Lembaga Lama DPA Bangkit dari Kubur, Ditengarai Jadi Wadah Bagi-Bagi Kekuasaan
Uwrite.id - Jakarta - Revisi Undang-Undang tentang Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) yang kembali menjadi Dewan Pertimbangan Agung (DPA) menyedot perhatian publik. Langkah ini dikecam banyak pihak, termasuk pakar hukum tata negara yang mencurigai adanya motif bagi-bagi jatah jabatan di balik perubahan ini.
Salah satu pakar hukum tata negara dari Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera, Bivitri Susanti, menyatakan bahwa selama ini peran dan fungsi Wantimpres tidak terlalu terasa. Wantimpres hanya memberikan nasihat kepada presiden, yang belum tentu akan dilaksanakan. Oleh karena itu, menurut Bivitri, revisi ini tampak aneh dan mencurigakan.
Politisi Partai Gerindra, Maruarar Sirait, menanggapi bahwa anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA) nantinya akan bertugas memberikan pertimbangan, nasihat, dan saran kepada Prabowo Subianto setelah dilantik menjadi presiden pada Oktober mendatang. Ia juga meyakini bahwa Presiden Joko Widodo akan menjadi anggota DPA di era pemerintahan Prabowo, mengingat hubungan baik antara keduanya.
Penyusunan RUU Wantimpres dilakukan dengan kecepatan yang mengagetkan. RUU ini tidak masuk dalam program legislasi nasional prioritas tahun 2020-2024. Namun, pada Selasa (09/07), Badan Legislatif Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memutuskan untuk membawa RUU tersebut ke dalam rapat paripurna setelah disepakati sembilan fraksi di rapat pleno.
Ketua Baleg DPR, Supratman Andi Agtas, menyatakan bahwa penyusunan RUU ini dilakukan hanya dalam satu hari. Jika paripurna menyetujui, maka RUU ini akan dikirim ke pemerintah. Pemerintah akan menerbitkan surat presiden beserta daftar inventaris masalah untuk menyetujuinya atau tidak.
Supratman menyebutkan bahwa beberapa perubahan dalam revisi UU Wantimpres, terutama jumlah anggota yang tidak dibatasi, bertujuan agar presiden terpilih nanti bisa mendapatkan orang-orang terbaik sesuai dengan kebutuhannya. Namun, ia membantah bahwa revisi ini dilakukan untuk kepentingan Prabowo Subianto.
Pada masa Orde Baru, Dewan Pertimbangan Presiden dikenal sebagai Dewan Pertimbangan Agung (DPA). Lembaga tinggi negara ini dibentuk berdasarkan Pasal 16 UUD 1945 dan berkewajiban memberi nasihat dan pertimbangan kepada presiden. Namun, dalam Sidang Umum MPR tahun 2002, DPA dihapuskan karena dianggap tidak efisien.
Kuat dugaan bahwa DPA baru ini dibentuk untuk menampung Jokowi usai purnatugas juga diutarakan oleh Luluk Nur Hamidah dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Ia menilai bahwa DPA dapat diisi oleh mantan presiden seperti SBY, Megawati, dan Jokowi, bahkan tokoh-tokoh lainnya.
Secara terpisah, Presiden Jokowi menegaskan bahwa langkah DPR mengubah Wantimpres menjadi Dewan Pertimbangan Agung adalah inisiatif DPR. "Silakan tanyakan ke DPR," ucapnya.
Tampaknya, polemik ini masih akan terus bergulir dan menarik perhatian banyak kalangan. Apakah benar langkah ini semata-mata untuk mencari kepentingan terselubung? Atau benar-benar murni untuk kepentingan negara? Yang jelas, publik akan terus memantau perkembangan ini. (*)
Tulis Komentar