Mengenang Mochtar Lubis, Bapak Jurnalis Indonesia yang Selalu Berusaha Menegakkan Kebenaran
Uwrite.id - Mochtar Lubis lahir di Padang pada 7 Maret 1922. Ia merupakan anak ke enam dari sepasang suami istri Mara Husein Lubis dan Siti Madinah Nasution. Ayah Mochtar adalah pegawai tinggi negeri dalam pemerintahan kolonial Belanda yang sekaligus juga seorang bangsawan suku Mandailing yang bergelar Raja Padapotan dan anggota majelis pengadilanatau Namora-Natoras (para bangsawan atau tetua), yang merupakan lembaga pemerintahan adat Mandailing yang di dalamnya paman dari pihak ayahnya adalah raja (Namora) yang berkuasa.
Saat selesai menempuh HIS (Holands Inlandse School atau sekolah Dasar di zaman Belanda) selama empat tahun, pria yang memiliki tinggi 182 sentimeter ini memasuki Sekolah Ekonomi INS di Kayutanam, Sumbar. Setelah bekerja di Bang Factory di Jakarta, dia mulai aktif di radio militer Jepang dan menjadi wartawan di zaman pendudukan "Saudara Tua".
Setelah Proklamasi Kemerdekaan, Mochtar langsung bergabung dengan Adam Malik menjadi wartawan di Kantor Berita Antara.
Mochtar Lubis, yang dijuluki si pembangkang, adalah seorang budayawan dan wartawan legendaris “berkepala granit”. Semasa hidupnya ia juga ikut membidani kelahiran Harian Indonesia Raya pada tahun 1949.
Mochtar Lubis dikenal sebagai salah satu tokoh pers yang berani pada zamannya hingga membuatnya beberapa kali masuk penjara
Ungkapan Mochtar Lubis yang paling terkenal adalah:
“Kita harus punya integritas, mengatakan kebenaran, dan jangan mengulangi hal-hal yang tidak benar. Hidup jangan selalu melihat ke atas, tetapi melihat ke bawah, dan harus selalu bersyukur. Kita harus jujur.” —Mochtar Lubis
Di Taman Ismail Marzuki pada tahun 1977 dalam acara pidato kebudayaan, Mochtar Lubis pernah mengeluarkan ungkapan kontroversial tentang mengidentifikasi enam ciri manusia Indonesia yang menurutnya menghambat kemajuan bangsa.
Ciri-ciri manusia Indonesia yang di sampaikan Mochtar Lubis adalah: munafik, keengganan untuk bertanggung jawab, feodalisme, percaya pada takhayul, berkarakter lemah, dan artistik (berbakat seni).
Dalam pidatonya, Mochtar Lubis menyatakan keprihatinannya bahwa sifat-sifat tersebut dapat menghalangi Indonesia mencapai potensi penuhnya sebagai sebuah bangsa.
Salah satu ciri paling mencolok yang disebutkan Lubis adalah kemunafikan. Menurutnya, banyak orang Indonesia yang tidak jujur dalam berhubungan dengan orang lain dan cenderung mengatakan satu hal sambil melakukan hal yang lain. Kurangnya integritas ini semakin diperparah dengan keengganan untuk bertanggung jawab atas tindakan seseorang.
Ciri lain yang diidentifikasi Lubis adalah tentang feodalisme, yang ia definisikan sebagai kecenderungan untuk secara membabi buta mengikuti figur otoritas tertentu tanpa pertanyaan kritis. Dia berargumen bahwa hal ini mempersulit orang Indonesia untuk menantang status quo dan bekerja menuju perubahan.
Takhayul juga menjadi perhatian Lubis. Dia percaya bahwa banyak orang Indonesia terlalu percaya pada kekuatan supranatural dan gagal mengambil langkah praktis untuk memperbaiki kehidupan mereka. Hal ini ditambah dengan karakter yang lemah membuat bangsa Indonesia sulit menghadapi tantangan dan tabah dalam menghadapi kesulitan.
Terlepas dari kekhawatiran tersebut, Lubis juga mencatat bahwa orang Indonesia memiliki keberbakatan seni yang luar biasa, sehingga dapat dimanfaatkan untuk mendorong perubahan positif di negara ini.
Namun yang menjadi pertanyaan kita bersama: apakah sifat-sifat tersebut dapat menghambat Indonesia untuk menjadi negara yang lebih maju dan sejahtera? Meskipun pengamatan Lubis belum tentu seratus persen benar, namun ungkapan Mochtar Lubis tersebut bisa di jadikan renungan untuk anak-anak bangsa agar tidak berkutat pada stereotip negatif. Generasi Indonesia harus bisa memanfaatkan aspek positif budaya Indonesia untuk menciptakan masa depan yang lebih cerah bagi seluruh rakyat Indonesia.
Mochtar Lubis tutup usia di Rumah Sakit Medistra, Jakarta Selatan pada hari Jumat, 2 Juli 2014 pukul 19.15 WIB dalam usia 82 tahun. Sebagai penghormatan terakhir terhadap sastrawan dan tokoh pers nasional, jenazah Mochtar Lubis disemayamkan di Gedung Galery Cipta III, Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat, Sabtu 3 Juli 2004.
Di mana sejumlah tokoh yang hadir dalam prosesi ini, di antaranya Jacob Oetama, Muhammad Assegaf, Jusuf Kalla, Salim Said, dan Jimly Asshidiqie. Mochtar Lubis dikebumikan di Taman Pemakaman Umum Jeruk Purut, Jaksel.
Tulis Komentar