Jaksa Agung: Tidak Ada Wilayah Bebas Korupsi di Negeri Ini!! Apakah Dampak Revisi UU KPK?

Uwrite.id - Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin kembali menegaskan bahwa korupsi masih merajalela di berbagai sektor di Indonesia. Dalam pernyataannya yang cukup tajam, ia menyebut bahwa label Wilayah Bebas Korupsi (WBK) yang sering disematkan pada instansi pemerintahan hanyalah ilusi belaka.
"Saya bilang bohong semua, enggak ada wilayah bebas korupsi di negeri ini. Tetap saja korupsi ada," ujarnya, dikutip dari CNNIndonesia, Kamis (6/2/25) malam.
Burhanuddin bahkan mengkritik para jaksa yang tidak berhasil mengungkap kasus korupsi di daerah mereka.
"Saya katakan kepada anak-anak, kalau kunjungan ke daerah, bohong kalau di daerah itu tidak ada korupsi. Kalau tidak ada korupsi, artinya jaksanya yang bodoh tidak bisa mengungkap itu," imbuhnya.
Pernyataan Burhanuddin ini mengisyaratkan bahwa korupsi masih mengakar kuat dan bahkan bisa saja tidak terdeteksi akibat lemahnya penegakan hukum di berbagai level.
Namun, pernyataan ini menimbulkan pertanyaan besar: Jika korupsi masih merajalela, apakah revisi Undang-Undang KPK yang dilakukan beberapa tahun lalu justru melemahkan upaya pemberantasan korupsi?
Dampak Revisi UU KPK Apakah Melemahkan?
Sejak revisi UU KPK pada tahun 2019, yang mencakup lembaga independensi antirasuah dengan menempatkannya di bawah eksekutif dan menempatkan status pegawai KPK menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN), menurut berbagai pihak, tren pemberantasan korupsi justru menurun.
Bahkan, data menunjukkan bahwa sejak revisi tersebut, jumlah operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan KPK mengalami penurunan drastis. Jika sebelumnya KPK aktif melakukan OTT terhadap pejabat publik, kini langkah-langkah pemberantasan korupsi lebih banyak mengandalkan pendekatan pencegahan.
Dalam kesempatan yang sama, Burhanuddin juga menegaskan bahwa Kejaksaan tidak pernah menerima intervensi politik dalam menangani kasus-kasus korupsi. Ia mengklaim bahwa institusinya tetap independen dan tidak menjadi perpanjangan tangan pemerintah.
"Tergantung penegak hukumnya. Mau enggak diintervensi, kalau saya enggak mau. Karena mungkin melihat sosok saya atau apa, tapi kenyataannya tidak pernah ada yang bisa masuk (intervensi)," ungkapnya.
Kepercayaan Publik terhadap Penegak Hukum
Meski Burhanuddin menolak anggapan bahwa kejaksaan tunduk pada tekanan politik, kepercayaan publik terhadap lembaga penegak hukum masih menjadi tantangan besar. Kasus-kasus besar seperti korupsi bansos, mafia hukum, dan skandal di kementerian menunjukkan bahwa pemberantasan korupsi masih menghadapi hambatan struktural yang kompleks.
Pernyataan Jaksa Agung bahwa tidak ada wilayah bebas korupsi seharusnya menjadi peringatan keras bagi semua pihak. Namun, jika memang korupsi masih merajalela, maka perlu dilakukan evaluasi menyeluruh terhadap kebijakan yang selama ini diterapkan, termasuk revisi UU KPK yang banyak dikritik sebagai langkah mundur dalam pemberantasan korupsi.
Jika pemerintah serius ingin memberantas korupsi, maka kewenangan lembaga-lembaga penegak hukum harus diperkuat. Tanpa itu, harapan untuk melihat Indonesia yang lebih bersih dari korupsi hanya akan menjadi utopia.
Tulis Komentar