
Uwrite.id - Jam tiga pagi selalu punya bau yang sama: sisa alkohol, asap rokok basah, dan air got yang nggak pernah benar-benar mengalir. Di lorong belakang klub malam itu, bau jadi semacam penanda waktu. Kalau hidung sudah kebal, berarti malam sudah terlalu jauh untuk dihitung.
Arman berdiri di samping motor tuanya, rompi parkir sudah kusam dan kancingnya tinggal satu. Di tangannya, senter kecil yang kadang mati sendiri. Ia jarang menyalakannya. Cahaya neon dari papan nama klub sudah cukup buat melihat sepatu mahal, roda mobil, dan wajah orang yang sebentar lagi lupa kehadirannya.
Jam tiga pagi adalah jam orang mulai jujur—atau sebaliknya, terlalu pandai berbohong.
Mobil hitam berhenti. Arman mengangguk, membuka pintu, lalu menutupnya pelan. Dari dalam, keluar lelaki dengan jas rapi dan mata merah. Nafasnya berat, tapi langkahnya masih tegak. Lelaki itu mengeluarkan dompet, menyerahkan selembar uang tanpa menatap.
“Terima kasih, Pak,” kata Arman, seperti biasa.
Lelaki itu sudah pergi sebelum kalimatnya selesai.
Arman melipat uangnya, menyelipkan ke kantong celana. Ia hafal gerakan itu. Sama hafalnya dengan nomor polisi mobil-mobil langganan. Ia tahu mobil siapa yang datang setiap Jumat, siapa yang hanya muncul kalau ada proyek cair, dan siapa yang datang sendirian tapi pulang dengan tawa yang bukan miliknya.
Ia tahu semuanya. Tapi tak ada yang tahu namanya.
Di sudut lorong, dua satpam klub berdiri sambil merokok. Mereka bicara pelan, tertawa sesekali. Arman tak ikut. Bukan karena tak mau, tapi karena tak pernah diajak. Di dunia malam, setiap orang punya lingkarannya sendiri. Dan tukang parkir berada di lingkar paling luar—cukup dekat untuk melihat, terlalu jauh untuk masuk.
Seorang perempuan keluar sambil mengancingkan jaket. Hak sepatunya bunyi patah-patah di aspal. Wajahnya cantik dengan cara yang lelah. Ia berhenti sebentar, mencari rokok di tas.
“Mas, korek?” tanyanya.
Arman mengeluarkan korek api, menyalakan. Api kecil menyala di antara mereka. Perempuan itu menarik asap dalam-dalam, menutup mata sesaat.
“Makasi,” katanya. “Dingin ya.”
“Iya,” jawab Arman. “Biasanya jam segini.”
Perempuan itu tersenyum tipis, lalu pergi. Arman memperhatikan punggungnya sampai hilang di tikungan. Ia tak tahu namanya. Ia juga tak perlu tahu. Malam mengajarkan satu hal: terlalu banyak tahu hanya bikin capek.
Dari dalam klub, musik masih berdentam. Lagu yang sama sejak dua jam lalu. Arman bisa menebak kapan lagu akan ganti, bukan karena ia suka, tapi karena tubuhnya sudah hafal ritmenya. Setiap dentuman terasa di dada, seperti jantung tambahan yang tak pernah diminta.
Ia menyalakan rokok. Asapnya tipis. Rokok murah, tapi cukup untuk menemani.
Di seberang lorong, seorang pemuda duduk di motor sambil menatap layar ponsel. Driver ojol. Helmnya masih terpasang. Wajahnya kosong.
“Nunggu?” tanya Arman.
“Iya, Mas,” jawab pemuda itu. “Katanya bentar.”
Arman tertawa kecil. “Bentar di sini bisa lama.”
Pemuda itu ikut tersenyum. Mereka diam lagi. Diam yang tidak canggung, karena sama-sama paham. Di jam tiga pagi, percakapan tak perlu panjang.
Lampu di lorong berkedip. Arman memukul tiangnya pelan. Lampu menyala lagi. Ia selalu melakukan itu, seperti ritual kecil yang membuatnya merasa punya kendali atas sesuatu—apa pun itu.
Sekitar jam setengah empat, polisi patroli lewat. Mobilnya melambat, lalu berjalan lagi. Arman mengangguk. Polisi itu mengangguk balik. Tidak ada kata. Tidak perlu.
Di dunia ini, semua orang tahu perannya.
Pernah suatu malam, polisi itu bertanya nama Arman. Sekali. Lalu tak pernah lagi. Sejak itu, Arman merasa aneh. Seperti pernah hampir dianggap ada.
Telepon Arman bergetar. Pesan dari istrinya.
Jangan lupa besok bayar uang sekolah.
Arman membalas singkat: Iya.
Ia menghitung uang di saku. Belum cukup. Tapi masih ada sisa malam. Masih ada harapan kecil yang selalu datang dalam bentuk mobil terakhir.
Seorang lelaki tua keluar dari klub, sendirian. Langkahnya pelan. Tangannya gemetar. Ia berhenti di depan Arman.
“Mas,” katanya lirih. “Masih ada warung buka?”
Arman menunjuk ujung jalan. “Masih ada angkringan. Yang lampunya biru.”
Lelaki itu mengangguk. “Terima kasih.”
Ia berjalan pergi, sedikit membungkuk. Arman melihat punggung itu dengan perasaan yang sulit dijelaskan. Bukan iba, bukan simpati. Lebih seperti melihat bayangan masa depan yang berjalan mendahului.
Jam hampir empat. Musik mulai dikecilkan. Orang-orang keluar dengan wajah berbeda: lega, kecewa, marah, atau kosong. Arman menyambut semuanya dengan gerakan yang sama. Membuka pintu. Menutup pintu. Mengucap terima kasih.
Ada perempuan yang tertawa terlalu keras. Ada lelaki yang muntah di selokan. Ada yang bertengkar pelan, ada yang berpelukan terlalu lama. Semua lewat di hadapannya seperti potongan film tanpa judul.
Menjelang subuh, udara berubah. Bau malam mulai kalah oleh bau pagi. Arman mematikan rokoknya, merapikan rompi.
Motor terakhir keluar. Arman menerima uang terakhir. Ia menatap langit yang mulai abu-abu.
Lorong belakang itu akan sepi sebentar. Nanti siang, jadi tempat sampah dan kardus. Nanti malam, hidup lagi.
Arman duduk di motor tuanya, menyalakan mesin. Sebelum pergi, ia menoleh ke lorong itu sekali lagi.
Tak ada yang melambaikan tangan. Tak ada yang memanggil namanya.
Dan itu tak apa.
Karena di jam tiga pagi, tugasnya bukan untuk diingat.
Cukup memastikan semua orang pulang—meski tak ada yang benar-benar pulang utuh.

Tulis Komentar