
Uwrite.id - Nama yang ia pakai malam itu bukan namanya.
Bukan juga nama yang tertulis di KTP yang tersimpan rapi di laci rumah. Nama malam itu dipilih asal, ringan diucap, mudah dilupakan. Nama yang tidak akan dipanggil siapa pun setelah lampu karaoke mati.
Di ruang karaoke lantai dua, lampu berwarna ungu membuat semua wajah terlihat sama—sedikit lelah, sedikit palsu. Musik dangdut remix diputar terlalu keras, cukup untuk menenggelamkan pikiran, tidak cukup untuk menenggelamkan kesadaran.
Perempuan itu duduk di ujung sofa. Kakinya disilangkan, tangannya memegang ponsel yang layarnya mati. Ia tertawa ketika perlu, mengangguk saat harus. Ia hafal urutannya.
Jam di dinding menunjukkan pukul dua lewat lima belas. Masih ada waktu. Selalu masih ada waktu, sampai tiba-tiba tidak ada.
“Tambah satu lagu lagi ya,” kata lelaki di sebelahnya. Bau alkohol menempel di napasnya.
Perempuan itu tersenyum. “Boleh.”
Ia berdiri, berjalan ke mesin lagu, memilih lagu yang tidak ia sukai tapi selalu berhasil membuat orang bernyanyi keras. Lagu yang memaksa orang lupa diri, sementara ia mengingat segalanya.
Ia kembali duduk. Lelaki itu menyanyikan lagu dengan suara fals. Temannya tertawa. Mereka menepuk meja, menepuk bahunya. Perempuan itu ikut tertawa. Tidak terlalu keras. Tidak terlalu tulus.
Di sela tawa, pikirannya melayang ke rumah. Rumah yang sepi di siang hari. Tirai yang jarang dibuka. Cermin kecil di kamar mandi yang selalu ia hadapi tanpa lampu terang.
Ia jarang bercermin lama. Terlalu banyak versi dirinya di sana.
Ketika lagu selesai, tepuk tangan terdengar. Minuman diisi lagi. Jam bergerak pelan.
Sekitar pukul tiga, salah satu lelaki pamit. Katanya sudah capek. Yang lain mengangguk, lalu kembali minum. Perempuan itu mengantar dengan senyum yang sama.
Pukul tiga lewat sepuluh, tamu terakhir berdiri. Ia mengucapkan terima kasih, menyelipkan uang ke meja. Uang itu tidak kecil. Tidak juga besar. Cukup.
“Ati-ati pulang,” kata perempuan itu.
Lelaki itu mengangguk. “Kamu juga.”
Kalimat itu terdengar lucu. Ia hampir tertawa, tapi hanya tersenyum.
Pintu tertutup. Musik dimatikan. Ruangan mendadak terasa lebih sempit. Lebih sunyi.
Perempuan itu duduk sebentar. Menarik napas panjang. Seperti seseorang yang baru muncul ke permukaan setelah lama menyelam.
Di luar ruangan, beberapa perempuan lain sudah bersiap pulang. Ada yang masih bercanda, ada yang sibuk dengan ponsel. Mereka menyebut nama-nama siang mereka dengan hati-hati, seolah bisa pecah jika terlalu keras.
Perempuan itu mengambil tasnya. Jaket tipis. Ia berjalan keluar, menuruni tangga satu per satu. Setiap langkah terdengar jelas di telinganya.
Di lorong belakang, udara lebih dingin. Lampu neon menyala setengah. Seorang tukang parkir berdiri di dekat motor, rokok di tangan. Ia mengangguk saat perempuan itu lewat.
“Pulang, Mbak?” tanyanya.
“Iya.”
“Ati-ati.”
Perempuan itu mengangguk. Ia menyalakan motor. Mesin berbunyi kasar sebentar sebelum stabil.
Ia selalu pulang terakhir. Bukan karena ingin. Tapi karena tidak ada yang menunggu. Tidak ada alasan untuk terburu-buru.
Di jalan, kota tampak berbeda. Lampu merah terasa lebih lama. Warung kopi masih buka. Beberapa orang duduk diam, menatap gelas.
Ia berhenti di lampu merah, membuka helm sedikit, menghirup udara. Bau pagi mulai muncul. Campuran tanah basah dan asap.
Di lampu merah itu, ia melihat bayangannya di kaca spion. Riasan sudah pudar. Matanya sedikit merah. Ia terlihat seperti dua orang berbeda yang dipaksa tinggal di tubuh yang sama.
Ia ingat suatu pagi, ibunya menelepon.
“Kamu kerja apa sekarang?” tanya ibunya, suaranya hati-hati.
“Kerja,” jawabnya singkat.
“Jangan terlalu capek.”
Ia mengiyakan. Tidak menjelaskan. Tidak berbohong. Tidak juga jujur.
Lampu hijau menyala. Ia melaju lagi.
Di rumah, ia memarkir motor, membuka pintu pelan. Rumah kecil itu menyambutnya dengan sunyi. Ia menyalakan lampu ruang tamu. Meletakkan tas. Melepas sepatu.
Di cermin, ia berdiri lama kali ini. Menghapus sisa lipstik dengan tisu. Wajah aslinya muncul perlahan. Wajah yang jarang dilihat orang malam itu.
Ia membuka pesan di ponsel. Tidak ada yang baru. Ia menaruh ponsel, merebahkan diri di kasur tanpa mengganti baju.
Jam menunjukkan hampir lima.
Tidur datang sebentar, lalu pergi. Seperti tamu yang ragu.
Ia bangun menjelang siang. Matahari sudah tinggi. Dunia siang terasa asing. Terlalu terang. Terlalu jujur.
Ia menyeduh kopi. Duduk di lantai. Menyesap pelan.
Di siang hari, ia tidak tertawa sebanyak malam. Tidak juga banyak bicara. Ia lebih sering diam, membaca pesan-pesan lama, menghapus foto yang tidak perlu.
Sore itu, ia keluar sebentar membeli makan. Tetangga menyapa. Ia membalas singkat. Tidak ada yang bertanya lebih jauh. Ia bersyukur.
Malam datang lagi. Ia mandi. Berdandan. Memilih pakaian. Setiap gerakan dilakukan tanpa emosi berlebih. Seperti rutinitas yang tak perlu dipikirkan.
Di depan cermin, ia mengenakan nama malam itu lagi. Nama yang berbeda dari semalam. Nama yang akan ditinggalkan sebelum subuh.
Di klub, musik menyambutnya. Lampu. Senyum. Tawaran minum.
Semuanya berulang.
Namun, di antara tawa dan lagu, ia selalu tahu satu hal:
ia akan pulang terakhir lagi.
Bukan karena ia paling kuat. Tapi karena ia paling tidak ditunggu.
Dan di dunia malam, itu sering disalahartikan sebagai ketangguhan.
Ketika jam mendekati tiga, ia menatap jam sebentar. Lalu tersenyum. Bukan pada siapa pun. Pada dirinya sendiri.
Karena ia tahu, besok pagi, ketika kota kembali berpura-pura normal, tidak ada yang akan menanyakan namanya malam ini.
Dan itu—anehnya—memberinya sedikit ruang untuk bernapas.

Tulis Komentar