Usaha Belum Pulih Paska Pandemi, Rumah Dilelang! Warga Pacitan Gugat Bank BUMN

Hukum | 12 Jun 2025 | 00:29 WIB
Usaha Belum Pulih Paska Pandemi, Rumah Dilelang! Warga Pacitan Gugat Bank BUMN
Pengadilan Negri Pacitan.

Uwrite.id - Ada kalanya angka dan kewajiban hukum tak lagi cukup untuk menjelaskan keadilan. Itulah yang kini tengah diperjuangkan oleh Mariyo dan Mira Agustini, pasangan suami istri dari Desa Ngadirejan, Kecamatan Pringkuku, Kabupaten Pacitan. Rumah yang sekaligus menjadi tempat tinggal, usaha bengkel, dan sumber penghidupan mereka serta lima karyawannya, kini terancam akibat kebijakan lelang yang dinilai semena-mena oleh Bank Rakyat Indonesia (BRI) Cabang Pacitan dan Kantor Lelang KPKNL Madiun.

Lantaran merasa dilecehkan secara prosedural dan kemanusiaan, pasutri ini pun melayangkan gugatan perbuatan melawan hukum ke Pengadilan Negeri Pacitan. Gugatan ini bukan sekadar soal nominal utang, tetapi tentang keadilan sosial, perlindungan konsumen, suara dari rakyat kecil dan pelaku UMKM yang kerap diabaikan sistem.

Itikad Baik yang Tak Dihargai

Sejak awal, Mariyo dan Mira tidak pernah berniat lari dari tanggung jawab. Bahkan dalam kondisi usaha yang terpukul hebat pasca pandemi Covid-19, mereka masih berupaya menyicil pinjaman secara rutin, meski jumlahnya tak penuh. Setiap bulan, uang hasil usaha bengkel dan toko sparepart mereka sisihkan untuk membayar sebagian kewajiban, yang bahkan diakui oleh pihak bank melalui rekening titipan.

Namun, semangat untuk mempertahankan usaha dan niat baik untuk menyelesaikan pinjaman tidak cukup untuk meluluhkan kerasnya prosedur. Tanpa ruang negosiasi yang adil, rekening mereka diblokir, rumah mereka dilelang, dan harga limit yang dipatok justru jauh dari nilai pasar wajar. Dari sinilah perjuangan hukum mereka dimulai.

Dari Tawaran Pinjaman ke Jerat Utang

Pinjaman yang semula bernilai Rp250 juta itu perlahan meningkat atas tawaran pihak bank sendiri. Seiring berkembangnya usaha, plafon pinjaman dinaikkan menjadi Rp500 juta, lalu Rp750 juta. Namun sejak badai pandemi menghantam, ditambah perekonomian belum stabil, seperti banyak pelaku UMKM lainnya, Mariyo mengalami pasang surut, dan sejak awal 2024, pembayaran angsuran mulai tersendat.

Alih-alih diberi ruang bernafas atau renegosiasi yang manusiawi, pihak BRI justru mengunci komunikasi. Permohonan restrukturisasi ditolak, mediasi gagal. Permintaan dari pihak bank agar nasabah langsung membayar 50 persen dari total utang—yakni Rp375 juta sekaligus—jelas tak masuk akal bagi pelaku usaha kecil menengah yang sedang berjuang bertahan.

Rumah Dilelang, Hati Dirusak

Ketika mendapat surat dari bank, mereka kaget bahwa rumah tersebut akan dilelang. Bagi Mariyo, itu bukan sekadar bangunan fisik, tetapi simbol perjuangan, tempat tinggal anak mereka, dan ruang kerja lima karyawan yang juga punya keluarga.

Lebih ironis, berdasarkan surat keterangan dari pemerintahan desa, nilai pasar properti tersebut ditaksir mencapai lebih dari Rp1,9 miliar. Namun harga limit lelang justru hanya Rp917 juta—jauh dari wajar, dan menimbulkan kecurigaan bahwa proses lelang ini dilakukan dengan terburu-buru, bahkan mungkin sudah “dikondisikan.”

Pengadilan, Harapan Terakhir Rakyat Kecil

“Pihak bank seolah-olah tidak mau berdamai. Permintaan separuh dari pokok utang di tengah kondisi sulit, jelas bukan solusi. Ini bukan wanprestasi kriminal, ini soal ekonomi dan niat baik.” kata Lambang, kuasa hukum pasutri tersebut, Rabu (11/06/2025).

Ia menambahkan, kasus ini juga sudah dilaporkan ke DPRD Kabupaten Pacitan dan ditembuskan ke DPR RI agar mendapat perhatian lebih luas. Sebab, praktik seperti ini bisa jadi hanya satu dari banyak kasus lain di seluruh Indonesia yang tidak terdengar suaranya.

Kuasa hukum lainnya, Imam Rofingi, menilai proses lelang itu cacat hukum. “Nilai tanggungan hanya 50 persen dari nilai jaminan. Ini tidak adil dan tidak sah. Lelang seperti ini harus dibatalkan demi hukum,” tegasnya.

Keadilan Bukan Hanya Soal Hukum, Tapi Nurani

Jika pengadilan hanya mengacu pada pasal demi pasal tanpa memperhitungkan niat baik, realitas sosial, dan dampak kemanusiaan, maka keadilan hanya akan jadi milik mereka yang kuat secara ekonomi. Dalam negara yang menjunjung Pancasila dan UUD 1945, seharusnya hukum tidak menjadi alat kekuasaan, melainkan pelindung rakyat, apalagi terhadap mereka yang tetap ingin bertanggung jawab dalam keterbatasan.

Kisah Mariyo dan Mira bukan soal tidak mau membayar, tapi soal tidak diberi ruang untuk membayar sesuai kemampuan disaat perekonomian sedang sulit. Bukankah lebih baik membina nasabah daripada membinasakan mereka? Bukankah lebih bijak memberi waktu daripada memaksakan angka?

Ajakan untuk Negara dan Lembaga Keuangan

Kasus ini seharusnya menjadi cermin bagi bank milik negara dan lembaga lelang untuk tidak bersikap arogan atas nama prosedur. Dalam kondisi ekonomi yang belum sepenuhnya pulih pasca pandemi, nasabah yang masih menunjukkan itikad baik justru harus diberi penghargaan, bukan dihukum dengan lelang paksa.

Pengadilan Negeri Pacitan kini memegang harapan banyak pihak—bukan hanya Mariyo dan Mira, tapi semua pelaku usaha kecil yang ingin tetap bertahan dan jujur dalam kesulitan. Mariyo mungkin hanya satu dari banyak korban sistem, tapi jika suaranya didengar, maka keadilan belum sepenuhnya mati.

  • “Saya tidak meminta utang dihapuskan. Saya hanya ingin diberi kesempatan untuk membayar sesuai kemampuan. Untuk saat ini, saya sanggup membayar minimal Rp1,5 juta per bulan. Jika ada rezeki lebih, saya akan fokus menambah nilai angsuran. Saat ini, saya belum mampu membayar penuh karena kondisi perekonomian yang sulit. Jadi, jangan rampas rumah dan tempat usaha kami satu-satunya—tempat anak-anak (karyawan) bekerja dan menggantungkan hidup dari bengkel ini,” ujar Mariyo lirih, sesaat sebelum memasuki ruang sidang.

Menulis di Uwrite bisa dapat penghasilan, Investasikan tulisan anda sekarang juga
Daftar di sini

Jika anda keberatan dan memiliki bukti atau alasan yang kuat bahwa artikel berita ini tidak sesuai dengan fakta, anda dapat melakukan pengaduan pada tautan ini

Tulis Komentar