Pabrik Semen di Wonogiri: Mungkinkah Kita Mengorbankan Alam demi Kemajuan yang Salah Arah?

Uwrite.id - Bumi yang kita huni ini kian hari semakin menjerit kesakitan. Eksploitasi berlebihan tanpa kendali telah menyebabkan luka yang semakin dalam. Ironisnya, alih-alih menjadi penjaga lingkungan, kita yang semestinya memegang amanah sebagai khalifah bumi justru berlomba-lomba memperburuk keadaan dengan dalih kemajuan dan pertumbuhan ekonomi. Di tengah era yang seharusnya dipenuhi oleh inovasi ramah lingkungan, kita malah mau menghancurkan kawasan geopark.
Lihatlah negara-negara lain yang telah menunjukkan komitmen nyata terhadap keberlanjutan. El Salvador, misalnya, sudah mulai memanfaatkan energi panas bumi dari gunung berapi untuk menambang bitcoin, sebuah langkah cerdas yang memanfaatkan sumber daya alam secara efisien dan ramah lingkungan. Begitu pula dengan Jerman dan banyak negara maju lainnya yang menjadikan matahari sebagai sumber energi utama, menggantikan bahan bakar fosil yang tak hanya merusak tetapi juga semakin mahal. Bahkan dalam industri semen yang selama ini bergantung pada batu kapur yang merusak alam, mereka mulai beralih ke bahan alternatif seperti geopolimer dan eco-cement yang lebih ramah lingkungan dan berkelanjutan. Negara-negara tersebut telah mengambil langkah besar dengan meninggalkan cara-cara lama yang hanya menyisakan kerusakan bagi alam dan generasi mendatang.
Lalu, bagaimana dengan Indonesia? Kita diberkahi dengan sinar matahari sepanjang tahun, deretan gunung berapi dari Sabang hingga Merauke, tanah subur, dan kekayaan alam yang melimpah ruah. Misalnya, Wonogiri yang memiliki potensi besar di sektor pertanian, peternakan, hingga pariwisata yang dapat menarik perhatian dunia. Namun, sayangnya, semua potensi ini belum dikelola secara maksimal, bagaikan berlian yang belum diasah. Sebaliknya, kita justru berniat mengeksploitasi tambang dan meratakan gunung-gunung karst yang menjadi warisan alam tak tergantikan. Seakan-akan sumber daya alam ini tak terbatas dan dampaknya terhadap lingkungan serta generasi mendatang tidak perlu dipikirkan.
Bayangkan sejenak, jika potensi alam ini dikelola dengan inovasi ramah lingkungan. Energi matahari dan panas bumi di Wonogiri bisa menjadi tulang punggung penyedia energi bersih, melengkapi Waduk Gajah Mungkur (WGM) sebagai penyedia tenaga air. Teknologi modern seharusnya bisa dimanfaatkan untuk mendukung perekonomian tanpa merusak alam. Namun kenyataannya, kita justru cenderung mengulang cara-cara lama yang sudah mulai ditinggalkan oleh negara-negara lain.
Menolak pendirian pabrik semen di Wonogiri bukan berarti menolak kemajuan. Sebaliknya, ini adalah perjuangan untuk menuju kemajuan yang lebih modern dan berkelanjutan. Tidak ada bukti konkret bahwa pembangunan pabrik semen akan membawa kemajuan nyata bagi daerah. Justru, dampak lingkungan yang ditimbulkan akan merugikan masyarakat, merusak alam, dan mengancam kesejahteraan generasi mendatang. Kemajuan sejati adalah ketika kita mampu melestarikan alam, sebagaimana yang dilakukan oleh pahlawan penghijauan dari Wonogiri, Mbah Sadiman, bukan justru menghancurkannya.
Bumi sudah cukup menderita. Bencana demi bencana menjadi bukti bahwa alam mulai kehilangan kesabarannya. Kini saatnya kita berhenti menjadi bagian dari masalah dan mulai menjadi bagian dari solusi. Jika tidak, jangan salahkan bumi ketika ia benar-benar menyerah. Sebab, ketika bumi lelah, kita pun tak lagi punya tempat untuk berpijak.
Tulis Komentar