Pakar Hukum UMJ Nilai Potensi Overpenalization dalam Kasus Timah Apabila Permohonan Perubahan Pasal 18 Dikabulkan MK

Uwrite.id - Jakarta - Permohonan diajukan berkaitan dengan kasus timah ilegal yang melibatkan Harvey Moeis dan sembilan terdakwa lainnya yang kini sedang dalam proses banding. Dalam putusan banding tersebut, kerugian negara dihitung sebesar Rp300 triliun, yang terdiri dari kerugian lingkungan akibat tambang timah ilegal Rp271 triliun, serta kerugian terkait penggunaan alat pelogaman timah tak sesuai ketentuan.
Sementara itu, PT Timah Tbk telah mengajukan permohonan perubahan Pasal 18 Ayat (1) huruf b dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) kepada Mahkamah Konstitusi (MK). Chairul Huda, Pakar Hukum Pidana dari UMJ (Universitas Muhammadiyah Jakarta) menyebutkan bahwa terdapat potensi penerapan hukuman yang berlebihan terhadap terdakwa (overpenalization) jika MK menerima gugatan tersebut.
"Penerapan pidana yang berlebihan akan terjadi jika MK mengabulkan gugatan ini," ungkap sosok yang juga pengajar ilmu hukum pidana di perguruan tinggi kenamaan itu.
Gugatan PT Timah Tbk ini pada dasarnya bertujuan untuk mengatur kewajiban mengganti kerugian negara akibat tindak pidana korupsi. Tetapi, menurut Chairul Huda, tidaklah dapat dianggap realistis, besaran angka kerugian negara Rp300 triliun pada kasus itu. "Kerugian tersebut lebih merupakan potensi kerugian akibat kerusakan lingkungan, bukan kerugian keuangan negara yang sebenarnya," selorohnya.
Di samping itu, Chairul Huda menyoroti pula praktek eksplorasi dan eksploitasi di wilayah tambang timah. Dikatakan beliau, PT Timah menjadi pihak yang paling banyak mendapatkan manfaat dari kegiatan tersebut. Maka dari itu, sanksi yang lebih tepat adalah melalui undang-undang yang lebih relevan, seperti UU Minerba atau UU Lingkungan Hidup, bukan UU Tipikor.
"Karena pidana yang dijatuhkan kepada orang yang memperkaya diri sendiri akan double atau triple dengan pidana yang dijatuhkan kepada pihak lain (baik itu orang maupun korporasi, red) yang juga mendapatkan penambahan kekayaan karena korupsi dimaksud,” ujar Chairul Huda dalam keterangannya, Jumat (14/03).
Dirinya menyebut, angka kerugian negara yang disebutkan sebesar Rp300 triliun pada kasus korupsi yang melibatkan PT Timah, tidak bisa dianggap sebagai angka yang realistis. Menurutnya kerugian itu sebagai potensi kerugian akibat kerusakan lingkungan, bukan kerugian keuangan negara yang riil.
“Mengambil contoh kasus PT Timah sama sekali tidak tepat, karena kerugian yang dianggap ada dalam kasus tersebut bukan kerugian keuangan negara, tapi potensi kerugian akibat kerusakan lingkungan,” ulasnya.
PT Timah diketahui mengajukan permohonan kepada MK pada 3 Maret 2025, yang meminta perubahan pada Pasal 18 Ayat (1) huruf b dalam UU Tipikor. Pasal ini mengatur bahwa pembayaran uang pengganti harus dihitung sebanyak-banyaknya berdasarkan jumlah harta yang diperoleh dari tindak pidana korupsi.
PT Timah meminta agar pasal tersebut diubah dengan rumusan yang menyatakan, “Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan kerugian keuangan negara dan/atau kerugian perekonomian negara yang timbul akibat tindak pidana korupsi.”
Pasal 18 Ayat (1) huruf b dalam UU Tipikor dianggap PT Timah tidak adil, karena tidak mempertimbangkan kerugian ekonomi negara dan kerusakan lingkungan akibat kegiatan tambang ilegal di wilayah IUP PT Timah. Mereka berpendapat bahwa penerapan pasal tersebut menyebabkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan bagi para terdakwa.
“Akibat penerapan Pasal 18 Ayat (1) huruf b UU Tipikor tersebut menjadi tidak adanya keadilan dan kepastian hukum karena para terdakwa tidak dihukum untuk mengganti kerugian keuangan negara atau perekonomian negara atas kerusakan lingkungan akibat tambang timah ilegal di wilayah IUP Pemohon I sebesar Rp271.069.688.018.700,00,” demikian gugatannya.
Dalam kasus ini, penting untuk diingat bahwa kegiatan pertambangan harus dilakukan dengan memperhatikan lingkungan dan masyarakat sekitar. Oleh karena itu, perlu meninjau kembali gugatan PT Timah Tbk dan memastikan bahwa keadilan dan kebenaran ditegakkan. (*)
Tulis Komentar