Tantangan Menjejak Kaki di Carstensz Peak, Temperature Factor - Hal Penting yang Seyogianya Diantisipasi Pendaki

Lingkungan Hidup | 04 Mar 2025 | 19:13 WIB
Tantangan Menjejak Kaki di Carstensz Peak, Temperature Factor - Hal Penting yang Seyogianya Diantisipasi Pendaki
"Pendaki mengalami hipotermia saat terjadi cuaca buruk berupa badai salju dan angin kencang di daerah Teras Dua,” ujar Kepala Balai Taman Nasional Lorentz Manuel Mirino.

Uwrite.id - Timika - Sebagai 1 dari 7 Seven Summits dunia, Gunung Carstensz di Papua Tengah menjadi sebuah prestise tersendiri bagi para pendaki untuk ditaklukkan. Tidak mengherankan, kendati memiliki beragam tantangan pendakian, puncak dengan ketinggian 4.884 meter di atas permukaan laut ini tidak pernah kehilangan peminat.

Puncak Carstensz tercatat merupakan rangkaian Pegunungan Jayawijaya mulai dikenal para pendaki internasional sejak dicapai pertama kali pada 1962 oleh Heinrich Harrer. Pendaki Austria tersebut mendokumentasikan petualangannya dalam buku Seven Years In Tibet.

Dua tahun kemudian, Maret 1964, tiga anggota TNI dari Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD), yakni Lettu Soedarto, Sugirin, dan Fred Athaboe, berhasil menorehkan sejarah dengan menjadi pendaki lokal pertama yang membentangkan Merah Putih di puncak tertinggi Indonesia dalam Ekspedisi Cendrawasih. Keberhasilan ini diikuti tiga pendaki dari Mapala UI, Sinarmas Djati, Henry Walandouw, dan Rafiq Pontoh, yang mencapai Carstensz pada pertengahan 1972.

Bisa dibilang Puncak Carstensz, sebagai representasi puncak tertinggi di kawasan Autralasia bukanlah pendakian yang populer dibandingkan puncak-puncak tertinggi dunia lainnya. Hal ini karena beragam faktor, seperti kondisi medan, akomodasi, faktor keamanan, hingga kerumitan birokrasi setempat.

Pendakian ke Cartenz biasanya dilakukan oleh pendaki yang telah berpengalaman. Mereka juga biasanya didampingi oleh pemandu yang berpengalaman pula.

Dalam beberapa tahun terakhir, tercatat sejumlah pendakian ke Carstensz dilakukan dan berhasil mencapai puncak. Pada April 2010, sebagai salah satu rangkaian ekspedisi 7 puncak dunia, tim Wanadri berhasil mendaki dan mengibarkan Merah Putih di Puncak Carstensz.

Selain itu, pada 2017 tercatat tiga mahasiswa Universitas Sriwijaya yang tergabung dalam Mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Pecinta Alam (Mafesripala) berhasil menaklukan hingga mengibarkan bendera Merah Putih di Puncak Carstensz.

Adapula, pada Oktober 2024, dua pemandu asal Indonesia berhasil mengantarkan lima orang pendaki asing hingga ke Puncak Carstensz. Salah satu, pendakinya merupakan pria tunanetra berusia 36 tahun asal Meksiko.

Namun, di sisi lain, dalam beberapa tahun terakhir pula tercatat sejumlah insiden pendakian dari laporan kepolisian yang berakhir tragis. Mayoritas penyebab pendaki meninggal karena gejala hipotermia, yakni kondisi hilangnya suhu panas di tubuh yang berdampak ganggguan kesehatan di jantung, saluran pernapasan, hingga otak.

Pada April 2016, Erick Airlangga, karyawan PT Freeport Indonesia meninggal saat dalam misi menuju puncak tertinggi di Indonesia tersebut. Erick dilaporkan meninggal karena mengalami hipotermia.

Selain itu, pada 2024, sejumlah kejadian dilaporkan. Pada periode September dan Oktober 2024, ada dua insiden pendaki meninggal saat mencoba menaklukkan Puncak Carstensz. Seorang pendaki asal Surabaya, Jawa Timur meninggal karena hipotermia. Adapun korban lainnya, yakni pendaki asal China, dilaporkan tewas karena diduga salah melakukan pemasangan alat climbing saat menuruni tebing.

