RUU Kesehatan, Rokok Rencana Disejajarkan dengan Narkotika
Uwrite.id - Penyusunan RUU Omnibus Law Kesehatan harus mengedepankan proses penyusunan produk hukum yang baik agar tidak menimbulkan masalah baru. Pasalnya, dalam RUU tersebut, rokok disamakan dengan minuman beralkohol dan narkotika.
Produk legal seperti rokok, hasi pengolahanl tembakau lainnya, dan minuman beralkohol dikelompokkan dengan narkotika dan psikotropika sebagai zat adiktif. Namun, narkotika dan psikotropika saat ini diatur dengan undang-undang tersendiri.
Ketentuan ini tertuang dalam draf pasal 154 ayat (3) yang berbunyi, zat adiktif dapat berupa narkotika, psikotropika, minuman beralkohol, hasil tembakau, dan zat adiktif lainnya.
Sunny Ummul Firdaus, Pakar Hukum Negara dan Hukum Kesehatan Universitas Sebelas Maret, menganggap pengkategorian zat adiktif sembarangan ini sebagai klausul yang memerlukan penjelasan lebih komprehensif. Tujuannya adalah untuk mencegah salah tafsir yang dapat menyebabkan masalah yang lebih besar.
Menurut Sunny, jika dua kategori produk legal dan ilegal diperlakukan sama, diperlukan penjelasan filosofis, empiris, dan yuridis karena kedua kelompok produk tersebut memiliki aspek sosial budaya yang berbeda.
"Saya memahami niat Kementerian Kesehatan dalam mendorong revisi RUU Kesehatan untuk meningkatkan pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Namun Jika ada dua jenis produk yang kedudukannya di hadapan hukum berbeda namun diperlakukan dengan sama, maka harus dapat jelaskan apa original intent atau maksud yang sebenarnya terkandung di dalamnya. Sehingga tidak melanggar Pancasila dan UUD 1945 serta memberikan kerugian konstitusional bagi masyarakat," kata Sunny seperti dikutip suara.com.
Ia juga mempertanyakan maksud dari ketentuan pemerataan ini dalam revisi RUU Kesehatan.
"Apakah jika RUU Kesehatan terbit dengan ketentuan tersebut, dapat ditafsirkan jika masyarakat dapat memilih mau konsumsi rokok atau alkohol yang dianggap ilegal? Atau sebaliknya, narkotika dan psikotropika yang bisa dikonsumsi secara legal?" tanya dia.
Sunny juga menegaskan, revisi regulasi harus dikonstruksi secara jelas dan tegas agar tidak menimbulkan masalah baru. Selain itu, Sunny juga mengingatkan bahwa penyusunan peraturan prosedural nasional harus mengacu pada UU No 12 Tahun 2011 yang telah diperbarui dalam UU No 15 Tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
"Pemerintah dan DPR perlu mempertimbangkan apa dampak yang akan muncul dari klausul zat adiktif tersebut jika disetujui," imbuh Sunny.
Sebagai catatan, revisi Omnibus Law Kesehatan akan mencabut dan/atau mengubah sembilan undang-undang. Yakni UU Kesehatan, UU Wabah Penyakit Menular, UU Praktik Kedokteran, UU Rumah Sakit, UU Kesehatan Jiwa, UU Tenaga Kesehatan, UU Keperawatan, UU Karantina Kesehatan, dan UU Kebidanan.
Omnibus Law Kesehatan juga mengubah UU SJSN, UU Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, UU Sisdiknas, dan UU Pendidikan Tinggi.
Tulis Komentar