Urip Urup Kanggo Bumi: Nyala Perlawanan dari Kendeng hingga Gunungsewu di Kupatan Kendeng 2025

Lingkungan Hidup | 06 Apr 2025 | 22:40 WIB
Urip Urup Kanggo Bumi: Nyala Perlawanan dari Kendeng hingga Gunungsewu di Kupatan Kendeng 2025
Kupatan Kendeng 2025. (Foto: Fb Joko Priyanto)

Uwrite.id - Rembang, 5 April 2025 — Di tengah ancaman ekspansi pertambangan dan lemahnya keberpihakan negara terhadap lingkungan hidup, masyarakat Pegunungan Kendeng kembali menggelar ritual tahunan Kupatan Kendeng. Kegiatan budaya yang diinisiasi oleh Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JM-PPK) ini tidak sekadar seremoni, tetapi juga bentuk refleksi kritis terhadap krisis ekologis.

Dengan tema “Urip Urup Kanggo Bumi”, masyarakat Kendeng menyerukan perlawanan terhadap berbagai kebijakan negara yang dinilai semakin represif dan minim partisipasi publik. Revisi terhadap UU Minerba, UU KPK, hingga omnibus law menjadi deretan regulasi yang disorot karena dinilai mengabaikan hak-hak rakyat dan justru memperkuat dominasi oligarki ekonomi atas ruang hidup masyarakat.

Kupatan Kendeng 2025. (Foto: Fb Joko Priyanto)

Kupatan, yang secara filosofis berarti 'ngaku lepat' atau mengakui kesalahan, dijadikan momentum untuk mengingatkan pentingnya menjaga alam dan solidaritas antarkomunitas. Tidak hanya sesama manusia, tetapi juga kepada bumi yang selama ini menjadi korban pembangunan rakus. Di acara ini, masyarakat dari berbagai wilayah seperti Pracimantoro (Wonogiri), Pati, Blora, dan jejaring aktivis seperti LBH Semarang, YLBHI, JATAM, Trend Asia, hingga seniman-aktivis Taring Padi turut hadir.

Salah satu sorotan utama dalam rembuk kampung tahun ini adalah ancaman ekspansi pertambangan dan pabrik semen di kawasan Karst Gunungsewu, Wonogiri. Rencana tersebut dinilai akan menjadi malapetaka ekologis yang mengancam sumber air, pertanian, dan keseimbangan ekosistem. Wonogiri yang baru memulai perlawanan, kini memperkuat jejaring dengan Kendeng yang sudah lebih dulu mengalami tekanan serupa.

Kupatan Kendeng 2025. (Foto: Fb Joko Priyanto)

Sementara itu, situasi di Rembang tidak kalah memprihatinkan. Perubahan tata ruang yang mempermudah izin industri ekstraktif justru didukung oleh kebijakan daerah yang terkesan pro-korporasi. Lahirnya Perda retribusi tambang—baik legal maupun ilegal—dianggap sebagai bentuk eksploitasi sumber daya alam secara sistematis dan tanpa visi keberlanjutan.

Di tingkat nasional, komitmen pemerintah terhadap moratorium tambang dan pabrik semen masih sebatas wacana. Padahal, data menunjukkan produksi semen nasional telah mengalami overproduksi, dengan konsumsi tak sampai separuh kapasitas. Artinya, tidak ada urgensi ekonomi untuk menambah konsesi maupun pabrik semen baru. Namun ironisnya, alih-alih menghentikan laju ekstraksi, pemerintah justru terus membuka ruang luas bagi investasi yang merusak alam.

Kupatan Kendeng 2025. (Foto: Fb Joko Priyanto)

Masyarakat Kendeng melalui “Urip Urup Kanggo Bumi” mengirim pesan: perjuangan tidak bisa hanya dilakukan oleh satu pihak. Perlawanan terhadap kerusakan ekologis dan perampasan ruang hidup harus dibangun melalui solidaritas lintas wilayah dan sektor. Api perlawanan tidak cukup dinyalakan satu obor—dibutuhkan ratusan obor lain yang saling terhubung agar mampu membakar kerakusan sistem yang abai terhadap hak-hak rakyat dan masa depan bumi.

 

Sumber: Tulisan ini diambil dari akun Facebook Joko Priyanto, aktivis dari Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JM-PPK).

Menulis di Uwrite bisa dapat penghasilan, Investasikan tulisan anda sekarang juga
Daftar di sini

Jika anda keberatan dan memiliki bukti atau alasan yang kuat bahwa artikel berita ini tidak sesuai dengan fakta, anda dapat melakukan pengaduan pada tautan ini

Tulis Komentar