Terbaru, dua pendaki Indonesia, Lilie Wijayanti Poegiono (59) dan Elsa Laksono (59) dilaporkan meninggal karena terserang hipotermia, Sabtu (1/3/2025) dini hari. Keduanya terserang hipotermia pada Sabtu dini hari saat hendak turun, seusai mencapai mencapai puncak pada Jumat siang.

Jenazah Elsa dievakuasi dari Carstensz ke Timika, pusat kota Kabupaten Mimika, Papua Tengah, Minggu pagi. Sementara korban lainnya, Lilie, dievakuasi Senin pagi. Pada Senin pagi pula, jenazah Lilie dan Elsa secara bersamaan diterbangkan ke Jakarta.

Lilie dan Elsa merupakan dua sahabat pendaki yang cukup berpengalaman dan saat ini tergabung di komunitas pendaki lansia, yakni Kura-Kura Gunung (KKG). Mereka berdua juga merupakan alumni SMA Katolik Santo Albertus Malang Angkatan 1984. SMA Katolik Santo Albertus Malang biasa disebut SMA Dempo.

Merunut kepada data Balai Taman Nasional Lorentz, dalam pendakian ini, ada 20 orang yang mendaki, termasuk pendaki dan pemandu warga negara asing. Dalam daftar pendaki tersebut, selain pemandu lokal, juga turut serta dua petugas Taman Nasional Lorentz.

Dua korban meninggal dilaporkan mengalami hipotermia saat hendak turun dari puncak di daerah Teras dua. Saat itu, dilaporkan terjadi badai salju dan angin kencang di daerah yang memiliki ketinggian sekitar 4.400 mdpl tersebut.

”Pendaki mengalami hipotermia saat terjadi cuaca buruk berupa badai salju dan angin kencang di daerah Teras Dua,” ujar Kepala Balai Taman Nasional Lorentz Manuel Mirino.

Medan Climbing Terberat

Ade Wahyudi, pegiat pendakian sekaligus pemandu Gunung Carstensz mengungkapkan, pendakian Gunung Carstensz memang dikategorikan salah satu yang tersulit di Indonesia. Di sisi lain, sebagai sesama pendaki, Ade turut menyampaikan dukacita atas insiden terbaru pendaki yang meniggal di Carstensz.

Ade meyakini, dengan kesulitan tinggi, para pendaki yang ke Puncak Carstensz pasti telah memiliki persiapan yang baik. Namun, dalam pendakian ada saja faktor-faktor yang bisa mendatangkan musibah yang tidak diinginkan.

”Makanya dengan persiapan cukup saja musibah masih bisa datang. Apalagi kalau kurang sehingga persiapan fisik dan mental harus benar-benar harus diperhatikan,” ujar Ade yang telah lima kali melakukan pendakian ke Puncak Carstensz sejak 2008.

Salah satu hal yang diingatkan Ade, yakni agar pendaki memperhatikan perihal aklimatisasi. Aklimatisasi sangat penting jika melihat status Carstensz yang memiliki ketinggian 4.884 mdpl. Hal ini tentu berbeda dengan gunung lain di Indonesia yang memiliki ketinggian di bawah 4.000 mdpl.

Adapun saat memulai pendakian, para pendaki juga akan mengalami perubahan ketinggian yang signifikan dalam waktu yang relatif singkat. Saat ini pendakian ke Carstensz paling umum melalui Lembah Kuning (Yellow Valley) yang memiliki ketinggian sekitar 4.200-an mdpl. Lokasi yang menjadi basecamp ini bisa ditempuh sekitar 30 menit dari pusat kota Timika menggunakan helikopter. Timika memiliki elevasi sekitar 200 mdpl.

”Dalam waktu 30 menit pendaki sudah berpindah tempat dengan perbedaan elevasi sekitar 4.000 mdpl. Dengan begitu, tubuh perlu aklimatisasinya tepat dengan waktu yang cukup,” ujar Ade.

