Menelaah Gelombang Perlawanan di Malang

Opini | 24 Mar 2025 | 23:14 WIB
Menelaah Gelombang Perlawanan di Malang
Ilustrasi - Kericuhan dalam demonstrasi di Kota Malang pada 23 Maret 2025

Uwrite.id - Oleh: Taat Ujianto dan Saurandri Putri Cahyati (NNC)

Malang - Kericuhan dalam demonstrasi di Kota Malang pada 23 Maret 2025 menjadi cerminan nyata dari dinamika sosial-politik Indonesia yang semakin kompleks.

Aksi massa yang semula bertujuan untuk menyuarakan penolakan terhadap RUU TNI berakhir dengan bentrokan antara demonstran dan aparat keamanan.

Peristiwa ini mengungkapkan bagaimana teori konflik sosial, partisipasi politik, dan mobilisasi massa dapat menjelaskan akar permasalahan serta dinamika yang terjadi.

Pemicu: RUU TNI dan Ketegangan Politik

RUU TNI yang tengah dibahas memantik gelombang protes karena dinilai berpotensi mengembalikan dwifungsi militer, konsep kontroversial yang pernah menjadi ciri khas otoritarianisme Orde Baru. Banyak pihak, termasuk mahasiswa dan aktivis, menilai kebijakan ini mengancam demokrasi sipil dan membuka peluang penyalahgunaan kekuasaan oleh militer.

Demonstrasi di Malang bukan sekadar ekspresi ketidakpuasan, tetapi juga refleksi dari krisis kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Menurut teori partisipasi politik, ketika jalur formal seperti dialog atau audiensi tidak lagi dianggap efektif oleh masyarakat, demonstrasi sering kali dipilih sebagai bentuk intervensi politik langsung.

Namun, partisipasi yang sehat tidak boleh berhenti pada aksi protes semata. Jika pemerintah mampu mengakomodasi suara masyarakat, maka demonstrasi dapat tetap menjadi bagian dari partisipasi politik yang konstruktif, bukan sekadar bentuk perlawanan terhadap sistem.

Sebaliknya, ketika ruang partisipasi semakin menyempit dan suara rakyat diabaikan, demonstrasi yang awalnya menjadi kanal ekspresi politik pun dapat bertransformasi menjadi pemicu ketegangan sosial yang lebih luas. Jika kondisi ini terus berlanjut tanpa adanya mekanisme dialog yang efektif, maka eskalasi konflik menjadi suatu keniscayaan.

Konflik Sosial: Ketegangan yang Tak Terhindarkan

Teori konflik sosial Lewis Coser menyatakan bahwa konflik merupakan bagian tak terhindarkan dari kehidupan sosial, terutama ketika terjadi ketidakseimbangan antara kepentingan masyarakat dan kebijakan pemerintah. Demonstrasi ini menunjukkan dua aspek utama:

1. Ketimpangan Kekuasaan: Masyarakat merasa bahwa aspirasi mereka tidak diakomodasi dengan baik dalam proses legislasi, sehingga memicu ketidakpuasan yang berujung pada protes massal.

2. Respons Aparat Keamanan: Pendekatan represif yang digunakan oleh aparat memperburuk situasi, menciptakan eskalasi konflik yang berujung pada bentrokan dan kekerasan. Data dari LBH Pos Malang mencatat bahwa dalam insiden ini, beberapa demonstran, tim medis dan pers mengalami luka-luka akibat tindakan tersebut, bahkan ada yang mengalami cedera serius di tengkorak dan rahang gigi. Aparat juga melakukan penangkapan pada beberapa massa aksi, selain itu puluhan kendaraan bermotor juga ikut diamankan.

Konflik ini bukan sekadar benturan fisik, tetapi juga perlawanan terhadap ketimpangan struktural yang menggerus kepercayaan publik terhadap sistem yang seharusnya melindungi mereka.

Mobilisasi Massa: Dari Aspirasi ke Aksi

Charles Tilly dalam teori mobilisasi sosial menjelaskan bahwa aksi massa terjadi ketika individu atau kelompok merasa memiliki kepentingan bersama yang terancam oleh kebijakan tertentu. Demonstrasi di Malang mencerminkan beberapa elemen penting dalam mobilisasi:

1. Solidaritas Kolektif: Demonstran berasal dari berbagai latar belakang sosial, tetapi disatukan oleh tujuan yang sama, yaitu menolak RUU TNI.

2. Penggunaan Simbol dan Narasi: Tulisan kecaman "Tolak Dwifungsi ABRI", orasi yang menggugah, serta aksi simbolik menjadi alat untuk memperkuat kesadaran kolektif dan menarik perhatian publik.

