Saldi Isra Bingung, Putusan Hakim MK Berubah Setelah Paman Gibran Ikut Rapat

Uwrite.id - Kejadian yang sangat jarang terjadi dalam lingkungan Mahkamah Konstitusi (MK) telah membingungkan banyak pihak. Hakim MK Saldi Isra mengungkapkan perasaannya terkait perubahan mendadak dalam putusan perkara 90/PUU-XXI/2023 mengenai gugatan batas usia calon presiden dan wakil presiden (capres-cawapres).
Saldi, yang telah menjabat sebagai Hakim Konstitusi selama lebih dari enam setengah tahun, mengakui bahwa ini adalah kali pertama ia menghadapi situasi yang sangat aneh dalam pengadilan. Hal ini disampaikannya saat membacakan dissenting opinion pada Senin, 16 Oktober 2023.
Perasaan bingung Saldi dipicu oleh perbedaan antara putusan perkara 90/PUU-XXI/2023 dengan perkara 29-51-55/PUU-XXI/2023. Dalam tiga putusan sebelumnya, para hakim MK memandang gugatan pemohon sebagai ranah pembentuk undang-undang.
Saldi menyoroti perubahan yang sangat cepat ini, yang terjadi hanya dalam hitungan hari. Ia menegaskan, "Apakah mahkamah pernah berubah pendirian? Pernah tetapi tidak pernah terjadi secepat ini, di mana perubahan terjadi dalam hitungan hari."
Dalam konteks gugatan ini, ada belasan permohonan untuk menguji batas usia minimal calon presiden dan wakil presiden sesuai norma Pasal 169 huruf q UU 17 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Gugatan gelombang pertama, 29-51-55/PUU-XXI/2023, telah menjadi sorotan.
Saldi menjelaskan bahwa dalam rapat permusyawaratan hakim yang memutuskan perkara gelombang pertama pada tanggal 19 September 2023, Ketua MK yang juga paman dari Walikota Solo Gibran Rakabuming Raka, Anwar Usman tidak ikut memutuskan perkara. Hasilnya, enam hakim konstitusi menolak gugatan dan memandang Pasal 169 huruf q UU 7 tahun 2017 sebagai kebijakan hukum pembentuk undang-undang.
Namun, dalam perkara gelombang kedua, termasuk perkara 90/PUU-XXI/2023, Ketua MK Anwar Usman turut serta dalam putusan dan mengubah pandangan para hakim yang awalnya menolak gugatan, menjadi mengabulkan.
Dalam putusan akhir, Mahkamah Konstitusi mengabulkan syarat calon presiden dan wakil presiden yang menyebutkan bahwa mereka harus berusia paling rendah 40 tahun atau berpengalaman sebagai Kepala Daerah.
Gugatan ini awalnya diajukan oleh Almas Tsaqibbirru, seorang mahasiswa Universitas Surakarta. Hakim MK memutuskan untuk mengabulkan sebagian gugatannya.
Ketua MK Anwar Usman mengatakan bahwa MK telah menyatakan bahwa Pasal 169 huruf q UU 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang mengatur batas usia 40 tahun bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, kecuali jika diinterpretasikan berusia paling rendah 40 tahun atau pernah menduduki jabatan melalui pemilihan umum, termasuk pemilihan kepala daerah.
Putusan MK ini berbeda dengan putusan sebelumnya, yaitu perkara 29/PUU-XXI/2023, 51/PUU-XXI/2023, dan 55/PUU-XXI/2023 yang juga dibacakan pada hari yang sama. Ketiga putusan ini ditolak oleh MK meskipun gugatannya serupa, yaitu menguji UU No 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
Para penggugat, yang mewakili Partai Solidaritas Indonesia, Partai Garuda, dan tiga kepala daerah, meminta agar Pasal 169 huruf q UU tersebut yang mengatur batas usia capres-cawapres minimal 40 tahun diubah menjadi minimal 35 tahun dan harus memiliki pengalaman sebagai penyelenggara negara.
Tulis Komentar