Tuduhan Hasto Pada Jokowi dan Peran Sentral PDIP Dalam Sejarah Revisi UU KPK

Uwrite.id - Revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) pada 2019 menjadi salah satu momen penting dalam sejarah pemberantasan korupsi di Indonesia. Namun, di balik prosesnya, terdapat berbagai dinamika politik yang mengarah pada pelemahan KPK, dengan PDIP sebagai inisiator utama sejak lama.
PDIP dan Upaya Revisi UU KPK Sejak 2015
Upaya merevisi UU KPK sebenarnya bukanlah hal baru. Sejak 2015, PDIP sudah mengusulkan revisi yang dianggap akan mengurangi independensi lembaga antirasuah ini. Namun, berbagai perlawanan dari masyarakat sipil, akademisi, hingga tokoh-tokoh reformis berhasil menggagalkan rencana tersebut pada masa awal pemerintahan Jokowi.

Namun, dorongan untuk melemahkan KPK tidak surut. Pada 2019, revisi UU KPK kembali diusulkan dan berhasil disahkan dengan berbagai ketentuan yang secara substansial memangkas kewenangan KPK, seperti perubahan status pegawai menjadi ASN, pembentukan Dewan Pengawas yang mengontrol penyadapan, hingga peran besar eksekutif dalam menentukan arah kebijakan KPK.
Jokowi dan Perlawanan terhadap Revisi UU KPK
Salah satu narasi yang belakangan muncul adalah tuduhan bahwa revisi UU KPK merupakan inisiatif Jokowi. Namun, fakta sejarah menunjukkan bahwa Jokowi sebenarnya tidak sepenuhnya mendukung revisi ini. Bahkan, ketika desakan masyarakat agar Presiden mengeluarkan Perppu untuk membatalkan revisi tersebut semakin kuat, Jokowi justru mendapat tekanan dari lingkaran politiknya sendiri.

Mahfud MD, yang saat itu menjabat sebagai Menko Polhukam, pernah menyebut bahwa Jokowi sempat diancam ketika ingin menerbitkan Perppu untuk membatalkan revisi UU KPK. Hal ini menunjukkan adanya tekanan besar dari partai-partai pendukung pemerintah, terutama PDIP, yang sejak awal paling vokal menginginkan perubahan aturan KPK.

Sikap Keras PDIP: UU Berlaku Tanpa Tanda Tangan Jokowi
Bukti lain dari kuatnya dorongan PDIP dalam revisi UU KPK terlihat ketika Jokowi enggan menandatangani undang-undang tersebut. Dalam sistem ketatanegaraan, sebuah undang-undang tetap berlaku meskipun tidak ditandatangani Presiden dalam jangka waktu tertentu. Namun, sikap Jokowi yang saat itu menolak memberikan tanda tangan menunjukkan indikasi bahwa ia tidak sepenuhnya setuju dengan revisi ini.

PDIP, yang saat itu memiliki dominasi kuat di DPR, tetap ngotot agar UU KPK versi revisi tetap diberlakukan meski tanpa tanda tangan Presiden. Sikap ini mempertegas bahwa partai tersebut adalah motor utama dalam pelemahan KPK, bukan sekadar mengikuti arahan dari Jokowi.

Kesimpulan: Siapa yang Bertanggung Jawab?
Narasi Hasto yang menyebut bahwa Jokowi adalah dalang revisi UU KPK jelas merupakan distorsi sejarah. Fakta menunjukkan bahwa sejak awal, PDIP-lah yang paling gencar mengusulkan revisi tersebut. Bahkan, ketika ada kesempatan untuk membatalkannya melalui Perppu, Jokowi justru mendapat tekanan besar agar tidak melakukannya.

Jika ditelusuri lebih dalam, pelemahan KPK ini bukanlah langkah yang tiba-tiba terjadi, melainkan bagian dari strategi jangka panjang untuk mengendalikan institusi antikorupsi.
Pelemahan KPK memang terjadi di era Jokowi, namun bukan berarti Jokowi adalah aktor utamanya. Fakta menunjukkan bahwa PDIP merupakan inisiator utama revisi UU KPK, yang telah diupayakan sejak tahun 2015 dan baru berhasil pada tahun 2019. Dengan revisi ini, KPK kehilangan banyak kewenangan strategis serta independensinya, yang berdampak besar pada efektivitas pemberantasan korupsi di Indonesia.
Tulis Komentar