari sekadar formal hukum. 

Dan Empat: Patronase dan Politik Uang

 Banyak jabatan di Indonesia didapat lewat patronase politik. Mundur berarti kehilangan akses, kekuasaan, dan kesempatan. Maka bertahan jadi pilihan.

Haruskah Indonesia Belajar? Pertanyaannya: haruskah Indonesia meniru Jepang atau Korea? Jawabannya: ya, setidaknya dalam hal etika kepemimpinan. 

Mundur bukanlah tanda kelemahan. Mundur justru bisa memperlihatkan integritas dan komitmen seorang pemimpin terhadap rakyat.

Bila ada kesalahan fatal dari anak buah, mundur menunjukkan bahwa pemimpin benar-benar bertanggung jawab. Kita bisa membayangkan, jika setiap pejabat tinggi di Indonesia memiliki standar moral seperti di Jepang, mungkin publik akan lebih percaya pada pemerintahan. 

Rasa malu dan tanggung jawab menjadi pondasi etika yang memperkuat demokrasi. Namun tentu saja, ini tidak bisa serta-merta ditiru. Dibutuhkan perubahan budaya politik, pendidikan, dan kesadaran publik yang lebih besar.

Penutup: Saatnya Menghormati Tanggung Jawab Moral 

Indonesia memang bukan Jepang atau Korea. Tetapi bukan berarti kita tidak bisa belajar dari mereka. 

Dunia telah menunjukkan bahwa pemimpin yang mundur dengan hormat sering kali lebih dihormati daripada mereka yang bertahan dengan keras kepala. Mundur bukan berarti kalah, tetapi bentuk keberanian mengambil tanggung jawab. Itu yang masih jarang terlihat di negeri ini. 

Jika suatu hari nanti pemimpin yang anak buahnya salah di Indonesia mulai terbiasa mundur karena kesalahan bawahannya ini menjadi cara baik dan contoh unik. Lalu siapa yang akan bertanggung jawab yang saat ini sedang terjadi? Tabik. (*)

*) Jurnalis, dan analis Pusat Kajian Komunikasi Politik Indonesia (PKKPI) & Jala Bhumi Kultura (JBK).

– Kebagusan, JAKARTA, 30 Agustus 2025.

Menulis di Uwrite bisa dapat penghasilan, Investasikan tulisan anda sekarang juga
Daftar di sini

Jika anda keberatan dan memiliki bukti atau alasan yang kuat bahwa artikel berita ini tidak sesuai dengan fakta, anda dapat melakukan pengaduan pada tautan ini

Tulis Komentar