Menjaga Warisan Ketahanan Pangan Gunung Sewu, Menolak Penghancuran atas Nama Investasi

Lingkungan Hidup | 23 Apr 2025 | 11:13 WIB
Menjaga Warisan Ketahanan Pangan Gunung Sewu, Menolak Penghancuran atas Nama Investasi
Petani di wilayah Gunung Sewu sedang memanen ketela dimusim kemarau.

Uwrite.id - Gunung Sewu, yang membentang di wilayah selatan Jawa, bukan sekadar gugusan bukit karst yang eksotis. Di balik keindahan alamnya, Gunung Sewu menyimpan warisan hidup yang telah dirawat selama berabad-abad oleh masyarakatnya—warisan berupa ketahanan pangan berbasis kearifan lokal yang tak ternilai.

Mayoritas penduduk wilayah ini adalah petani. Mereka hidup berdampingan dengan alam, mengelola lahan dengan metode yang tak hanya efisien, tetapi juga selaras dengan daya dukung lingkungan. Pola tanam yang mereka terapkan adalah tumpang sari—sebuah sistem tanam campuran yang memungkinkan beberapa jenis tanaman tumbuh dalam satu lahan secara bergiliran atau bersamaan, sesuai musim dan kebutuhan.

Musim Hujan: Menanam untuk Bertahan Hidup

Pada musim hujan, petani Gunung Sewu menanam padi, bukan untuk diperjualbelikan segera, melainkan sebagai sumber pangan utama keluarga. Mereka menyimpan hasil panen padi sebagai cadangan pangan hingga musim hujan berikutnya telah tiba. Tradisi ini telah berlangsung selama ratusan tahun dan menjadi bentuk nyata dari konsep ketahanan pangan lokal yang mandiri dan tangguh. Di saat banyak wilayah menggantungkan diri pada impor dan pasar, masyarakat Gunung Sewu sudah lebih dulu memahami pentingnya kemandirian pangan.

Petani di kawasan gunung sewu sedang panen padi untuk ketahanan pangan.

Setelah Padi, Palawija untuk Ekonomi

Begitu padi selesai dipanen, para petani memanfaatkan lahan untuk menanam palawija. Jagung, kacang tanah, kedelai, sorgum, dan ketela menjadi pilihan utama. Tanaman-tanaman ini tidak hanya menyesuaikan dengan kondisi tanah yang berkapur, tetapi juga bernilai ekonomi. Inilah sumber pendapatan utama petani di kawasan Gunung Sewu. Dari hasil penjualan palawija, mereka membiayai kebutuhan rumah tangga, pendidikan anak, kesehatan, hingga untuk kerukunan.

Tanaman jagung di kawasan gunung sewu.

Di musim kemarau, saat banyak lahan pertanian lain terpaksa berhenti berproduksi karena kekeringan, petani di kawasan Gunung Sewu tetap bisa bertahan. Ketela pohon menjadi andalan utama. Selain itu, mereka juga menanam kalonjono—tanaman hijauan untuk pakan ternak yang sangat berharga di musim kemarau. Tak hanya untuk konsumsi ternak pribadi, kalonjono juga dijual untuk memenuhi kebutuhan para peternak hewan, terutama ketika pakan hijauan menjadi langka.

Pertanian dan Peternakan: Satu Sistem yang Terintegrasi

Uniknya, sistem pertanian di kawasan Gunung Sewu tidak berdiri sendiri. Ia berpadu dengan sistem peternakan. Mayoritas petani memelihara sapi dan kambing. Kotoran hewan menjadi pupuk organik, sementara limbah tanaman menjadi pakan. Pola ini menciptakan siklus pertanian yang nyaris tanpa limbah dan sangat berkelanjutan. Dalam keterbatasan, mereka justru menciptakan ketahanan—ekonomi, pangan, dan ekologi.

Ancaman dari Tambang dan Pabrik Semen

Namun, semua kearifan dan keberlanjutan ini kini berada di ujung tanduk. Wacana pembangunan pabrik semen dan pembukaan tambang di kawasan Gunung Sewu mengancam untuk merusak seluruh tatanan ekologis dan sosial yang telah dibangun selama berabad-abad.

Eksploitasi batu gamping untuk industri semen bukan hanya merusak lanskap karst yang unik dan rapuh, tetapi juga mengancam sumber-sumber air bawah tanah yang sangat bergantung pada struktur geologi kawasan ini. Ketika air hilang, maka berakhirlah pertanian. Dan ketika pertanian mati, masyarakat akan kehilangan sumber kehidupannya.

Ironisnya, kebijakan semacam ini sering dibungkus dengan dalih pembangunan dan penciptaan lapangan kerja. Padahal, kerugian jangka panjangnya jauh lebih besar daripada keuntungan sesaat yang dijanjikan. Pabrik semen mungkin akan berdiri megah selama beberapa dekade, tetapi kehancuran ekologi bisa berlangsung selama berabad-abad.

Pemerintah Harus Menjadi Pelindung, Bukan Perusak

Sudah seharusnya pemerintah hadir sebagai pelindung masyarakat dan penjaga warisan ekologis bangsa. Tugas negara bukan untuk mengorbankan petani demi investasi jangka pendek, melainkan memastikan bahwa generasi mendatang tetap bisa hidup dari tanah yang sama, dengan udara dan air yang sama.

Masyarakat Gunung Sewu telah membuktikan bahwa mereka mampu menjaga keseimbangan hidup—antara alam, pangan, dan ekonomi—tanpa perlu merusak. Apa yang mereka butuhkan bukanlah pabrik, melainkan pengakuan dan perlindungan atas sistem hidup yang telah mereka pertahankan selama ini.

Menjaga Gunung Sewu berarti menjaga ketahanan pangan, menjaga lingkungan, dan menjaga marwah bangsa ini sebagai negeri agraris yang beradab. Karena ketika alam tak lagi berpihak, tak ada teknologi yang bisa menyelamatkan kita.

Menulis di Uwrite bisa dapat penghasilan, Investasikan tulisan anda sekarang juga
Daftar di sini

Jika anda keberatan dan memiliki bukti atau alasan yang kuat bahwa artikel berita ini tidak sesuai dengan fakta, anda dapat melakukan pengaduan pada tautan ini

Tulis Komentar