Mau Jadi Pemimpin yang Baik? Bisa Belajar 8 Nilainya dari Serat Niti Sruti
Uwrite.id - Bagaimana Moralitas Pemimpin dalam Serat Niti Sruti
Menjadi pemimpin harus mampu menjaga moralitas dan sikapnya, dan tentu bagaimana kebijaksanaannya. Beberapa sikap seperti mempertunjukkan perilaku buruk seperti penghinaan di depan publik, merendahkan pihak yang berbeda pendapat, sungguh bukan sebagai sikap yang bijak. Nilai-nilai seperti kesantunan, keramahan, kesabaran, dan kebajikan lainnya, yang merupakan bagian integral dari masyarakat Indonesia, harus dieksplorasi. Apalagi, moralitas dan karakter seorang pemimpin di negara ini tidak hanya berasal dari Pancasila atau Undang-Undang Dasar 1945. Sejak zaman dahulu, sejak berabad-abad yang lalu, bagaimana menjadi seorang pemimpin (raja) telah diajarkan dengan standar moral yang sangat tinggi.
Salah satu pengajaran tentang kepemimpinan terdapat dalam Asthabrata (delapan ajaran) dalam Serat Niti Sruti (SNS), sebuah karya populer di masyarakat Jawa, tidak hanya di Yogyakarta dan Surakarta, tetapi juga tersebar di wilayah Cirebon dan Sumedang. Asthabrata, yang digubah oleh Sultan Pajang dan dikerjakan oleh Pangeran Karanggayam pada tahun 1591, secara garis besar berisi ajaran moral mengenai perilaku yang seharusnya dimiliki oleh seorang pemimpin kerajaan. Meskipun karya sastra ini masih menggunakan aksara Jawa Kuna, nilai-nilai Islam sudah jelas terlihat. Berikut adalah kutipan dari SNS yang mengandung ajaran Asthabrata:
Teks Megatruh:
Habis sudah kita meneladan delapan macam sikap. Semoga kita tidak menyimpang dari delapan ajaran yang telah diuraikan dalam Serat Sruti. Mari kita pahami inti ajaran tersebut.
Dalam sekejap mata, kita seharusnya memahaminya. Terlebih lagi, kita sebagai kaum Muslim, yang takdirnya menjadi umat unggul; bahkan orang-orang kafir pun memegang ajaran tersebut sebagai cermin.
Mereka mengikuti tata kelakuan yang dijelaskan dalam delapan sikap, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. Sungguh memalukan jika kita kalah oleh orang-orang kafir dan jahiliyah yang telah memahami ajaran tersebut.
Karena agama Islam sangat mulia, maka semangat kita dalam menuntut ilmu yang membawa kesejahteraan lahir dan batin seharusnya lebih besar. Dengan demikian, kita akan menjadi lebih mulia.
Dalam kutipan Megatruh tersebut, dijelaskan delapan ajaran dalam SNS yang menjelaskan karakteristik yang seharusnya dimiliki oleh seorang pemimpin (raja), antara lain:
Pertama, selalu mengedepankan tata kesopanan dalam berhubungan dengan manusia di seluruh dunia. Seorang pemimpin harus bersikap ramah dan dermawan dalam memberikan bantuan finansial dan pangan. Pada intinya, seorang raja harus mampu menjaga ketertiban.
Kedua, menghukum orang jahat tanpa pandang bulu, bahkan mengejarnya ke mana pun mereka pergi. Seorang pemimpin harus tegas dalam memberlakukan hukuman kepada siapa pun.
Ketiga, seorang pemimpin harus sabar, tenang, dan damai, mengajak masyarakat baik yang menjadi pengikut maupun musuh untuk berbuat kebaikan.
Keempat, seorang pemimpin harus bersikap ramah, manis, dan menyenangkan hati rakyat. Dalam SNS, hal ini ditekankan bahwa sikap seperti itu akan menyebabkan kesetiaan rakyat di seluruh dunia. Sikap ini akan diperoleh dengan pemaafan dan kasih sayang.
Kelima, seorang pemimpin harus memahami perasaan seluruh masyarakat dengan cara yang halus. Dengan wajah yang jernih dan senyuman, serta bantuan yang berlimpah kepada masyarakat, dan sikap pemaafan. SNS mengungkapkan bahwa seluruh dunia akan tunduk karena cinta dengan sikap ini.
Keenam, seorang pemimpin berpikir dan bersikap positif bahwa rakyatnya tidak akan berbuat jahat. Ia bahkan mengajak mereka untuk makan bersama dan bersyukur bersama. Dalam SNS digambarkan bahwa semua masyarakat dapat mencapai pengetahuan yang sempurna dan memahami asal-usul kehidupan.
Ketujuh, seorang pemimpin harus menjamin keamanan masyarakatnya dan mencari solusi bagi masalah-masalah yang ada, termasuk mendengarkan pendapat para intelektual.
Kedelapan, seorang pemimpin harus berani menghadapi musuh yang mengganggu ketenteraman masyarakat, hingga mereka dapat dihancurkan.
Meskipun dalam SNS dengan tegas menggambarkan realitas sosial masyarakat pada saat itu, yaitu dasar dari SNS yang menekankan kemuliaan ajaran Islam, tetapi dalam penjelasannya mengadopsi karakter-karakter dari delapan dewa agama Hindu. Hal ini berkaitan dengan cara membangun tata kehidupan masyarakat, kekejaman terhadap musuh tanpa pandang bulu, membentuk masyarakat yang setia kepada raja, memahami kehidupan, hakikat ilmu pengetahuan, dan menumpas musuh.
Jika mengadopsi konsep Quantum Teaching dari Bobby de Potter, SNS yang berisi Asthabrata karya Sultan Pajang cerdas dalam menanamkan nilai-nilai karakter yang ingin dibangun dalam masyarakat dengan mengadopsi konsep yang telah melembaga dalam benak masyarakat pada saat itu, termasuk di kalangan bangsawan dan kesultanan di Jawa. Dengan demikian, kedelapan karakteristik sikap yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin ditanamkan melalui aspek kebudayaan yang telah dijalankan selama berabad-abad.
Selain itu, dalam SNS juga disebutkan secara halus bagaimana melakukan "perlawanan" terhadap penjajah dengan membangun kedelapan karakteristik tersebut. Semoga Asthabrata dalam Serat Niti Sruti dapat menjadi contoh bagi calon "raja" saat ini yang sedang bersaing untuk mendapatkan atau mempertahankan tahtanya. Apakah karakter kepemimpinan mereka sudah memadai?(*)
Tulis Komentar