Oleh karena itu, lanjut Ade, dia menyarankan para pendaki untuk bisa melakukan aklimatisasi awal, misalnya dengan mendaki gunung-gunung berketinggian sekitar 3.000-an mdpl seminggu sebelum pendakian Carstensz. Selain itu, aklimatisasi yang tepat juga tetap perlu dilakukan saat berada di basecamp Lembah Kuning.

Situasi Jalur

Di sisi lain, lanjut Ade, pendaki harus memiliki pengetahuan cukup medan dan cuaca pendakian Carstensz. Carstensz yang memiliki ketinggian di atas 4.000 mdpl tentu memiliki kondisi situasi jalur dan cuaca yang sangat berbeda dengan gunung lainnya di Indonesia.

Pendakian ke Carstensz diawali dengan melintasi basecamp Lembah Kuning dengan ketinggian 4.200-an meter yang dijangkau menggunakan penerbangan helikopter dari Timika.

”Dengan ketinggian Carstensz 4.884 mdpl, dari Lembah Kuning itu berarti untuk menuju puncak terpaut elevasi sekitar 600 meter. Tapi kalau jarak tempuhnya itu sekitar 1,5-2 kilometer,” ujar Ade.

Namun, kata Ade, kendati relatif pendek, pendakian dari Lembah Kuning menuju puncak ini yang justru menantang. Untuk menuju puncak, pendakian didominasi tebing-tebing yang curam. Dengan begitu, para pendaki wajib memiliki kemampuan menggunakan alat-alat tali dalam memancat tebing (acending dan rappeling).

Kondisi fisik yang prima dan perlengkapan yang baik tentu menjadi syarat mutlak para pendaki. Selama pendakian, dalam cuaca normal, suhu di Carstensz berkisar 0-5 derajat celsius atau jika sedang cerah bisa mencapai 10 derajat celsius. Namun, dalam cuaca buruk, suhu bisa sangat rendah hingga di bawah minus.

Makanya dengan persiapan cukup saja musibah masih bisa datang, apalagi kalau kurang. Sehingga persiapan fisik dan mental harus benar-benar harus diperhatikan.

Kondisi seperti ini semakin rawan bagi pendaki terserang gejala Hipotermia. Apalagi ada sejumlah titik di Carstensz yang mengharuskan pendaki harus saling mengantre untuk melintasi jurang atau menaiki atau menuruni tebing.

”Kondisi seperti ini, badan sebisa mungkin harus terus bergerak. Situasinya rawan terserang gejala hipotermia apalagi kalau cuacanya semakin buruk,” kata Ade yang juga pernah melakukan pendakian ke Gunung Elbrus, Rusia.

Di sisi lain, Ade juga mengingatkan, para pendaki juga perlu memperhatikan waktu pendakian. Pendakian menuju puncak biasanya harus dicapai sebelum siang. Dengan begitu, pendaki harus turun saat masih siang pula.

Apalagi, perjalanan turun biasanya yang lebih kritis. Saat menuruni puncak, kondisi tubuh semakin letih. Di sisi lain, saat hari semakin sore perubahan cuaca kian drastis pula bisa menghambat perjalanan.

”Kalau bisa turun dari puncak tidak boleh lewat terlalu jauh dari pukul 12.00 WIT, kalau bisa jangan lewat pukul 14.00 WIT. Karena semakin sore, potensi cuaca semakin memburuk dan potensi terserang gejala seperti hipotermia bisa sangat mungkin pula,” ujar Ade.

Beragam kondisi ini perlu menjadi perhatian, khususnya bagi penikmat Carstensz. Selain fisik dan mental, pengetahuan akan faktor-faktor lain juga diperlukan sebagai penentu kelancaran pendakian. Dengan begitu, tujuan utama dalam pendakian, yakni pulang ke rumah dengan selamat bisa berjalan lancar. (*)

Menulis di Uwrite bisa dapat penghasilan, Investasikan tulisan anda sekarang juga
Daftar di sini

Jika anda keberatan dan memiliki bukti atau alasan yang kuat bahwa artikel berita ini tidak sesuai dengan fakta, anda dapat melakukan pengaduan pada tautan ini

Tulis Komentar