Perang Bharatayudha antara Jokowi dengan Megawati Soekarnoputri

Opini | 30 Oct 2023 | 13:57 WIB
Perang Bharatayudha antara Jokowi dengan Megawati Soekarnoputri
Perang Bharatayudha terjadi di antara Joko Widodo dengan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri.

Uwrite.id - Perang yang melibatkan kekuatan maha besar tidak hanya terjadi dalam epos Mahabharata. Gejolak politik yang ada selalu saja menimbulkan intrik yang menarik di sepanjang alur ceritanya. Di Indonesia, perseteruan antara Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Megawati Soekarnoputri dapat dianalogikan sebagai pertemuan dua kekuatan besar yang bertabrakan layaknya Pandawa dan Kurawa.

Pada awalnya, Jokowi dan Megawati Soekarnoputri berada dalam satu kubu. Akan tetapi, sama halnya dengan kisah epik Mahabharata, hubungan keduanya bertransformasi menjadi perseteruan yang kompleks. Hal ini bermula ketika acara perayaan HUT ke-50 PDI Perjuangan. Megawati, yang merupakan Ketua Umum PDI Perjuangan, mengeluarkan pernyataan yang cukup kontroversial, “Pak Jokowi kalau nggak ada PDI Perjuangan juga duh, kasihan dah”, ujarnya.

Kalimat tersebut bisa saja menjadi sumbu pemantik dendam politik Jokowi. Pada saat itu, Jokowi belum menampakkan langkah strategisnya secara terbuka. Layaknya atlet catur yang bijak, Jokowi mungkin sedang mengatur strategi taktis untuk bidak caturnya. Ketika permainan telah dimulai, Megawati tentu akan berpikir dua kali untuk meremehkan sosok Jokowi.

Dapat diakui bahwa sosok Jokowi merupakan politisi paling ulung untuk saat ini. Dengan rekor tidak pernah terkalahkan pada ajang pemilihan; dari bawah ke puncak, dari Wali Kota hingga Presiden. Kehadiran pengusaha mebel yang awalnya tidak diperhitungkan, menjadi sosok mengerikan yang dapat mengantar PDI Perjuangan ke arah yang tidak terbayangkan sebelumnya.

Sebagai kader PDI Perjuangan, secara rela maupun tidak, Jokowi tentu akan mendukung Ganjar Pranowo. Namun, di lain sisi, hubungan Jokowi dengan Prabowo Subianto kian rekat dan harmonis. Hal ini tentu memancing beragam spekulasi, analisis, atau bahkan caci maki. Mengingat bahwa Jokowi dan Prabowo Subianto merupakan rival sengit di Pemilu tahun 2014 dan 2019.

Kompleksitas politik dua kaki Jokowi ditampakkan melalui pergerakan kedua anaknya, Gibran Rakabuming Raka dan Kaesang Pangarep. Rumor tentang Gibran bergabung dengan Partai Golkar dan menjadi calon wakil presiden Prabowo Subianto semakin santer. Terlebih pasca putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait persyaratan bagi cawapres. Sementara itu, Kaesang Pangarep dideklarasikan sebagai Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang notabene berkoalisi dengan Prabowo Subianto.

Menurut seorang pakar politik, Ujang Komarudin, teka-teki politik dua kaki Jokowi cenderung mengarah kepada keinginannya sebagai seorang “King maker” atau penentu. Tahta tersebut tentu sangat sulit didapatkan di internal PDI Perjuangan. Hal ini dikarenakan oleh eksistensi kekuatan Megawati Soekarnoputri di PDI Perjuangan yang sangat sulit untuk digeser.

Oleh karena itu, Jokowi mencoba menempatkan bidak caturnya dalam sebuah dinasti politik dengan menjadikan kedua anaknya sebagai sebuah elemen yang strategis dalam kancah perpolitikan Indonesia. Dengan posisi kedua anaknya yang sangat strategis, sangatlah mudah bagi Jokowi untuk menggeser hegemoni PDI Perjuangan dan menempatkan dirinya menjadi seorang “King maker” dalam konstelasi politik Indonesia.

Langkah-langkah politik Jokowi memang menjadi elemen pembeda di era kepemimpinannya. Keputusan-keputusan yang seringkali berbanding terbalik dengan ucapannya di masa lalu seringkali mengecoh lawan politiknya.

Siapa yang bisa menebak Ma’ruf Amin menjadi Wakil Presiden Jokowi? Di era Pemilu tahun 2019, Koalisi Indonesia Maju menggaungkan inisial M sebagai cawapres Jokowi. Banyak yang mengira bahwa Mahfud MD merupakan pilihan yang tepat dan masuk akal. Namun, Jokowi melihat kesempatan yang menggiurkan dari kelompok agama, sehingga ditunjuklah Ma’ruf Amin sebagai mitra politisnya.

Dilantiknya Prabowo Subianto menjadi Menteri Pertahanan Kabinet Indonesia Maju juga mengguncang publik. Seorang rival dalam dua ajang pemilihan terakhir justru menjadi rekan kerja selama lima tahun mendatang. Meskipun terkesan inklusif dalam mengupayakan rekonsiliasi politik, langkah Jokowi dalam menggandeng Prabowo Subianto seringkali dianggap upaya untuk menggembosi oposisi sekaligus mencederai demokrasi.

Hal ini sesuai dengan ulasan di dalam buku yang berjudul Bagaimana Demokrasi Mati (Levitsky & Ziblatt, 2019). Argumentasinya ialah bahwa ketika oposisi digembosi dan dipecundangi, pada saat itulah demokrasi telah runtuh dan mati, meskipun pemilihan secara elektoral tetap ada. Keputusan itulah yang diambil oleh Jokowi; keputusan yang sangat berani dan berisiko.

Politik ekspansionisme penuh teka-teki milik Jokowi tidak dapat dipandang remeh oleh barisan militan PDI Perjuangan, terutama oleh Megawati Soekarnoputri. Singgasana kekuasaan bisa saja terguncang oleh kekuatan tak terduga yang sempat diremehkan. Apabila PDI Perjuangan tidak berhati-hati dalam mengeksekusi taktiknya, maka kejatuhan atau downfall akan menanti di depan mata.

Dengan kondisi yang demikian, adalah mungkin jika khazanah perpolitikan Indonesia nantinya akan diisi oleh sebuah peperangan maha besar antara Jokowi dan Megawati Soekarnoputri. Rakyat Indonesia akan menjadi saksi pertarungan yang melibatkan kebijaksanaan, strategi, dan taktik dari kedua belah pihak. Sebuah peperangan yang sangat sulit ditebak bagaimana alurnya; sebuah peperangan yang akan melegenda di konstelasi politik Indonesia. (*)


[ Hillbra Naufal Demelzha Gunawan ]

Jika anda keberatan dan memiliki bukti atau alasan yang kuat bahwa artikel berita ini tidak sesuai dengan fakta, anda dapat melakukan pengaduan pada tautan ini

Tulis Komentar

0 Komentar