Sejarah Sanering Mata Uang di Indonesia: Peristiwa 1959 dan Rencana Redenominasi Terbaru

Peristiwa | 30 Jun 2023 | 00:05 WIB
Sejarah Sanering Mata Uang di Indonesia: Peristiwa 1959 dan Rencana Redenominasi Terbaru
(Sumber: Istimewa)

Uwrite.id - Senin siang, 24 Agustus 1959, setelah rapat Kabinet Kerja I yang dipimpin oleh Presiden Soekarno dan Menteri Pertama Ir. Djuanda Kartawidjaja di Bogor, kekacauan melanda kota-kota besar di Indonesia.

Rapat tersebut menghasilkan keputusan yang diumumkan melalui Radio Republik Indonesia (RRI) oleh Menteri Muda Penerangan Maladi pada pukul 14.30. Keputusan tersebut adalah pemotongan dua uang kertas dengan nilai pecahan terbesar saat itu, yaitu Rp500 yang bergambar macan dan Rp1000 bergambar gajah. Nilai masing-masing uang tersebut diturunkan hingga tinggal 10 persen.

Uang dengan gambar macan yang sebelumnya bernilai Rp500 berubah menjadi Rp50, sementara uang dengan gambar gajah yang sebelumnya bernilai Rp1000 berubah menjadi Rp100. Penting untuk dicatat bahwa pemotongan ini tidak terjadi pada pecahan yang lebih kecil. Pada saat itu, gaji pegawai negeri berkisar antara Rp150 hingga Rp400 per bulan.

Dari Rp 1.000 menjadi Rp 1, berdasarkan PP 13 Desember 1965.

Keputusan ini didasarkan pada Undang-Undang (UU) No. 2 Prp. tahun 1959, seperti yang tercatat dalam buku sejarah Bank Indonesia. Pemerintah melakukan sanering uang pada 25 Agustus 1959 dengan menurunkan nilai uang pecahan Rp500 dan Rp1000 menjadi Rp50 dan Rp100. Tindakan ini dilakukan untuk mengatasi laju inflasi yang terus berlanjut hingga awal tahun 1960-an.

Dari Rp 2.500 menjadi Rp 2,50.

Namun, karena peraturan ini baru berlaku pada hari berikutnya, yaitu 25 Agustus, pukul 6 pagi waktu Jawa, dan informasi tentang hal ini belum tersebar secara merata, masyarakat menjadi kacau. Mereka yang mendengar informasi ini berlomba-lomba untuk membelanjakan uang dengan gambar macan dan gajahnya. Bank-bank diserbu oleh orang-orang yang ingin menukarkan uang macan dan gajah dengan pecahan yang lebih kecil. Toko-toko sembako, toko emas, dan berbagai toko lainnya juga diserbu oleh para pembeli.

Pada awalnya, para pemilik toko merasa senang karena barang dagangan mereka laku terjual dengan cepat. Namun, seiring berjalannya waktu, mereka menyadari bahwa mereka hanya menerima uang dengan gambar macan dan gajah saja. Di mana pecahan uang yang lainnya? Akhirnya, setelah mendengar informasi dari teman atau keluarga yang mengetahui peristiwa ini, mereka secara serentak menutup toko-toko mereka.

Akibatnya, pusat perbelanjaan dan pertokoan ketika itu tiba-tiba menjadi sepi. Semua toko tutup dan pemilik toko juga ikut-ikutan membelanjakan uang dengan gambar macan dan gajah mereka di daerah-daerah terpencil dan pelosok. Akhirnya penduduk di pedesaan saat itu menjadi korban akibat telat mengetahui informasi. Sapi, kambing, bahkan beras mereka diborong oleh penduduk kota yang menggunakan uang dengan gambar macan dan gajah.

Kepanikan semacam ini terus terjadi sampai peraturan tersebut mulai berlaku tepat pada pukul 6 pagi, 25 Agustus 1959. Masyarakat enggan menyimpan uang dengan gambar macan dan gajah. Mereka berlomba-lomba untuk membelanjakan atau menukarkannya di bank. Pada siang hari, nilai tukar masih sama. Namun, beberapa jam kemudian, nilai tukar tinggal 50 persen, dan terus menurun menjadi 30 dan 20 persen. Akhirnya, pada pukul 6 pagi, 25 Agustus 1959, nilai tukar hanya tinggal 10 persen.

Kejadian ini merupakan tahap pertama dari sanering yang dilakukan oleh pemerintahan Soekarno. Pada tanggal 13 Desember 1965, Soekarno juga mengambil langkah yang sama dengan memangkas tiga nol di belakang angka rupiah.

Langkah ini diambil karena adanya peningkatan kebutuhan anggaran pemerintah untuk proyek-proyek politik yang semakin meningkat akibat konflik dengan Belanda dan Malaysia. Hal ini juga disebabkan oleh pengeluaran besar-besaran pemerintah untuk membiayai proyek-proyek infrastruktur seperti Games of the New Emerging Forces (Ganefo) dan Conference of the Emerging Forces (Conefo).

