Kemiskinan Petani Bukan Nasib, Tapi Hasil Kebijakan

Uwrite.id - Miftahurrohman dari komunitas Pemuda Tani Lare Terbis Lakbok Ciamis menegaskan bahwa kemiskinan petani bukanlah nasib, melainkan hasil dari kebijakan yang tidak tepat sasaran.
Dia menilai akar masalah kemiskinan petani bukan pada nasib, melainkan akibat dari kebijakan yang tidak berpihak.
Pandangan ini disampaikan saat diskusi berbagai persoalan irigasi dan kebijakan pertanian dalam Sawala Pertanian bertajuk "Budaya Membangun Desa" yang digelar sebagai rangkaian acara Layang Lakbok 2025 di Aula Desa Baregbeg, Sabtu, 25 Oktober 2025.
“Kemiskinan petani itu bukan nasib, tapi hasil kebijakan. Kebijakan itu bisa datang dari BBWS, Kementerian Pertanian, Kementerian PUPR, atau lainnya," tegas Miftah.
Ia juga menyoroti prioritas pembangunan daerah yang menurutnya harus sesuai dengan kebutuhan warga Lakbok.
“Orang Lakbok itu tidak butuh sirkuit balap, sirkuit road race. Yang dibutuhkan itu dua saja: sawahe teles, dalanna tandes (sawahnya basah, jalannya bagus),” ujar Miftah.
Menurutnya, ketika jalan desa dalam kondisi baik dan air irigasi lancar, harga gabah dan hasil panen pun akan stabil. “Kalau dua hal itu beres, petani bisa tenang bekerja,” katanya.
Kritik untuk Sistem Pembangunan dan Birokrasi
Miftah juga mengkritik lambannya sistem birokrasi pembangunan pertanian. Ia menilai pemerintah terlalu menunggu usulan dari bawah, sementara data dan peta irigasi sebenarnya sudah dimiliki oleh instansi teknis.
“Negara itu seperti orang tua, dan petani itu anaknya. Tapi sekarang, anak harus minta dulu baru dikasih. Padahal BBWS atau Dinas Pertanian punya data lengkap. Harusnya tidak menunggu petani mengusulkan, tapi langsung turun cek lapangan dan membangun sesuai kebutuhan yang nyata,” ujarnya.
Ia juga menyoroti pengelolaan saluran irigasi setelah wilayah Lakbok kembali berada di bawah BBWS Citanduy. Sebelumnya, sebagian jaringan dikelola oleh PSDA Provinsi Jawa Barat, namun menurutnya tanpa hasil yang signifikan.
“Dulu cuma diklaim, lalu dibiarkan,” singgung Miftah.
Budaya Tani yang Tak Perlu Diatur
Miftah juga menyampaikan bahwa kebijakan pertanian seharusnya berfokus pada pembenahan infrastruktur dasar, bukan pengaturan perilaku petani.
“Orang Lakbok itu tidak perlu diatur-atur ke sawah. Kalau saluran air lancar, petani pasti ke sawah. Karena sejak lahir mereka sudah hidup dari sana," ujar Miftah.
Ia menegaskan, yang dibutuhkan hanyalah irigasi yang mengalir dan jalan pertanian yang layak.
“Kalau sawahnya teles, jalannya tandes, itu sudah cukup,” ujarnya.
Dalam forum itu, para petani berharap BBWS Citanduy dan pemerintah daerah benar-benar menindaklanjuti aspirasi mereka.
Mereka meminta agar penataan irigasi tersier diprioritaskan agar musim tanam dapat lebih serempak dan hasil pertanian meningkat.
“Kalau infrastruktur tersiernya bagus, musim tanam bisa diatur. Kalau tidak, petani di hulu dan hilir akan selalu berbeda musim,” kata Miftah menutup pandangannya.
Pemuda tani lainnya, Samsul Zuhri, menyampaikan terima kasih kepada pihak Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Citanduy yang telah menyalurkan air irigasi ke sawah-sawah di wilayahnya.
Namun, ia menekankan bahwa persoalan utama bukan pada ketersediaan air, melainkan pada sistem distribusi di lapangan.
“Air dari BBWS itu sangat dibutuhkan. Tapi masalahnya ada di sistem pembagiannya, terutama di pintu-pintu irigasi seperti BSA-12,” ujar Syamsul.
“Air itu bisa jadi sumber kehidupan, tapi juga bisa jadi sumber masalah, tergantung bagaimana kita mengelolanya," tambahnya.
Syamsul menilai infrastruktur tersier di sejumlah desa di Lakbok masih perlu perhatian.
“Saya dari kecil sudah biasa ke sawah. Ibaratnya, saya lahir di galengan sawah. Jadi tahu betul, kadang bukan airnya yang kurang, tapi salurannya yang tidak sampai,” ujarnya.
Menunggu Respons Pemerintah
Perwakilan Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Citanduy, Taufik dari Unit Pengelola Irigasi (UPI) Lakbok Manganti, menyoroti belum terbentuknya Komisi Irigasi (Kormir) di Kabupaten Ciamis.
Menurutnya, ketiadaan lembaga tersebut berdampak pada tidak sinkronnya pola tanam antarpetani di daerah irigasi Lakbok.
“Ciamis belum ada komisi irigasi, jadi pengaturan buka tutup air belum serempak,” kata Taufik.
Ia menjelaskan, tanpa adanya Kormir yang berfungsi mengkoordinasikan kebutuhan air dan jadwal tanam, petani sering kali beroperasi sendiri-sendiri. Akibatnya, sebagian petani sudah panen sementara yang lain baru mulai menanam.
“Ada yang masih tanam, ada yang sudah panen. Karena itu air sering tidak seimbang di saluran,” ujarnya.
Taufik menambahkan, pengelolaan dan pembenahan infrastruktur irigasi juga tidak sepenuhnya menjadi kewenangan BBWS Citanduy. Sebagian sistem irigasi berada di bawah kewenangan pemerintah daerah.
“Irigasi itu tidak semuanya dipegang BBWS, ada yang kewenangan kabupaten dan provinsi juga,” ungkapnya.
Ia berharap ke depan koordinasi lintas pihak bisa lebih baik agar distribusi air dan jadwal tanam bisa lebih seragam.
"Harus ada koordinasi lintas sektor. Terutama kehadiran pemerintah daerah," ucapnya.***

Tulis Komentar