Membongkar Narasi: Mengapa Jokowi Sendirian Disalahkan atas Melemahnya KPK?

Uwrite.id - Wacana publik tentang pemberantasan korupsi di Indonesia seringkali didominasi oleh keluhan tentang semakin merajalelanya praktik korupsi. Dalam pusaran perdebatan ini, tidak sedikit pihak yang secara langsung menuding Mantan Presiden Joko Widodo sebagai biang keladi, terutama pasca-revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK). Namun, narasi ini perlu dibongkar. Apakah sesederhana itu menyalahkan satu orang saja dalam kompleksitas sistem legislasi dan politik di Indonesia?
Sistem Legislasi yang Multipolar: Bukan Sekadar Jokowi
Penting untuk diingat bahwa proses pembentukan kebijakan dan undang-undang di Indonesia adalah ranah yang multipolar, tidak hanya bergantung pada kehendak presiden. Setiap rancangan undang-undang, termasuk revisi UU KPK, harus melalui pembahasan dan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Ironisnya, mayoritas kursi di parlemen justru dikendalikan oleh elite partai politik.
Dalam konteks ini, suara elite partai seringkali jauh lebih dominan ketimbang suara individu anggota dewan sebagai wakil rakyat. DPR, dalam banyak kasus, tampak berfungsi sebagai perpanjangan tangan kepentingan elite parpol, bukan murni representasi aspirasi publik. Ini adalah realitas yang tidak dapat diabaikan saat membahas beleid krusial seperti UU KPK.
Revisi UU KPK dan Peran Parlemen: Siapa yang Mengesahkan?
Saat revisi UU KPK yang disebut-sebut melemahkan lembaga antirasuah itu, pihak yang mengesahkan undang-undang tersebut adalah parlemen. Keputusan akhir untuk meloloskan revisi ini berada di tangan anggota DPR, yang sebagian besar tunduk pada garis partai. Merekalah yang pada akhirnya bertanggung jawab atas lahirnya undang-undang yang kini sebagai penyebab melemahnya KPK dan berakibat pada merebaknya korupsi. Menyalahkan Jokowi semata berarti mengabaikan peran krusial dan tanggung jawab besar lembaga legislatif.
Ancaman di Balik Perppu dan Ingatan yang Terlupakan
Fakta yang sering terlewatkan dalam narasi penyalahan tunggal ini adalah upaya Jokowi untuk mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) untuk membatalkan revisi UU KPK. Namun, langkah ini justru waktu itu disambut dengan ancaman dan tekanan dari berbagai pihak. Ancaman tersebut datang dari spektrum politik yang luas, menunjukkan bahwa penolakan terhadap pembatalan UU KPK melalui Perppu bukanlah suara tunggal.
Anehnya, kini beban tanggung jawab seolah-olah sepenuhnya ditimpakan kepada Jokowi. Seakan-akan publik lupa, bahwa justru pihak-pihak yang paling keras menolak penerbitan Perppu KPK pada waktu itu adalah kelompok-kelompok yang kemudian banyak berafiliasi dengan kubu Anies Baswedan dan Ganjar Pranowo saat Pemilihan Presiden 2024. Ini adalah fakta sejarah politik yang tidak bisa dihapuskan begitu saja dalam analisis kritis mengenai melemahnya KPK.

Mengembalikan Perspektif yang Adil
Menyalahkan Mantan Presiden Jokowi secara tunggal atas melemahnya KPK adalah penyederhanaan masalah yang berlebihan dan tidak adil. Ini mengabaikan kompleksitas sistem legislasi, dominasi elite partai di parlemen, dan tekanan politik yang mengelilingi setiap keputusan krusial. Alih-alih mencari kambing hitam, penting bagi kita untuk melihat masalah ini secara holistik, memahami bahwa tanggung jawab atas kondisi KPK saat ini adalah milik bersama, terutama mereka yang memiliki kekuatan legislatif dan politik. Tanpa memahami konteks yang lebih luas ini, upaya pemberantasan korupsi di Indonesia akan selalu terjebak dalam narasi yang bias dan tidak produktif.
Tulis Komentar