URAI MISTERI (1) : Ditanya Temuan Geledah Rumah SYL, Paloh Bergegas ke Mobil
Uwrite.id - Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh bergegas ke mobil ketika ditanya wartawan terkait penggeledahan rumah Mentan Syahrul Yasin Limpo.
Surya Paloh didampingi Sekretaris Jenderal (Sekjen) Partai Nasdem Hermawi Taslim.
Paloh hanya menyapa wartawan menaiki mobil dan segera meninggalkan Nasdem Tower.
Juru Bicara Penindakan dan Kelembagaan KPK Ali Fikri mengungkapkan penggeledahan rumah dinas Syahrul dilakukan terkait dengan dugaan pemaksaan dalam jabatan.
Ia mengatakan, tindak pidana itu kemungkinan terjadi di lingkungan Kementerian Pertanian (Kementan).
Ali menyampaikan, pelaku dapat dijerat melanggar Pasal 12 huruf e Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor).
Pasal itu berbunyi, "Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya.
Memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri".
Sementara itu, Bendahara Umum Partai Nasdem Ahmad Sahroni menilai, penggeledahan KPK sudah sesuai prosedur.
Ia juga menyampaikan bahwa saat itu Syahrul berada di Roma, Italia, untuk mengisi acara forum pangan dunia.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menemukan 12 pucuk senjata api dan uang tunai senilai Rp 30 miliar di rumah dinas Menteri Pertanian, Syahrul Yasin Limpo, di kawasan Jakarta Selatan.
Penemuan tersebut dilakukan saat KPK menggeledah rumah dinas Syahrul Limpo pada Kamis (28 September) sore hingga Jumat (29 September) siang.
Juru Bicara KPK Ali Fikri mengatakan belasan senjata api tersebut berjenis revolver S&W hingga tanfoglio.
"Saat ini, kami sedang berkoordinasi dengan pihak kepolisian daerah, tentunya terkait dengan temuan dalam proses geledah dimaksud," kata Ali dalam keterangannya, Sabtu (30 September).
Juru Bicara KPK Ali Fikri mengatakan belasan senjata api tersebut berjenis revolver S&W hingga tanfoglio.
Penemuan ini tentu menjadi pukulan telak bagi pemerintahan Presiden Joko Widodo.
Hal ini menimbulkan anggapan publik bahwa korupsi masih menjadi masalah serius di Indonesia.
Bagaimana Perjalanan Kasus SYL?
Pada 14 Juni 2023, KPK mengumumkan telah membuka penyelidikan soal dugaan tindak pidana korupsi di Kementerian Pertanian (Kementan). Informasi tersebut diumumkan oleh Plt. Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Asep Guntur Rahayu.
Kemudian pada 19 Juni 2023, KPK memanggil Menteri Pertanian SYL untuk dimintai keterangan terkait kasus penyelidikan dugaan korupsi di Kementan. Saat itu, ia diperiksa selama kurang lebih tiga jam.
"Saya memenuhi panggilan dari KPK, yang selama ini dua kali sebelumnya dipanggil, saya dalam kegiatan yang terkait kegiatan negara," ujar Syahrul.
Mantan gubernur Sulawesi Selatan itu menyatakan siap untuk bersikap kooperatif dan hadir kapan pun ketika diperlukan KPK.
"Saya kira apa yang dilakukan KPK sudah sesuai dengan SOP, sesuai dengan prosedur, dan saya sudah menyelesaikan semuanya itu dengan apa yang bisa saya jawab," lanjut Syahrul pada Juni lalu.
Sebelumnya pada 16 Juni, KPK meminta keterangan terhadap Syahrul. Namun, Syahrul tidak dapat hadir dengan alasan sedang melakukan perjalanan dinas menghadiri acara G20 di India.
Ia kemudian meminta agar tanggal pemanggilan ditunda hingga 27 Juni 2023. Sebab, setelah pergi ke India, Syahrul berencana melanjutkan lawatannya ke Cina dan Korea Selatan dalam rangka kerja sama modernisasi pertanian dan fasilitas pasar ekspor pertanian. Namun, KPK menolak permintaannya.
Kemudian, pada Kamis 28 September KPK menggeledah rumah dinas SYL di Kebayoran Baru, Jakarta Pusat.
Akankah Kasus ini Berdampak pada Koalisi Anies-Muhaimin?
Pemimpin lembaga survei KedaiKopi Hendri Satrio menyebut dugaan terjeratnya dua menteri dari Nasdem dalam kasus korupsi “pukulan telak” bagi partai itu.
