Koalisi Pengusung Pasangan AMIN Belum Paripurna, Pengamat: PKS Masih Buying Time Sisakan Sejumlah Puzzle

Pemilu | 14 Sep 2023 | 16:58 WIB
Koalisi Pengusung Pasangan AMIN Belum Paripurna, Pengamat: PKS Masih Buying Time Sisakan Sejumlah Puzzle
“Banyak faktor. Anda bisa melihat sendiri jalan terjal PKS. Di sisi lain, Anda bisa mengamati ketidakhadiran tokoh PKS seperti Dr Hidayat Nur Wahid (HNW),” tegas Dr Sholeh Basyari, yang juga pengamat politik santri.

Uwrite.id - Direktur Eksekutif Center for Strategic on Islamic and International Studies (CSIIS) DR Sholeh Basyari, blak-blakan menyebut koalisi pengusung pasangan AMIN (Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar) belum sedemikian paripurna..

Bahkan Dosen Pascasarjana Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (UNUSIA) ini, menyebutnya sebagai koalisi di atas kertas, tidak akan berjalan di lapangan.

“Banyak faktor. Anda bisa melihat sendiri jalan terjal PKS. Di sisi lain, Anda bisa mengamati ketidakhadiran tokoh PKS seperti Dr Hidayat Nur Wahid (HNW),” tegas Dr Sholeh Basyari, yang juga pengamat politik santri, Kamis (14/09).

Memang, jelasnya, rombongan pasangan capres-cawapres AMIN sudah mendatangi Kantor DPP PKS. Bahkan mars NU ‘Ya Lal Wathan’ diputar saat itu. Terlebih menurut shahibul bait (tuan rumah), pertemuan itu bertitel silaturahmi kebangsaan.

“Tetapi, tetap saja sikap PKS ini belum memaklumatkan ke publik atas Muhaimin. Masih menyisakan sejumlah puzzle (pertanyaan alias tebakan). Penundaan bisa terkait teknis pengambilan keputusan Majelis Syura yang beranggotakan 99 tokoh. Bisa pula buying time untuk menjamin kepastian ghanimah (mahar) dan fai’ (pungutan dan setoran rutin) atau penolakan yang smooth kepada Imin,” urainya.

Menurut Dr Sholeh, ada banyak catatan, perlu mendapat perhatian. Pertama, mulai hal ringan, semacam tahlil serta sub-kultur lain yang menjadi pride bagi warga NU. “Di mata aktivis PKS ini adalah ‘aib dalam ber-Islam. Di Jombang misalnya, seorang Ketua RT bisa memobilisasi warganya akibat rebutan jadi pemimpin (imam) tahlil,” tegasnya.

Kedua, ucap Sholeh, Cak Imin menyebut hubungan PKB-PKS di parlemen selama ini baik-baik saja.

“Namun, sejumlah fakta bisa memverifikasi pernyataan ini, mulai dari keberhasilan PKB menggolkan undang-undang pesantren hingga gesekan PKB-PKS terkait komposisi badan dan komisi negara yang menyangkut hajat umat Islam, BPKH, Badan Wakaf Indonesia, BAZNAS dan BPJPH. Ini jejak digitalnya jelas,” terangnya.

UU pesantren, ucap Sholeh, adalah legacy utama PKB yang dipandang PKS sebagai “pilih kasih”. Sejumlah catatan menjelaskan bahwa PKS menggerakkan Badan Kerjasama Pondok pesantren Seluruh Indonesia (BKsPPI) untuk mengajukan Judicial Review (JR) ke Mahkamah Konstitusi (MK).

“Nah, demi merespon JR ini, PKB memobilisasi Rabithah Ma’ahid Islamiah (RMI), asosiasi pesantren NU, untuk menghadapinya. Ini fakta,” tambah Sholeh.

Ketiga, katanya, adalah aroma penolakan PKS atas pasangan AMIN tercium dengan tidak hadirnya ideolog utama PKS. Tokoh seperti Hidayat Nur Wahid tidak datang.

“Ketidakhadiran presiden PKS ketiga ini, mengisyaratkan belum adanya kesepakatan lebih “ideologis” antar PKB-PKS menyangkut agenda besar keumatan, termasuk Masyumi Reborn,” tambahnya.

Keempat, dalam catatan Dr Sholeh, dengan Masyumi Reborn, koalisi PKB-PKS potensial berubah menjadi kompetisi memperebutkan sebagai satu-satunya saluran politik Islam Indonesia.

Namun terlepas akan empat hal tadi, Dr Sholeh Iskandar melihat adanya beberapa hal penyebab gairah PKS tidak terlalu intens melihat perkembangan koalisi Anies, dengan bergabungnya PKB ke dalam ini.

Menurut Dr Sholeh, ada lima hal yang (kemungkinan) menyelimuti PKS. 

Pertama, pasca kurang aktifnya mantan ketua majelis syariah Salim Al-Jufri, dan berpindahnya kendali kepemimpinan ke Ahmad Syaikhu, rupanya PKS melihat PKB sebagai “PDIP hijau”.

Kedua, persoalan ideologis ini. Hal ini sejatinya menyasar relasi PKS-Partai NasDem. Aktivis partai dakwah ini melihat, bahwa Partai NasDem adalah partai pelangi dengan warna Islam yang tipis,” terangnya.

Ketiga, lanjutnya, gairah di NasDem dan PKB seiring deklarasi Anies-Imin, menimbulkan spekulasi lain di PKS. Partai yang berbasis di kelas menengah Islam ini, meski tidak sereaktif Partai Demokrat, tetapi jelas mereka membutuhkan kejelasan politik baik dari Partai NasDem dan lebih-lebih PKB.

Keempat, kejelasan politik itu bisa saja tentang power sharing hingga mahar. PKS yang dua periode rezim Jokowi berada di luar pemerintahan, tentu membutuhkan banyak amunisi plus logistik tidak saja terkait alat peraga kampanye (APK), tetapi yang lebih meyakinkan konstituennya bahwa mendukung Anies-Imin adalah pilihan konkret menuju akhir dari puasa panjang sebagai oposisi,” urainya.

Dan, kelima, terangnya, PKS layak menuntut kejelasan power sharing dan mahar, sebab partai ini solid struktur dan massa yang militan, suatu hal yang mahal harganya dalam kultur politik kita yang cair dan transaksional. Demikian pengamatan Dr Sholeh Basyari.

“Saya yakin, keluarga besar NU akan melihat orang seperti Akmad Syaikhu, presiden PKS sekarang, ini adalah anak ideologis Ustadz Hilmy Aminuddin, alumnus Tebuireng, tokoh paling disegani kelompok Islam kanan setelah Sekarmaji Maridjan Kartosoewirjo, ideolog DI/TII,” pungkasnya. (*)

 


 

 

Menulis di Uwrite bisa dapat penghasilan, Investasikan tulisan anda sekarang juga
Daftar di sini

Jika anda keberatan dan memiliki bukti atau alasan yang kuat bahwa artikel berita ini tidak sesuai dengan fakta, anda dapat melakukan pengaduan pada tautan ini

Tulis Komentar