Ramai-Ramai Boss "Start Up" Jadi Kriminal, Terkuak Rentannya Industri Usaha Pemula Rintisan

Uwrite.id - Jakarta — Sederetan kasus penipuan dan manipulasi laporan keuangan yang terjadi di ekosistem usaha rintisan bidang teknologi atau start up Indonesia beberapa pekan terakhir bukan hanya disebabkan oleh perilaku individu yang menyimpang. Fenomena ini mencerminkan kelemahan sistemik industri start up.
Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (UI) Rhenald Kasali, Selasa (05/08), di Jakarta menyampaikan pandangan tersebut ketika ditanya pendapatnya mengenai kasus penipuan (fraud) dan manipulasi keuangan yang bertubi-tubi terjadi di ekosistem start up nasional.
”Kasus fraud dan manipulasi laporan keuangan di start up Indonesia menjadi alarm keras bagi ekosistem digital nasional. Fenomena ini bukan semata soal individu yang nakal, melainkan juga tentang sistem yang lemah dan terlalu permisif terhadap narasi pertumbuhan cepat tanpa dasar yang sehat,” ujarnya.
Kalau melihat dari dekat dan mengenal para pendiri start up bersangkutan, Rhenald mengatakan, rasanya mustahil mereka melakukan berbagai praktik penipuan itu. Ia menilai, kekacauan ini terjadi secara menyeluruh ketika setiap pihak hanya fokus pada game dan objektif masing-masing.
Investor hanya fokus pada tingkat pengembalian investasi mereka. Pendiri start up hanya fokus pada nilai barang dagangan bruto (GMV/gross merchandise value) dan pertumbuhan valuasi. Pemerintah hanya fokus pada pajak. Sementara konsumen hanya fokus pada manfaat layanan. Demikian juga pelaku usaha lainnya.
Akibatnya, semua pihak tersebut menikmati ”permainan” yang semu seakan-akan nilai yang diperoleh adalah riil. Padahal, semua turut menikmati dan memainkan ”permainan” itu.
Menurut Rhenald, ada beberapa hal yang perlu dilakukan oleh pelaku ekosistem start up Indonesia. Pertama, penguatan tata kelola. Sebab, ada banyak start up yang tumbuh dengan euforia pendanaan tanpa membangun sistem kontrol internal yang kokoh.
Start up nasional butuh menerapkan tata kelola yang setara dengan perusahaan publik, termasuk pembentukan komite audit independen, pelaporan keuangan yang transparan, serta pelibatan dewan komisaris yang benar-benar berfungsi sebagai pengawas, bukan sekadar formalitas.
Kedua, audit due diligence yang lebih ketat. Tidak cukup hanya melakukan audit tahunan laporan keuangan start up, tetapi audit berkala yang acak dan mendalam oleh auditor independen yang kredibel. Pengawasan dari investor seharusnya tidak hanya mengejar valuasi, tetapi juga kualitas laporan keuangan dan arus kas.
Ketiga, perubahan model pendanaan. Pendanaan berbasis burn rate (bakar uang) dan ekspektasi pertumbuhan agresif sering kali mendorong manajemen untuk memanipulasi data demi memenuhi target investor. Ekosistem start up Indonesia butuh model pendanaan yang lebih sehat.
”Misalnya, pendanaan berbasis milestone kinerja yang terverifikasi, bukan hanya proyeksi,” ucap Rhenald.
Peran pemerintah, Rhenald berpendapat, perlu lebih jelas dalam membangun ekosistem digital. Instrumen pajak yang dipungut Kementerian Keuangan (Kemenkeu) seharusnya bisa dikembalikan pada industri start up untuk kegiatan pembinaan.
Selama ini, menurut pengamatan dia, sejumlah anak muda Indonesia yang memahami teknologi sangat buta dalam manajemen perusahaan yang profesional. Konsekuensinya, mereka akhirnya terlarut dalam ”permainan” investor tentang kenaikan nilai investasi.
Regulasi pemerintah perlu dibuat lebih progresif tetapi adaptif. Saat ini banyak start up berada di zona ”abu-abu” karena regulasi belum menjangkau kompleksitas model bisnis digital. Pemerintah perlu merancang kerangka pengawasan yang tidak mengekang inovasi, tetapi memastikan transparansi dan akuntabilitas.
