Narasi Syiah Disebut Sesat di Indonesia Bukan karena Dalil, Tapi karena Politik.

Peristiwa | 20 Jun 2025 | 10:49 WIB
Narasi Syiah Disebut Sesat di Indonesia Bukan karena Dalil, Tapi karena Politik.

Uwrite.id - Narasi Syiah Disebut Sesat di Indonesia Bukan karena Dalil, Tapi karena Politik.

 Oleh R. Hidayat - Tukang Ngarit Wonosobo, Jawa Tengah. 

Di tengah gelombang informasi dan derasnya arus propaganda identitas, tulisan ini hadir sebagai sebuah pencerahan bagi rakyat Indonesia, khususnya generasi pascareformasi, generasi milenial dan Gen Z, yang lahir setelah tahun 2000-an. Generasi yang tumbuh dalam era digital, tetapi seringkali tercerabut dari akar sejarah dan terjebak dalam narasi tunggal yang tak berpijak pada nalar kritis.

Sudah terlalu lama umat Islam di Indonesia dicekoki pandangan bahwa Syiah adalah sesat, kafir, atau musuh Islam. Narasi ini tidak lahir dari ijtihad ilmiah atau dalil-dalil syar’i yang kuat, melainkan dari strategi kekuasaan, permainan geopolitik, dan kepentingan negara-negara yang tak ingin Islam bersatu. Kini saatnya kita membuka bukan hanya mata, tetapi mata hati, untuk menyadari bahwa kebencian ini bukanlah takdir, tetapi hasil rekayasa.

Era Sukarno: Syiah Dihormati, Iran Disanjung.

Pada masa kepemimpinan Bung Karno (1945–1966), wajah Islam di Indonesia penuh semangat pembebasan dan inklusivitas. Syiah tidak pernah dianggap sesat. Bung Karno dalam berbagai pidatonya mengutip surat Ali bin Abi Thalib kepada Malik al-Asytar, yang kini dikenal sebagai bagian dari karya besar Nahjul Balaghah, kitab rujukan utama dalam pemikiran Syiah. Karya ini diterjemahkan dan dijadikan bahan kajian filsafat politik dan keadilan sosial di berbagai forum keislaman dan perguruan tinggi.

Tokoh-tokoh seperti Imam Husain dan Ali Shariati dipelajari dan dihormati oleh kalangan intelektual Muslim Indonesia. Tidak ada tuduhan atau prasangka. Yang ada adalah penghargaan terhadap pemikiran yang membela kaum tertindas dan memperjuangkan keadilan sosial.

1979: Revolusi Islam Iran, Titik Balik Ketakutan Saudi.

Tahun 1979 menjadi titik balik sejarah dunia Islam. Iran, negara mayoritas Syiah, berhasil menggulingkan monarki sekuler yang menjadi boneka Barat dan mendeklarasikan Republik Islam di bawah kepemimpinan Imam Khomeini. Sejak saat itu, Iran tampil sebagai pusat perlawanan terhadap dominasi Amerika Serikat dan Israel.

 

Inilah yang membedakan Iran dari banyak negara mayoritas Muslim lainnya: mereka tidak sekadar bersuara, tetapi benar-benar mengambil posisi tegas dan konsisten terhadap penjajahan Israel atas Palestina. Iran menolak kompromi, menolak normalisasi, dan tetap berdiri membela Palestina di segala forum internasional, bahkan ketika tekanan politik dan ekonomi datang bertubi-tubi.

 

Keberanian ini membuat Arab Saudi, yang selama ini menjadi pemimpin simbolik dunia Islam Sunni, merasa posisinya terguncang. Mereka khawatir pengaruh Iran yang revolusioner dan berani akan menginspirasi umat Islam lain. Maka dimulailah kampanye global yang menggiring opini bahwa Syiah adalah sesat, berbahaya, dan tidak layak dijadikan teladan.

Inilah awal mula narasi hitam terhadap Syiah yang kemudian diekspor ke seluruh dunia Islam, termasuk ke Indonesia.

1980–1990an: Proyek Indoktrinasi Wahabi di Indonesia.

Melalui jaringan lembaga dakwah, beasiswa, dan pesantren yang dibiayai petrodolar, Arab Saudi menanamkan paham Wahabi di Indonesia. Paham ini keras, anti-tradisi, dan sangat anti-Syiah. Mereka menolak ziarah, tahlilan, maulid, serta mencurigai seluruh bentuk ekspresi keislaman yang hidup berdampingan dengan budaya lokal.

Paham ini juga membidik Syiah secara langsung. Label “kafir”, “sesat”, dan “rafidhah” (penolak sahabat) mulai digaungkan ke masyarakat awam, tidak melalui diskusi ilmiah, melainkan doktrin sepihak dalam ceramah dan pengajian.

