Perang Israel-Hamas: Upaya PM Israel Benjamin Netanyahu untuk Mengamankan Kekuasaan?
Uwrite.id - Israel dan Hamas, milisi di Palestina, terlibat dalam konflik yang memicu perhatian internasional. Perdana Menteri Benjamin Netanyahu berusaha untuk mengatasi tantangan ini dan mempertahankan kekuasaannya.
Salah satu pendekatan yang ditempuh oleh Netanyahu adalah berjanji untuk melakukan serangan besar-besaran sebagai respons terhadap serangan dari pihak Hamas.
Sebelum perang ini pecah, Israel telah menghadapi protes besar-besaran oleh masyarakatnya, dan pemerintahan Netanyahu mengalami perpecahan internal setelah mencoba mereformasi sistem peradilan. Publik merasa bahwa reformasi tersebut melemahkan sistem pengawasan pemerintah.
Namun, pertanyaan yang muncul adalah apakah upaya Netanyahu untuk mengatasi konflik ini akan berhasil menjaga posisinya di kekuasaan.
Menurut Yon Machmudi, seorang Pengamat Studi Timur Tengah dari Universitas Indonesia, strategi perang Netanyahu tidak cukup untuk memastikan stabilitas posisinya.
Yon menyatakan, "Mungkin perang ini digunakan oleh Netanyahu sebagai alat mobilisasi untuk melawan musuh bersama," ketika dihubungi oleh CNNIndonesia.com. Namun, ia menambahkan, "Saya melihat ini akan menjadi serangan balik dari rakyat Israel yang menganggap Netanyahu gagal melindungi mereka."
Musuh bersama yang dimaksud adalah Hamas, yang telah melancarkan serangan dari berbagai front, termasuk darat, laut, dan udara. Beberapa anggota Hamas bahkan berhasil menyusup ke wilayah Israel.
Netanyahu merespons serangan ini dengan mengumumkan "kita sedang berperang" kepada warga Israel dan meluncurkan serangan besar-besaran ke Jalur Gaza, yang dikuasai oleh Hamas. Ia juga mengirim ratusan ribu tentara cadangan ke dekat perbatasan wilayah itu dan membentuk unit khusus perang.
Namun, Yon Machmudi pesimis bahwa upaya ini akan cukup untuk mempertahankan posisi Netanyahu. Menurutnya, masyarakat mulai menyadari bahwa mereka tidak ingin menjadi korban ambisi politik Netanyahu yang lebih menekankan pada perang.
Hasil jajak pendapat yang dirilis oleh Dialog Center menunjukkan bahwa 56 persen warga Israel ingin Netanyahu mengundurkan diri dari jabatan perdana menteri setelah konflik dengan Palestina berakhir.
Situasi ini juga membuka jalan bagi kelompok oposisi yang menentang Netanyahu untuk mencoba menjatuhkannya dari kekuasaan.
Selain itu, survei tersebut mencatat bahwa 86 persen responden menilai serangan mendadak dari Gaza adalah kegagalan pemerintah Israel saat ini, dan 94 persen responden merasa bahwa pemerintah bertanggung jawab atas kesiapan yang minim yang menyebabkan serangan terjadi.
Meskipun Netanyahu telah meluncurkan serangkaian tindakan untuk melawan Hamas, kritik terus mengalir. Para pengamat Barat bahkan menilai bahwa pemerintahan Netanyahu terbukti tidak mampu menjaga keamanan dengan baik, meskipun sebelumnya dikenal memiliki pertahanan yang kuat.
Jurnalis senior yang sering mengkaji isu Timur Tengah dari Haaretz, Ravit Hecht, menyalahkan intelijen militer dan Dinas Keamanan Shin Bet yang dianggap lalai.
Ada dugaan bahwa informasi intelijen yang relevan tidak diseriuskan karena asumsi sebelumnya bahwa Hamas tidak akan berani menyerang, dan mereka lebih fokus pada Tepi Barat serta masalah ekonomi.
Dengan situasi yang terpecah-belah di Israel, termasuk mogok kerja di lembaga pertahanan, Hamas melihat peluang untuk menyerang.
Ravit Hecht menyimpulkan bahwa serangan Hamas ini adalah bukti kegagalan politik Netanyahu dan mungkin akan menjadi bagian dari catatan sejarah yang kelam bagi pemerintahan Netanyahu.
Selain itu, ia menilai bahwa pemerintah tidak berhasil menjalankan fungsi utamanya dalam masa-masa sulit bagi Israel.
Tulis Komentar