Pemerintah bisa mempertimbangkan tata kelola pengembangan inovasi untuk start up yang masih berkembang sambil membangun praktik transparansi secara bertahap. ”Di sini harus ada peran pemerintah (Kementerian Komunikasi dan Digital) sebagai pembina ekosistem dan literasi,” kata Rhenald.
Saat dikonfirmasi secara terpisah, Wakil Ketua IV Asosiasi Modal Ventura dan Start Up Indonesia (Amvesindo) Rama Mamuaya mengatakan, untuk mencegah berulangnya kasus fraud dan manipulasi laporan keuangan di ekosistem start up, dibutuhkan usaha besar yang mengandalkan peran aktif dari pendiri, investor, dan pelaku lain di ekosistem.
Akuntabilitas dan transparansi perlu terus diperkuat karena itu menjadi kunci menjaga reputasi industri. ”Semua komponen yang terlibat harus melihat ke dalam prosesnya masing-masing dan mencari cara untuk terus memperbaiki,” ucapnya.
Secara spesifik, Amvesindo menyambut baik langkah Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang telah memperkuat regulasi perusahaan modal ventura. Salah satunya adalah Peraturan OJK Nomor 46 Tahun 2024 tentang Pengembangan dan Penguatan Perusahaan Pembiayaan, Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur, dan Perusahaan Modal Ventura.
Ketentuan itu mencakup manajemen risiko, tata kelola, kualitas sumber daya manusia, dan pengawasan. Penguatan ini tidak hanya melindungi investor dan publik, tetapi juga membangun kepercayaan yang lebih besar terhadap ekosistem digital Indonesia.
”Kami percaya tata kelola yang baik adalah fondasi penting bagi kemajuan industri teknologi ke depan,” kata Rama.
Kasus Bertubi-tubi
Pada Selasa (05/08) pagi, Badan Reserse Kriminal Kepolisian Negara Republik Indonesia (Bareskrim Polri) menyatakan telah menahan eks CEO eFishery Gibran Huzaifah beserta dua petinggi eFishery lainnya, Angga Hadrian Raditya (mantan Wakil Presiden eFishery) dan Andri Yadi (Wakil Presiden Pembiayaan Budidaya eFishery).
Ketiganya ditahan dalam perkara dugaan penggelapan dana investasi lebih kurang Rp 15 miliar sejak 31 Juli 2025. Penahanan terhadap bekas petinggi perusahaan rintisan di bidang akuakultur itu merupakan buntut dari manipulasi laporan keuangan yang dilakukan pada 2024 dan terkuak.
Gibran Huzaifah mengakui dirinya telah memoles laporan keuangan. Dalam wawancara khususnya dengan Bloomberg pada April 2025, dia menyebut langkah itu bagian dari bertahan hidup. Mengenai nasib perusahaan, laporan terbaru DealStreetAsia, Selasa (05/08), menyebut eFishery saat ini mengusulkan rencana likuidasi yang menguntungkan pemegang saham preferen.
Awal pekan lalu, Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan juga menetapkan tiga tersangka kasus dugaan korupsi dan tindak pidana pencucian uang pengelolaan dana investasi 25 juta dollar AS oleh MDI Ventures dan BRI Ventures ke TaniHub Group selama periode 2019-2023. Tiga tersangka itu adalah DSW (Direktur MDI Ventures), IAS (mantan Direktur Utama TaniHub), dan ETPLT (mantan Direktur TaniHub). Ketiganya ditahan sejak 28 Juli 2025.
Minggu sebelumnya, ramai juga diberitakan Adrian A Gunadi, eks CEO Investree, yang menjadi CEO JTA Investree Doha Consultancy. Padahal, dia diduga menjadi buron karena terlibat dalam tindak pidana kegagalan pengembalian dana kepada para pemberi pinjaman di Investree.
Awal tahun 2025, start up pinjam-meminjam uang berbasis teknologi informasi Akseleran juga mengalami masalah gagal bayar yang tinggi. Mundur ke akhir 2024, Polda Metro Jaya dikabarkan tengah menyelidiki kasus penipuan yang melibatkan PT Lunaria Annua Teknologi, anak perusahaan start up pinjam-meminjam uang berbasis teknologi informasi ”KoinWorks”, dengan total kerugian mencapai Rp 365 miliar. (")
Tulis Komentar