Namun, kebijakan ini justru meningkatkan beban pemerintah, jumlah uang beredar, dan inflasi. Defisit anggaran semakin bertambah. Pada tahun 1961, defisit anggaran pemerintah mencapai 29,7 persen, kemudian meningkat menjadi 38,7 persen pada tahun 1962, 50,8 persen pada tahun 1963, 58,4 persen pada tahun 1964, dan 63,4 persen pada tahun 1965.

REDENOMINASI BUKAN SANERING

Kali ini perintah Indonesia akan melakukan redenominasi atau penyederhanaan nilai nominal rupiah. Menurutnya redenominasi bukanlah sanering seperti yang dilakukan di masa Soekarno. Melalui redenominasi, rencananya tiga angka nol akan dihapus. Jadi, Rp1000 akan menjadi Rp1 dan Rp100 ribu akan menjadi Rp100.

(Foto: detik.com)

Bank Indonesia (BI) melalui Gubernur BI Perry Warjiyo telah menyatakan kesiapan bank sentral dalam mendukung implementasi rencana redenominasi atau penyederhanaan nilai mata uang rupiah.

Redenominasi merupakan penyederhanaan nilai mata uang rupiah tanpa mengubah nilai tukarnya. Redenominasi bertujuan untuk menyederhanakan jumlah digit pada pecahan rupiah tanpa mengurangi daya beli, harga atau nilai rupiah terhadap harga barang dan/atau jasa.

"Mengenai redenominasi, kami dari dulu siap," tegas Perry, dikutip dari CNBC, Rabu (28/6/2023).

Meskipun demikian, kebijakan redenominasi sepenuhnya akan ditentukan oleh pemerintah. Perry menjelaskan bahwa pihak pemerintah dianggap memiliki pemahaman yang lebih baik mengenai kondisi saat ini.

Sebagai informasi, BI telah melakukan kajian redenominasi yang dirilis sejak 2010. Dalam kajian tersebut, dijelaskan bahwa perubahan harga rupiah ini bukanlah sanering atau pemotongan daya beli masyarakat melalui pemotongan nilai uang.

Menurut BI, redenominasi biasanya dilakukan dalam kondisi ekonomi yang stabil dan menuju ke arah yang lebih sehat. Sementara itu, sanering dilakukan pada kondisi perekonomian yang tidak sehat, di mana hanya nilai uang yang dipotong.

Dalam kajian tersebut, BI berargumen bahwa redenominasi akan menyederhanakan sistem akuntansi dalam pembayaran tanpa menimbulkan dampak negatif bagi perekonomian. Keberhasilan redenominasi sangat bergantung pada faktor-faktor seperti stabilitas makroekonomi, inflasi yang terkendali, nilai tukar mata uang, dan kondisi fiskal, yang telah terbukti melalui pengalaman beberapa negara.

BI juga telah merencanakan lima tahapan pelaksanaan redenominasi rupiah. Pada tahap pertama, yaitu pada tahun 2010, dilakukan studi banding tentang redenominasi di beberapa negara. Tahap kedua, pada tahun 2011-2012, merupakan masa sosialisasi. Tahap ketiga (2013-2015) adalah masa transisi di mana terdapat dua kuotasi penyebutan nominal uang.

Tahap keempat, yaitu pada tahun 2016-2018, BI akan memastikan uang lama dengan jumlah nol yang belum dipotong habis dengan batas penarikan pada 2018. Pada tahap kelima, yaitu tahun 2019-2020, keterangan baru dalam uang cetakan baru akan dihilangkan dan masyarakat siap menggunakan uang yang telah diredenominasi.

Namun, Perry menegaskan bahwa saat ini bukan waktu yang tepat untuk melakukan redenominasi. Kondisi perekonomian tanah air masih terpengaruh oleh dampak dari perekonomian global. Oleh karena itu, Perry meminta masyarakat untuk bersabar dan mempercayakan kebijakan redenominasi kepada pemerintah yang memiliki pemahaman yang lebih baik mengenai situasi dalam negeri.

"Sekarang masih spillover rambatan dari global masih berpengaruh terhadap stabilitas sistem keuangan kita. Juga kan (perekonomian domestik) bagus stabil, tapi dari global kan masih ada," kata Perry.

"Jadi sabar kalau di pemerintah yang lebih tahu untuk di dalam negeri," lanjutnya.

Menulis di Uwrite bisa dapat penghasilan, Investasikan tulisan anda sekarang juga
Daftar di sini

Jika anda keberatan dan memiliki bukti atau alasan yang kuat bahwa artikel berita ini tidak sesuai dengan fakta, anda dapat melakukan pengaduan pada tautan ini

Tulis Komentar