Jokowi Ingin Penerusnya Mengamankan Diri dan Keluarga
Uwrite.id - Melalui endorsement, sosok petinggi negara Jokowi kiranya ingin memastikan jika penerusnya nanti akan memberikan perlindungan politik pada dirinya ketika sudah tidak lagi menjabat.
Termasuk, probabilitas turunan untuk berusaha menjamin posisi Gibran Rakabuming Raka (anak) dan Bobby Nasution (menantu) yang menjabat sebagai Wali Kota Solo dan Wali Kota Medan posisi dan kariernya tetap “aman” dalam politik nasional.
Menuju akhir masa jabatannya, Presiden Jokowi seolah berupaya mempertahankan modal politik atau political capital personalnya selama ini dengan melakukan political endorsement pada beberapa kandidat bakal capres. Tentu, untuk “bekal” saat tak lagi menjabat.
Rusydi Syahra dalam jurnalnya yang berjudul Modal Sosial: Konsep dan Aplikasi juga menjelaskan kekuatan kapital sosial salah satu elemen modal politik yang dimiliki seseorang tergantung pada seberapa besar kuantitas maupun kualitas jejaring sosial yang mampu dibangun.
Dalam konteks Presiden Jokowi, upayanya dalam mempertahankan modal sosial yang dia miliki dengan cara melakukan political endorsement, dan terlihat berupaya memposisikan diri sebagai king maker dalam menentukan kandidat capres maupun arah dukungan Pilpres 2024 kiranya belum cukup untuk menjadi “bekal” politiknya ketika sudah tak lagi menjabat.
Peluang penyebabnya adalah, pertama, kendatipun statusnya nanti pasca 2024 adalah mantan presiden, posisinya yang hanya sebagai kader semata di PDIP tampak tidak cukup kuat guna menandingi kekuatan pengaruh trah Soekarno atau trah Megawati di tubuh PDIP yang bisa disebut amat kuat.
Kapital politik yang hanya bersumber dari impresi endorsement pun eepertinya belum memadai untuk membuat dirinya untuk tetap eksis dalam panggung perpolitikan nasional.
Kedua, masih berkaitan dengan poin pertama, Presiden Jokowi bukan seorang pembuat keputusan (decision maker) di PDIP. Pembuat keputusan di PDIP sejatinya adalah Megawati. Joko Widodo memiliki posisi hanya sebagai kader. Beliau jadi presiden pun awal mulanya terlahir dari populisme sesaat.
Hal itu dapat direfleksikan dari tulisan Otto Gusti Madung yang berjudul Populism, The Crisis Of Democracy, And Antagonism yang menjelaskan prestasi elektoral Jokowi didasarkan pada konsultasi dan komunikasi langsung dengan para konstituen.
Tetapi, sejumlah agenda perubahan dan pro rakyat Jokowi yang pernah dijanjikan pada masa kampanye sulit direalisasikan karena bertentangan dengan kepentingan partai-partai politik pengusung pemerintah yang dikuasai para oligark.
Tulis Komentar