Keterampilan Teknik Penyiaran Radio Siswa Disabilitas
Uwrite.id - Salah satu tantangan yang cukup besar dalam dunia pendidikan adalah pemberdayaan dan peningkatan kapabilitas siswa-siswa disabilitas, khususnya siswa SLB A, atau para siswa dengan keadaan tuna netra. Dalam permendikbud mengenai keterampilan SLB A ini yang menjadi perhatian penulis adalah keterampilan Teknik Penyiaran Radio. Ini pasti sudah melalui berbagai kajian dan pertimbangan mendalam ketika menentukan Teknik Penyiaran Radio dimasukan sebagai salah satu keterampilan yang bisa diajarkan di sekolah SLB A. Pertanyaan selanjutnya adalah, apakah satuan pendidikan SLB A se-Indonesia telah memiliki modul pembelajarannya dan guru-gurunya mampu mengajarkan modul radio broadcasting tersebut khusus bagi siswa - siswa tuna netra ini?. Kalaupun ada sekolah SLB A yang telah memiliki modul pembelajaran Radio Broadcasting, kemudian secara bijak kita harus melihat bagaimana dinamika industri media radio siaran terkait para SDM-nya. Lalu, apakah sulit menerapkan keterampilan Teknik Siaran Radio bagi siswa SLB A? Jawabannya bisa iya ataupun tidak, bergantung kepada kesiapan sekolah mulai dari SDM pengajar, modul pembelajaran hingga infrastruktur penunjang lainnya.
Penulis pernah memiliki kesempatan membimbing siswa magang dari sebuah sekolah SLB A di Kota Bandung sebanyak 2 orang, bertempat di studio radio streaming milik Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat. Kurang lebih selama 20 hari penulis dan tim melakukan tahapan pembimbingan sebagai berikut yaitu observasi singkat, analisa daya nalar, menggali potensi disi, dan akhirnya para siswa magang itu mampu menghasilkan output magang yaitu produksi Iklan Layanan Masyarakat berstandar industri media radio broadcasting di Indonesia. Kedua siswa tuna netra itu melakukan pekerjaannya mulai dari penggalian ide, menulis naskah, dubbing suara hingga editing audio. Mereke bisa namun jelas harus memakai alat bantu yang memadai. Pada akhir sesi magang yang hanya 20 hari itu, penulis bertemu dengan guru mereka dan ternyata keinginan sekolah untuk mengadakan vokasional teknik siaran radio bagi tuna netra sangatlah kuat. Para guru itu juga bersandar pada permendikbud yang mengamanatkan keterampilan Teknik Penyiaran Radio bagi tuna netra. Namun sayang, guru-guru SLB A tersebut tidak tahu caranya bagaimana mengajarkan Teknik Siaran Radio bagi para siswanya, guru-guru juga tidak memiliki modul pembelajaran yang memadai terlebih modul khusus Teknik Penyiaran Radio bagi tuna netra.
Tidak lama setelah program magang siswa tuna netra di studio radio streaming milik Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat itu, penulis memberanikan diri menyusun sebuah modul pembelajaran Teknik Penyiaran Radio Broadcasting khusus tuna netra. Penulis melakukan FGD kecil-kecilan bersama para guru SLB A tersebut, termasuk kepala sekolahnya dan dalam waktu beberapa minggu penulis rampung menyusun draft modul pembelajaran Teknik Radio Broadcasting khusus tuna netra. Layaknya sebuah silabus pembelajaran, didalamnya dibuat misi kemampuan dasar dan inti. Metode ajar, cara penilaian dan durasi belajar. Memang masih dini bila dikatakan modul tersebut telah sempurna, namun sang Kepala Sekolah SLB A cukup mengapresiasi akan hadirnya draft modul tersebut. Jalan masih panjang, penulis harus bertemu dengan banyak pihak lagi untuk menyempurnakan modul tersebut. Total jam pelajaran pada modul Teknik Radio Broadcasting berkisar antara 1500 - 1800 jam pelajaran jenjang menengah atas SLB A. Diperuntukan untuk 6 semester sehingga harapannya adalah ini menjadi cikal bakal jurusan vokasional Radio Broadcasting khusus tuna netra di Indonesia.
Penulis sangat yakin, bahwa kelak dunia industri media radio di Indonesia dan para prinsipal pemilik merek suatu saat akan terbuka mata hatinya bila dikemudian hari lahirlah sebuah stasiun radio broadcasting profesional dimana mayoritas para pengelolanya adalah mereka yang berkebutuhan khusus. Bagaimanapun, Undang Undang No.8 Tahun 2016 Tentang Disabilitas adalah amanat yang harus diperjuangkan. Cobalah para Gubernur se-Indonesia sekali-sekali bertanya pada Kepala Dinasnya, apakah kantor - kantor OPD mereka telah mengakomodir minimal 2% dari total karyawannya dengan tenaga kerja disabilitas?
Tulis Komentar