Indonesia, yang sejak lama hidup dalam suasana Islam Ahlussunnah wal Jama’ah yang toleran dan moderat, mulai terkikis oleh narasi keras yang masuk ke ruang-ruang dakwah, khutbah Jumat, bahkan kurikulum pesantren.

2000-an: Era Media dan Kebencian Instan.

Ketika era media sosial dan dakwah digital meledak, narasi kebencian semakin cepat menyebar. Muncul ustadz-ustadz viral yang menyampaikan agama dalam gaya sensasional, potongan klip YouTube yang seolah menunjukkan Syiah menghina Islam, padahal keluar dari konteks atau bahkan tidak benar sama sekali.

Komunitas Syiah di Indonesia seperti IJABI dan ABI, yang sangat nasionalis, moderat, dan cinta NKRI, difitnah habis-habisan. Mereka dianggap ancaman, padahal mereka bagian dari anak bangsa sendiri.

Yang lebih tragis, konflik politik dan perang proksi di Timur Tengah seperti Suriah dan Yaman dimanfaatkan untuk membangun narasi bahwa Syiah selalu membawa kekacauan. Padahal, akar konflik-konflik tersebut adalah perebutan pengaruh antarnegara besar dan kepentingan strategis global, bukan perbedaan mazhab.

2010 ke Atas: Tragedi dan Diamnya Negara.

Tragedi kemanusiaan di Sampang, Madura, tahun 2012 menjadi puncak dari kampanye kebencian yang selama puluhan tahun disemaikan. Puluhan warga Syiah diserang dan diusir dari kampung halamannya hanya karena berbeda keyakinan. Negara absen. Aparat diam. Konstitusi yang menjamin kebebasan beragama dan bermazhab seperti kehilangan makna.

Sementara itu, ormas-ormas radikal yang menyuarakan pemurnian Islam terus dibiarkan menyebarkan intoleransi secara terbuka. Kebencian bukan hanya didiamkan, tapi seperti difasilitasi.

Ironi Ilmiah: Syiah Dituduh, Tapi Diajar di Kampus.

Yang lebih menyedihkan adalah kenyataan bahwa ajaran Syiah justru menjadi bagian dari silabus akademik di berbagai perguruan tinggi Islam negeri. Karya-karya seperti Tafsir al-Mizan, Nahjul Balaghah, dan pemikiran Ali Shariati diajarkan secara resmi di Fakultas Ushuluddin, Syariah, dan Filsafat.

Namun karena umat sudah dicekoki narasi kebencian sejak dini, semua itu tidak membekas sebagai khazanah Islam. Generasi muda Islam melihat Syiah sebagai “agama lain”, bukan sebagai saudara seiman yang berbeda pandangan.

Buka Mata, Ambil Pelajaran.

Kini kita tahu, narasi bahwa Syiah adalah sesat bukanlah warisan keilmuan Islam, tapi rekayasa geopolitik yang sangat sistematis. Arab Saudi cemas terhadap pengaruh Iran, dan dunia Barat takut terhadap kekuatan Islam yang bersatu. Maka mereka menyebar benih kebencian untuk memastikan perpecahan tetap hidup.

Ada satu pelajaran besar yang bisa kita renungkan:

Iran, meski ditekan, diblokade, dan dimusuhi, tetap teguh membela Palestina dan melawan Israel. Di dunia Muslim yang kerap diam atau berdamai dengan penjajah, sikap Iran menjadi cermin keberanian.

Kita tidak harus menjadi Syiah untuk mengakui keberanian itu. Cukuplah kita menjadi Muslim yang jujur dan berani menghormati kebenaran, tanpa takut berbeda pandangan.

Jika Wahabi sibuk mengafirkan semua yang tidak sama, maka kita sebagai bangsa Indonesia, bangsa yang lahir dari semangat persatuan dan toleransi, harus berdiri memeluk semua saudara sebangsa yang mencintai negeri ini, tanpa peduli mazhabnya.

Mari kembali ke semangat Bung Karno: Persatuan umat bukanlah keseragaman, tetapi penghormatan terhadap keragaman. Jika kita ingin Islam kuat, maka Islam harus utuh. Dan keutuhan hanya lahir dari kesediaan untuk saling mengenal, bukan saling memfitnah.

Menulis di Uwrite bisa dapat penghasilan, Investasikan tulisan anda sekarang juga
Daftar di sini

Jika anda keberatan dan memiliki bukti atau alasan yang kuat bahwa artikel berita ini tidak sesuai dengan fakta, anda dapat melakukan pengaduan pada tautan ini

Tulis Komentar