Dia menambahkan tidak menutup kemungkinan bila elektabilitas pasangan bacapres-bacawapres yang mereka usung, Anies-Muhaimin, juga terdampak.
Namun demikian, menurut Hendri, Nasdem maupun Anies-Muhaimin masih punya cukup banyak waktu sampai pemungutan suara bulan Februari untuk rebound.
“Karena masyarakat Indonesia terkadang melihat korupsi ini adalah tindakan pribadi, bukan partai politik,” ujar Hendri.
Walaupun waktu pengusutan kasus-kasus ini dekat dengan Pilpres, Hendri mengatakan seharusnya penegakkan hukum itu tidak ada sangkut-pautnya dengan politik. “Saya sih percaya KPK profesional,” imbuhnya.
Pengaruh kasus korupsi pada elektabilitas partai politik pernah diakui oleh Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh ketika eks-menteri Kominfo Johnny G. Plate ditetapkan menjadi tersangka kasus dugaan korupsi proyek BTS, 17 Mei lalu.
Juru bicara KPK Ali Fikri mengatakan lembaga antirasuah itu menyadari bila tindakannya dikaitkan dengan proses politik yang sedang berjalan menjelang Pemilu 2024.
Meski begitu, dia menegaskan, proses penegakan hukum yang terjadi tidak ada kaitan sama sekali dengan kontestasi politik.
"Kalau kita lihat data, dari beberapa waktu sejak KPK berdiri itu memang sudah banyak politisi-politisi tersangka terpidana yang berlatar belakang politik," ujarnya.
KPK Diminta Tidak ‘Tebang Pilih’
Peneliti Pukat UGM Zaenur Rohman mengatakan sejauh ini dia belum melihat adanya motif politik dalam penanganan korupsi yang diduga terjadi di kementerian pertanian.
Zaenur menjelaskan bahwa dia menggunakan tiga parameter untuk melihat apakah sebuah penanganan perkara korupsi dipengaruhi oleh faktor politik atau faktor apapun selain faktor hukum.
Pertama, jika tidak ada satu alat bukti pun yang menunjukkan telah terjadinya tindak pidana tetapi ada proses menjadikan seseorang tersangka sekadar untuk menyanderanya. Kalau ini terjadi maka kita bisa menduga telah terjadi “kriminalisasi” dengan motif menghukum, khususnya motif politik.
Kedua, jika ada satu perkara korupsi yang melibatkan politikus dari berbagai latar belakang parpol tetapi yang diproses oleh penegak hukum hanya yang berasal dari parpol atau kelompok politik tertentu.
Ketiga, jika penegak hukum hanya menangani, mengincar, memproses secara hukum para penyelenggara negara yang diduga melakukan tindak pidana korupsi dari kelompok-kelompok atau partai tertentu saja tetapi tidak menyentuh partai atau kelompok-kelompok lain, khususnya mereka yang sedang berkuasa.
Berdasarkan parameter pertama dan kedua di atas, Zaenur memandang bahwa dalam kasus dugaan korupsi di Kementerian Pertanian ini sangat kuat dugaan telah terjadinya tindak pidana dengan alat-alat bukti dan keterangan saksi yang telah dikumpulkan oleh KPK.
Adapun terkait parameter ketiga KPK harus menjawabnya dengan kinerja, kata Zaenur, dengan membuktikan bahwa KPK akan memproses siapapun yang melakukan tindakan korupsi.
“Termasuk, misalnya, para buron yang belum ditangkap oleh KPK; seperti Harun Masiku, yang diduga menjadi pintu masuk untuk mengungkap pelaku-pelaku lain,” ujarnya.
Harun Masiku adalah politikus PDI-P yang terseret kasus suap terhadap Komisioner KPU Wahyu Setiawan. Dia telah menjadi buronan selama kurang-lebih tiga setengah tahun.
Pegiat anti-korupsi dan eks penyidik KPK telah menilai KPK tidak serius memburu Harun. Diduga, ada pihak-pihak tertentu yang 'melindungi' politikus PDI-P tersebut.
Menurut Zaenur, meskipun KPK menangani kasus korupsi berdasarkan alat bukti, tidak berarti lembaga antirasuah itu bebas dari intervensi kekuasaan.
“Untuk membantah hal itu bagaimana caranya? Cara paling mudah adalah tidak tebang pilih," tegas Zaenur.
"Kalau proses penegakan hukumnya sesuai dengan hukum acara, sesuai dengan prosedur yang selama ini terjadi di KPK, maka susah untuk mengatakan bahwa kasus ini punya motif politik,” dia menegaskan. (*)
.
Tulis Komentar