Pramoedya Ananta Toer dan Gus Dur: Persahabatan di Atas Perbedaan

Tokoh | 20 Jan 2025 | 00:17 WIB
Pramoedya Ananta Toer dan Gus Dur: Persahabatan di Atas Perbedaan
Pramoedya Ananta Toer dan Gus Dur.

Uwrite.id - Menjelang seabad kelahiran Pramoedya Ananta Toer, nama sastrawan besar ini kembali mendapat perhatian. Karya-karyanya yang menggugah pemikiran telah menjangkau generasi demi generasi, membangun kesadaran tentang sejarah, kemanusiaan, dan perjuangan rakyat kecil. Namun, di balik sosoknya yang sering dianggap kontroversial, ada kisah menarik tentang persahabatannya dengan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Presiden ke-4 Republik Indonesia.  

Dua tokoh ini berasal dari latar belakang yang berbeda—Pram, seorang penulis realisme sosialis yang pernah mengalami represi politik, dan Gus Dur, seorang ulama humanis yang selalu mengedepankan dialog lintas batas. Meski begitu, mereka menjalin hubungan yang akrab, saling menghormati, dan berbagi pemikiran tentang banyak hal, mulai dari sastra hingga kelautan. 

Pertemuan di Istana: Dialog Dua Pemikir Besar 

Salah satu momen penting dalam hubungan mereka terjadi pada 27 Oktober 1999, ketika Gus Dur baru saja dilantik menjadi presiden. Di Wisma Negara, Kompleks Istana Kepresidenan Jakarta, ia mengundang Pramoedya untuk berdiskusi. Dalam pertemuan itu, keduanya berbicara tentang isu kelautan—topik yang mungkin tidak biasa bagi banyak orang, tetapi menarik bagi dua pemikir besar ini.  

Sebagai penulis Gadis Pantai, Pramoedya menaruh perhatian besar pada laut sebagai bagian dari identitas Indonesia. Gus Dur pun menyambut pemikiran ini dengan antusias, apalagi di awal pemerintahannya, ia baru saja membentuk Departemen Kelautan dan Perikanan. Dalam diskusi itu, Pram bahkan menghadiahkan bukunya yang berjudul Kretek kepada Gus Dur.  

Tak berhenti di situ, Gus Dur juga pernah mengutip kalimat yang terinspirasi dari pemikiran Pram:  

“Laut tetap kaya takkan kurang, cuma hati manusia semakin dangkal dan miskin.”  

Sebuah pernyataan yang menggambarkan bagaimana sumber daya alam Indonesia melimpah, tetapi keserakahan manusia sering kali membuatnya hancur.

Pramoedya, Gus Dur, dan Pelajaran tentang Persahabatan  

Di Indonesia, perbedaan ideologi sering menjadi pemicu perpecahan. Namun, Pramoedya dan Gus Dur menunjukkan bahwa perbedaan bukanlah penghalang untuk menjalin persahabatan. Pram dengan latar belakang kiri dan Gus Dur dengan latar belakang Islam humanis justru bisa saling belajar dan menghormati.  

Gus Dur dikenal sebagai pemimpin yang menolak diskriminasi, bahkan pernah mengembalikan hak kewarganegaraan Pramoedya yang sempat dicabut di masa Orde Baru. Di sisi lain, Pram juga mengakui kebesaran jiwa Gus Dur yang tidak membatasi dirinya dalam kotak ideologi sempit.  

Kisah ini menjadi pelajaran berharga bagi generasi muda bahwa dialog, keterbukaan, dan rasa hormat jauh lebih penting daripada sekadar mempertahankan perbedaan pendapat.  

Warisan yang Terus Hidup

Kini, warisan intelektual Pramoedya tetap dikenang, salah satunya melalui upaya pemerintah daerah Blora yang ingin menjadikan rumah masa kecilnya sebagai museum. Sementara itu, pemikiran Gus Dur tentang pluralisme dan kemanusiaan juga terus menjadi inspirasi dalam kehidupan berbangsa.  

Persahabatan mereka bukan hanya cerita masa lalu, tetapi juga cermin bagi kita semua untuk membangun bangsa dengan sikap terbuka dan penuh penghormatan. Seperti yang ditunjukkan oleh Pram dan Gus Dur, perbedaan bukanlah jurang pemisah, tetapi jembatan untuk memahami satu sama lain.

Menulis di Uwrite bisa dapat penghasilan, Investasikan tulisan anda sekarang juga
Daftar di sini

Jika anda keberatan dan memiliki bukti atau alasan yang kuat bahwa artikel berita ini tidak sesuai dengan fakta, anda dapat melakukan pengaduan pada tautan ini

Tulis Komentar