3. Media Sosial sebagai Alat Mobilisasi: Informasi tentang aksi ini tersebar luas melalui media sosial, memungkinkan koordinasi cepat dan efisien antar demonstran. Tagar #TolakRUUTNI sempat mendominasi percakapan dan menjadi trending nomor 1 di platform X. Lebih spesifik, laporan ricuhnya aksi massa dan respons aparat keamanan yang terjadi di Kota Malang ini juga dengan cepat tersebar di platform Instagram melalui akun LBH Pos Malang, LBH Pos Surabaya dan Solidaritas Anti Penyiksaan.

Namun, mobilisasi massa yang tidak dikelola dengan baik berisiko berubah menjadi aksi anarkis ketika tuntutan tidak ditanggapi secara dialogis oleh pemerintah. Bahkan dapat memicu gerakan sosial yang lebih besar dan menginspirasi tindakan serupa di kota lain.

Menakar Konflik, Menata Solusi

Peristiwa ini mengajarkan bahwa konflik antara pemerintah dan masyarakat dalam sistem demokrasi dapat dikelola dengan pendekatan yang lebih deliberatif. Teori demokrasi deliberatif menekankan pentingnya ruang dialog yang terbuka antara pemerintah dan masyarakat untuk menghasilkan kebijakan yang lebih inklusif.

Agar insiden serupa tidak terulang, beberapa langkah konkret yang dapat dilakukan antara lain:

1. Mekanisme Dialog yang Efektif: Pemerintah perlu membentuk forum konsultatif yang melibatkan perwakilan masyarakat sipil, akademisi, dan aktivis sebelum menetapkan kebijakan sensitif.

2. Reformasi Pendekatan Aparat Keamanan: Pelatihan de-eskalasi konflik bagi aparat perlu menjadi prioritas agar penanganan aksi massa lebih humanis daripada koersif.

3. Regulasi yang Lebih Transparan: Proses legislasi perlu lebih terbuka dengan menyediakan akses publik terhadap draft kebijakan serta mekanisme umpan balik yang dapat diakses secara luas.

Melalui langkah-langkah konkret ini, kepercayaan publik terhadap pemerintah dapat dipulihkan secara bertahap, sehingga eskalasi demonstrasi besar yang berpotensi berujung pada kericuhan dapat diredam di masa mendatang.

Kesimpulan

Kericuhan demonstrasi yang terjadi di Kota Malang menjadi cerminan dari krisis kepercayaan masyarakat terhadap sistem politik dan pemerintahan. Ketidaksiapan pemerintah dalam merespons tuntutan publik tanpa mekanisme dialog yang sehat justru akan memperkuat anggapan bahwa demokrasi hanya formalitas tanpa substansi.

Melalui teori konflik sosial, partisipasi politik, dan mobilisasi massa, kita dapat memahami bahwa ketegangan sosial-politik akibat ketidakpuasan masyarakat terhadap kebijakan pemerintah ini bukan sekadar ledakan emosional, tetapi bagian dari perjuangan mempertahankan demokrasi.

Peristiwa ini menjadi pengingat bahwa demokrasi bukan hanya soal pengambilan keputusan oleh elite politik, tetapi juga soal mendengarkan suara rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi. Jika pemerintah terus mengabaikan aspirasi rakyat dan mengandalkan pendekatan represif, maka gelombang perlawanan akan terus tumbuh, semakin terorganisir, dan semakin sulit dikendalikan. Represi hanya menunda gejolak. Jika pemerintah tak juga membuka ruang dialog, perlawanan rakyat bukan sekadar kemungkinan, melainkan keniscayaan.

Demokrasi tidak hanya tentang siapa yang berkuasa, tetapi juga tentang bagaimana kekuasaan itu dijalankan. Apakah dengan mendengar dan memahami, atau sekadar memerintah dan menekan. Pilihan ada di tangan mereka yang berkuasa.

Referensi:

• Coser, Lewis A. The Functions of Social Conflict. New York: The Free Press.

• Tilly, Charles. Social Movements 1768–2004. Boulder: Paradigm Publishers.

• McCarthy & Zald, Resource Mobilization Theory.

• "Demo UU TNI Kota Malang, Kecaman Dwifungsi ABRI Tertulis di Aspal Jalan." Detik.com

Menulis di Uwrite bisa dapat penghasilan, Investasikan tulisan anda sekarang juga
Daftar di sini

Jika anda keberatan dan memiliki bukti atau alasan yang kuat bahwa artikel berita ini tidak sesuai dengan fakta, anda dapat melakukan pengaduan pada tautan ini

Tulis Komentar