Jejak Walisongo: Penyebar Islam di Nusantara dari Persia (Iran) dan Hadhramaut (Yaman)

Uwrite.id - Islam hadir di Nusantara bukan lewat pedang, melainkan melalui sentuhan budaya, perdagangan, dan dakwah yang lembut. Di antara aktor utama proses Islamisasi itu adalah para Walisongo—sembilan wali yang dikenal luas sebagai tokoh penyebar Islam di Jawa. Yang menarik, jejak asal-usul sebagian dari mereka menelusur jauh hingga ke Persia (Iran) dan Hadhramaut (Yaman), dua wilayah penting dalam sejarah peradaban Islam dunia.
Persia: Akar Tasawuf dan Tradisi Ahlul Bait
Beberapa tokoh Walisongo, seperti Maulana Malik Ibrahim (Sunan Gresik), disebut berasal dari kawasan yang saat itu dikenal sebagai wilayah kekuasaan Islam Persia, seperti Kasyan atau Samarkand. Maulana Malik Ibrahim dikenal sebagai ulama sufi yang membawa metode dakwah khas Persia—penuh kelembutan, menjunjung ilmu, dan menghormati tradisi lokal. Ia bukan sekadar pendakwah, tapi juga tabib dan guru masyarakat.
Anaknya, Sunan Ampel (Raden Rahmat), melanjutkan warisan ini. Dalam beberapa catatan silsilah, garis keturunannya berakar dari jalur Ahlul Bait (keluarga Nabi Muhammad SAW), yang sangat dihormati di kalangan Syiah dan Sunni. Tradisi penghormatan terhadap keluarga Nabi ini sangat kental dalam budaya Persia, dan turut dibawa dalam semangat dakwah Walisongo yang menghargai kasih sayang, kesederhanaan, dan keadilan.
Hadhramaut: Jalur Dakwah Ulama Yaman
Selain Persia, Hadhramaut di Yaman juga menjadi sumber penting ulama-ulama besar yang datang ke Nusantara. Wilayah ini dikenal sebagai tanah kelahiran para sayyid (keturunan Nabi) yang menyebarkan Islam ke berbagai belahan dunia, termasuk Asia Tenggara.
Beberapa Wali seperti Sunan Giri, Sunan Bonang, dan Sunan Kudus diyakini pernah belajar atau mendapatkan pengaruh dari ulama-ulama Hadhrami. Jalur perdagangan dan dakwah para habib dari Yaman memperkuat ikatan antara dunia Islam Timur Tengah dan Nusantara. Tradisi tarekat, zikir, dan majelis taklim yang berkembang di Jawa memiliki akar yang kuat dalam praktik spiritual ulama Hadhramaut.
Metode Dakwah: Perpaduan Persia-Yaman dan Budaya Lokal
Yang membuat dakwah Walisongo efektif adalah pendekatan mereka yang menggabungkan kearifan lokal dengan ajaran Islam universal. Mereka tidak memaksa, tapi berdialog. Mereka tidak menghapus budaya, tapi menyucikannya dari unsur syirik. Nilai-nilai sufisme Persia—seperti cinta, kelembutan, dan akhlak—berpadu dengan ketegasan moral dan etika keilmuan Hadhramaut.
Dakwah Walisongo pun menjelma menjadi gerakan budaya. Wayang, gamelan, seni ukir, hingga adat pernikahan dijadikan sarana penyebaran Islam, tanpa kehilangan ruh keislamannya. Inilah bentuk Islam Nusantara yang harmonis dan inklusif.
Warisan yang Masih Hidup
Hingga kini, makam Maulana Malik Ibrahim di Gresik, kompleks Sunan Ampel di Surabaya, dan kawasan Sunan Kalijaga di Demak masih ramai dikunjungi peziarah. Ini menunjukkan betapa besar pengaruh mereka dalam membentuk wajah Islam di Indonesia—Islam yang ramah, toleran, dan berakar kuat pada tradisi keilmuan dunia Islam.
Jejak Persia dan Hadhramaut dalam sejarah Walisongo adalah bukti bahwa Islam datang ke Nusantara melalui jaringan keilmuan global. Mereka membawa cahaya dari dua pusat peradaban Islam besar dan menjadikannya lentera di tanah Jawa. Di tangan mereka, Islam tumbuh subur, bukan dengan kekerasan, tetapi melalui ilmu, cinta, dan kebijaksanaan.
Tulis Komentar