Terdapat Kesan Hukum Bisa Ditawar Pasca Pembebasan Bersyarat Terpidana Tipikor

Hukum | 18 Aug 2025 | 16:18 WIB
Terdapat Kesan Hukum Bisa Ditawar Pasca Pembebasan Bersyarat Terpidana Tipikor
Mantan Ketua DPR Setya Novanto di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta. (Istimewa)

Uwrite.id - Jakarta - Mantan penyidik KPK Praswad Nugraha mengatakan seharusnya pembebasan bersyarat (PB) terhadap eks Ketua DPR RI Setya Novanto (Setnov) dilakukan secara hati-hati. Perlu indikator yang jelas dan transparan serta akuntabel, agar tidak dipersepsikan sebagai bentuk kompromi terhadap kejahatan luar biasa.

Disampaikannya, meskipun pembebasan bersyarat adalah hak hukum, tapi penerapannya terhadap koruptor kelas berat seperti Setnov harus sangat hati-hati. Jika tidak, kata dia, efek jera hilang, kepercayaan publik runtuh, dan pesan yang tersampaikan justru berbahaya, bahwa korupsi bisa dinegosiasikan.

"Korupsi adalah pengkhianatan terhadap bangsa. Jangan biarkan proses hukum berubah menjadi sekadar formalitas yang bisa ditawar," tutur Praswad dalam keterangannya, Senin (18/08).

Selain itu, menurutnya, akumulasi keringanan yang diterima Novanto berupa remisi, peninjauan kembali (PK), hingga pembebasan bersyarat dapat menciptakan preseden buruk. Dia menilai masyarakat dapat menafsirkan koruptor kelas berat bisa mengakali sistem hukum.

"Ini jelas bertentangan dengan semangat pemberantasan korupsi yang sering digaungkan pemerintah, termasuk oleh Presiden Prabowo yang menegaskan komitmen untuk menindak tegas pelaku korupsi," ujarnya.

Diketahui, Setnov sudah bebas sejak Sabtu (16/08). Pembebasan bersyarat ini didapat lewat  peninjauan kembali (PK). Meski bebas, dia masih dikenai wajib lapor di Badan Pemasyarakatan (Bapas).

"Karena beliau setelah dikabulkan peninjau kembali 15 tahun menjadi 12 tahun 6 bulan, dihitung dua pertiganya itu dapat pembebasan bersyarat pada 16 Agustus 2025," ujar Kakanwil Ditjen Pemasyarakatan Jawa Barat (Jabar) Kusnali, dikutip di Jakarta, Minggu (17/08).

Setnov adalah terpidana kasus korupsi pengadaan e-KTP yang merugikan negara Rp 2,3 triliun. Pada 2018, Novanto divonis hukuman pidana penjara selama 15 tahun dan denda Rp 500 juta subsider 3 bulan kurungan.

Selain itu, dia juga dibebani membayar uang pengganti USD 7,3 juta dikurangi Rp 5 miliar yang sudah dititipkan ke KPK subsider 2 tahun penjara. Novanto juga dijatuhi hukuman tambahan berupa pencabutan hak menduduki jabatan publik selama 5 tahun setelah menjalani masa pemidanaan.

Pada Juli 2025, MA mengabulkan PK Novanto. Hukuman Novanto disunat dari 15 tahun menjadi 12,5 tahun penjara. Selain menyunat hukuman penjara, majelis hakim PK mengurangi pidana tambahan Novanto.

Hakim PK mengubah hukuman pencabutan hak menduduki jabatan publik Novanto dari 5 tahun menjadi 2,5 tahun setelah masa pidana selesai. Putusan PK Novanto diketok oleh majelis hakim yang diketuai Hakim Agung Surya Jaya dengan anggota Sinintha Yuliansih Sibarani dan Sigid Triyono pada 4 Juni 2025. (*)

Menulis di Uwrite bisa dapat penghasilan, Investasikan tulisan anda sekarang juga
Daftar di sini

Jika anda keberatan dan memiliki bukti atau alasan yang kuat bahwa artikel berita ini tidak sesuai dengan fakta, anda dapat melakukan pengaduan pada tautan ini

Tulis Komentar