R Haidar Alwi: Rodrigo Duterte, Pengadilan Kriminal Internasional, dan Standar Ganda Keadilan Global.

Politik | 25 Mar 2025 | 21:24 WIB
R Haidar Alwi: Rodrigo Duterte, Pengadilan Kriminal Internasional, dan Standar Ganda Keadilan Global.

Uwrite.id -  

R Haidar Alwi, pendiri Haidar Alwi Care dan Haidar Alwi Institute, menyoroti persidangan Rodrigo Duterte di Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) sebagai bukti nyata bahwa keadilan global masih dikendalikan oleh kepentingan politik negara-negara besar. Sidang yang digelar pada 14 Maret 2025 di Den Haag ini tidak hanya mempertanyakan kebijakan Duterte saat menjabat sebagai Presiden Filipina, tetapi juga menelanjangi standar ganda yang selama ini diterapkan oleh ICC.

Duterte, yang hadir dalam kondisi duduk di kursi roda, tidak tinggal diam menghadapi tuduhan "kejahatan terhadap kemanusiaan" terkait kebijakan perang melawan narkoba. Dengan lantang, ia melontarkan pertanyaan yang mengguncang ruang sidang: Mengapa ICC diam terhadap pembantaian 350.000 warga sipil di Afghanistan oleh militer AS? Mengapa pengadilan ini tidak pernah mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap pemimpin Israel atas tewasnya 50.000 anak-anak di Gaza?

Menurut R Haidar Alwi, keberanian Duterte dalam membongkar ketidakadilan ini harus menjadi pelajaran bagi dunia, termasuk Indonesia. “Ini bukan hanya soal Duterte. Ini adalah bukti bahwa ICC hanya bertindak tegas terhadap negara-negara kecil, sementara kejahatan perang yang dilakukan oleh negara adidaya justru diabaikan,” ujar Haidar Alwi.

Lebih jauh, Duterte menunjukkan bukti rekaman yang memperlihatkan dampak kebijakan anti-narkoba di Kota Davao, yang menurunkan angka kriminalitas hingga 73%. Ia juga memperlihatkan foto-foto korban kartel narkoba dan membandingkannya dengan kehancuran akibat serangan drone militer AS. “Mana yang lebih mirip kejahatan terhadap kemanusiaan?” tanya Duterte di hadapan hakim ICC, membuat ruang sidang riuh dan sulit dikendalikan.

*Indonesia Harus Waspada terhadap Standar Ganda ICC*

Haidar Alwi mengingatkan bahwa Indonesia tidak boleh lengah terhadap pola yang dimainkan oleh ICC. Sebagai negara berdaulat, Indonesia harus berhati-hati dalam merespons putusan-putusan lembaga ini yang kerap dipengaruhi oleh kepentingan geopolitik.

“Indonesia harus memperkuat sistem hukum dalam negeri agar tidak mudah diintervensi oleh lembaga internasional yang sarat kepentingan. ICC bukanlah satu-satunya tolok ukur keadilan, terlebih jika keputusan-keputusannya terbukti tidak netral,” tegasnya.

Persidangan Duterte bisa menjadi momentum bagi negara-negara berkembang untuk meninjau ulang posisi mereka terhadap ICC. Jika lembaga ini terus berpihak dan menjadi alat tekanan politik bagi negara-negara besar, maka sudah saatnya negara-negara di Global South mempertimbangkan langkah drastis, termasuk kemungkinan menarik diri dari ICC.

Di tengah perubahan geopolitik dunia yang semakin dinamis, Indonesia harus memastikan bahwa kebijakan hukum dan keadilannya tidak tunduk pada tekanan asing. Saatnya membangun sistem hukum yang kuat, independen, dan benar-benar berpihak kepada kepentingan rakyat serta kedaulatan bangsa.

Menulis di Uwrite bisa dapat penghasilan, Investasikan tulisan anda sekarang juga
Daftar di sini

Jika anda keberatan dan memiliki bukti atau alasan yang kuat bahwa artikel berita ini tidak sesuai dengan fakta, anda dapat melakukan pengaduan pada tautan ini

Tulis Komentar