Ketika Waringinsari Kota Banjar Bersiap Jadi Kawasan Agropolitan

Uwrite.id - Di Desa Waringinsari, Kecamatan Langensari, Kota Banjar, Jawa Barat, geliat perubahan mulai terasa.
Di tengah dominasi lahan pertanian dan bentang datar bantaran Sungai Citanduy, sebuah gagasan besar dirancang: menjadikan desa ini sebagai kawasan agropolitan.
Agropolitan bukan istilah baru. Ia merujuk pada model pembangunan berbasis pertanian yang terintegrasi dengan pengembangan kawasan.
Tapi bagi Waringinsari, konsep ini bukan sekadar label. Ia menyentuh langsung soal tanah, kerja-kerja tani, dan masa depan komoditas unggulan.
“Sejak lama, lahan di bantaran Sungai Citanduy ini sudah berkembang jadi kebun-kebun produktif,” kata Kuswanti, Kepala Desa Waringinsari, saat ditemui pada Senin (21/4/2025).
Kini, belimbing diproyeksikan jadi primadona baru.
Pemerintah desa bahkan telah menerima 1.000 bibit dari Dinas Ketahanan Pangan, Pertanian, dan Perikanan. Ini sinyal bahwa langkah pengembangan bukan lagi sebatas niat.
“Kita punya belimbing, jeruk, jambu kristal, pepaya, bengkoang, dan tanaman lainnya," tambahnya.
Tanah, Infrastruktur, dan Strategi Jangka Panjang
Waringinsari punya angka-angka yang menguatkan arah kebijakan itu.
Dari total luas desa yang mencapai 685 hektar, sekitar 90 persen adalah lahan pertanian. Setidaknya 2.015 orang dari total 9.385 penduduk menggantungkan hidup dari pertanian.
Kawasan agropolitan yang tengah dirancang mencakup 105,68 hektar, terdiri dari 88,39 hektar lahan tanam dan 17,18 hektar fasilitas umum: mulai dari jalan sepanjang 13,46 km, plaza, shelter panen, kolam retensi, sampai lapangan sepak bola.
Namun, sebagaimana umumnya proyek infrastruktur berbasis desa, masalah klasik tetap muncul: jalan masih berupa setapak dan belum sepenuhnya sesuai rencana.
Tapi bagi Kuswanti, kondisi datar wilayah membuatnya masih bisa dioptimalkan.
Yang menarik, legalitas lahan sudah kuat.
“Alhamdulillah, lahan-lahan ini juga sudah bersertifikat, jadi legalitasnya jelas dan milik masyarakat,” lanjutnya.
Pasar dan Arah Produksi dari Warga untuk Warga
Di luar pengembangan lahan dan komoditas, desa juga tengah mempersiapkan pembangunan Pasar Caplek.
Gagasan ini ingin menjawab kebutuhan pascapanen: tempat distribusi, ruang interaksi, dan harapan akan nilai tambah.
“Pasar ini nantinya bisa jadi tempat jual beli hasil pertanian dari warga sendiri. Kita ingin semua bergerak dari dan untuk masyarakat,” kata Kuswanti.
Pembangunan berbasis agropolitan di Waringinsari bukan sekadar proyek fisik.
Ia melibatkan penataan sosial, alih teknologi, distribusi bibit, sampai pada desain infrastruktur desa.
Jika berhasil, Waringinsari bisa jadi model integrasi antara pertanian berbasis komunitas dan pembangunan kawasan terpadu.
Namun jika tidak hati-hati, ia berisiko jadi proyek elitis, yang hanya menguntungkan sebagian pihak tanpa memperkuat daya hidup petani kecil.
Sejauh ini, desa mencoba menghindari jebakan itu dengan selalu melibatkan warga, memperjelas kepemilikan lahan, dan menjaga keberagaman komoditas.
Belimbing mungkin jadi wajah baru. Tapi yang menentukan masa depan Waringinsari tetap kerja kolektif para petani dan arah kebijakan yang berpihak.***
Tulis Komentar