Misteri Danyang Gunung Sewu: Lebih dari Sekadar Legenda, Suara Karst yang Terancam

Opini | 18 May 2025 | 23:37 WIB
Misteri Danyang Gunung Sewu: Lebih dari Sekadar Legenda, Suara Karst yang Terancam
ILUSTRASI

Uwrite.id - Gunung Sewu bukan sekadar deretan perbukitan kapur yang membentang di selatan Jawa. Ia adalah kawasan karst tropis yang diakui UNESCO sebagai bagian dari Geopark Global, rumah bagi ratusan goa purba, sistem sungai bawah tanah, dan keanekaragaman hayati yang unik. Tapi lebih dari itu, Gunung Sewu adalah wilayah sakral — bukan dalam arti mistik atau mitologis, melainkan karena nilai ilmiah, ekologis, dan filosofis yang terkandung di dalamnya.

Deklarasi Warga Dusun Nglancing dan Ngelorejo Pracimantoro (Foto Grup FB KWP)

Kesakralan ini sedang terancam. Rencana pendirian pabrik semen di kawasan Gunung Sewu bukan hanya menjadi persoalan lingkungan hidup, tapi juga persoalan peradaban. Ketika alam yang seharusnya dilindungi justru hendak dijadikan ladang eksploitasi, maka tak ada kata lain selain: penghinaan terhadap nilai-nilai kehidupan.

Deklarasi Warga Glinggang Pracimantoro (Foto Grup FB KWP)

Dalam masyarakat Jawa, istilah "danyang" sering disalahpahami sebagai makhluk gaib penjaga tempat. Padahal, secara etimologis, "danyang" adalah pelafalan lidah Jawa terhadap "Dzat Hyang" — yaitu zat yang diutus oleh Gusti Allah untuk menjaga dan memberi kehidupan di sebuah tempat. Dalam konteks Gunung Sewu, danyang itu adalah rakyatnya sendiri — masyarakat lokal yang hidup seirama dengan alam, menggantungkan hidup pada air dari mata air karst, dan menjaga keseimbangan tanah yang mereka pijak.

Deklarasi Warga Sinung Desa Suci (Foto : Grup FB KWP)

Mereka bukan tokoh mistis, melainkan penjaga nyata. Ketika tanah leluhur mereka hendak dirusak oleh alat berat dan dinodai debu industri, maka mereka bangkit. Danyangnya mengamuk — bukan dengan kesaktian gaib, tetapi dengan suara, gerakan, dan tekad untuk melawan ketidakadilan yang mengatasnamakan pembangunan.

Deklarasi Warga Desa Sedayu (Foto :Grup FB KWP)

Karst bukan wilayah mati. Ia adalah sistem hidup yang kompleks dan rapuh. Sekali dirusak, tidak bisa dipulihkan. Batuannya menyimpan air, goa-goanya menjadi habitat makhluk hidup, dan lanskapnya menjadi penyangga iklim mikro. Industri semen akan menghancurkan semua itu, dan menggantinya dengan lubang-lubang besar, polusi, serta hilangnya sumber-sumber kehidupan.

Yang lebih menyakitkan adalah ketika kebijakan pemerintah daerah membutakan mata terhadap suara warga, dan menjadikan dalih “investasi” sebagai pembenaran untuk menghancurkan ekosistem yang tak tergantikan. Di sinilah danyang — masyarakat Gunung Sewu — merasa dikhianati. Mereka bangkit karena tahu, jika mereka diam, maka yang mati bukan hanya karst, tapi juga masa depan.

Deklarasi Warga Desa Suci (Foto : Grup FB KWP)

Perlawanan mereka bukanlah perlawanan terhadap pembangunan. Mereka tidak anti-kemajuan. Tapi mereka sadar bahwa tidak semua yang disebut “pembangunan” adalah kemajuan. Sebab pembangunan yang merusak sumber hidup sendiri, adalah bentuk kemunduran yang dikemas rapi dengan bahasa teknokratis.

Gunung Sewu adalah wilayah sakral karena menghidupi manusia dan memberi pelajaran tentang bagaimana manusia seharusnya hidup berdampingan dengan alam. Ketika kesakralan itu dilanggar, maka yang bangkit adalah danyang — rakyat biasa yang memilih untuk berdiri melawan agar tanah dan air tetap menjadi milik anak cucu, bukan korban kepentingan sesaat.

Menulis di Uwrite bisa dapat penghasilan, Investasikan tulisan anda sekarang juga
Daftar di sini

Jika anda keberatan dan memiliki bukti atau alasan yang kuat bahwa artikel berita ini tidak sesuai dengan fakta, anda dapat melakukan pengaduan pada tautan ini

Tulis Komentar