Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Melemah, Kredit Macet Naik, dan UMKM Tertekan

Uwrite.id - Sejumlah indikator makroekonomi dan sektor keuangan menunjukkan bahwa perekonomian Indonesia tengah menghadapi tekanan yang tidak ringan. Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat berbagai tren yang perlu dicermati secara serius oleh pemangku kebijakan maupun masyarakat luas.
Kepala Departemen Kebijakan Sistem Pembayaran BI, Dicky Kartikoyono, mengungkapkan bahwa pertumbuhan ekonomi nasional mengalami pelemahan yang cukup tajam. Bahkan, menurutnya, laju pertumbuhan saat ini tercatat sebagai yang terendah sejak era 1970-an.
Di sisi lain, OJK juga merilis data kredit bermasalah atau Non-Performing Loan (NPL) bruto perbankan pada Mei 2025 yang menunjukkan kenaikan dari 2,24 persen menjadi 2,29 persen. Angka ini merupakan yang tertinggi sejak awal tahun, dan menjadi indikator penting atas menurunnya kemampuan debitur dalam memenuhi kewajiban kredit. Kondisi ini juga mencerminkan tekanan yang semakin kuat terhadap sektor riil.
Mengutip laporan dari Infobanknews.com, kenaikan NPL dan Loan at Risk (LAR) ke posisi tertinggi sejak awal tahun mencerminkan meningkatnya risiko kredit yang disebabkan oleh tekanan likuiditas dan melemahnya daya beli masyarakat.
“Pelemahan kualitas kredit juga ditopang oleh NPL sektor rumah tangga yang naik ke level 2,43 persen dari April 2025 sebesar 2,33 persen, serta NPL Kredit Pemilikan Rumah (KPR) yang meningkat menjadi 3,24 persen dari sebelumnya 3,13 persen,” demikian disebutkan dalam riset yang dirilis di Jakarta, Senin (7/7/25).
Selain sektor perbankan, OJK juga mencatat peningkatan kredit macet dari layanan pinjaman berbasis teknologi (fintech), khususnya dari kelompok usia di atas 54 tahun. Kondisi ini menunjukkan bahwa tekanan ekonomi turut dirasakan lintas kelompok usia, termasuk masyarakat prapensiun dan lansia yang secara umum dikenal lebih berhati-hati secara finansial.
Ketua Umum Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI), Entjik S. Djafar, menyebut bahwa kenaikan NPL dari kalangan usia lanjut tidak lepas dari kondisi ekonomi yang melemah.
“Ini karena faktor ekonomi yang benar-benar lesu. Yang usia lima puluh tahun ke atas biasanya lebih banyak berhubungan dengan masyarakat dan faktor ekonomi,” ujar Entjik, Jumat (13/6/25).
Ia menambahkan, sebagian besar pengguna layanan fintech lending adalah pelaku usaha ultramikro, seperti pedagang makanan kaki lima. “Mereka yang pinjamannya Rp 2 juta sampai Rp 6 juta sangat bergantung pada akses pendanaan ini,” ujarnya.
Kondisi di lapangan pun memperlihatkan tekanan nyata terhadap pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Sejumlah pelaku usaha menyatakan bahwa situasi ekonomi saat ini terasa lebih berat dibandingkan masa pandemi COVID-19.
“Dulu masih ada bantuan langsung tunai, insentif pajak, dan stimulus lain. Sekarang hanya mengandalkan kekuatan sendiri. Pembeli sepi, biaya operasional naik, sementara pinjaman sulit dilunasi,” ungkap salah satu pelaku UMKM di Pacitan, Jawa Timur.
Tidak sedikit UMKM yang memilih menutup usahanya karena tekanan finansial yang makin berat, sementara sebagian lainnya bertahan dalam kondisi pemasukan yang turun drastis. Padahal, kelompok usaha kecil ini selama ini dikenal sebagai tulang punggung ekonomi nasional.
Selain faktor domestik, tekanan ekonomi Indonesia juga dipengaruhi oleh faktor eksternal. Ketegangan geopolitik global, gangguan rantai pasok, kenaikan harga energi dan pangan dunia, serta ketidakpastian perdagangan internasional ikut memperburuk sentimen dan kondisi ekonomi dalam negeri.
Meskipun hingga saat ini belum ada langkah darurat yang diumumkan pemerintah, berbagai data terbaru memberi sinyal kuat perlunya evaluasi terhadap efektivitas kebijakan pemulihan ekonomi. Penyesuaian strategi berbasis data dan pemetaan kelompok rentan dinilai penting untuk menghindari tekanan lanjutan pada kuartal-kuartal berikutnya.
Tulis Komentar