Hikayat Bujang Katak: Akibat Besarkan Anak Katak, Jadi Bumerang bagi Ibu Suri Saat Dewasanya
Uwrite.id - Sebelum kita menikmati narasi kisah dongeng masyarakat Bangka-Belitung yang amat memberi kesan dan terasa relevan ini, perlu pembaca ketahui bahwa isi cerita diadaptasi dari tulisan karya Rina Hendra Salam dan Seno Budiharto. 1999. Cerita Rakyat dari Bangka. Jakarta: Grasindo. Anonim. Bangka. Mari, kita simak bersama. Yook ...
Alkisah, di sebuah dusun di daerah Bangka, Provinsi Bangka-Belitung (Babel), hidup seorang ibu suri tua renta yang sangat miskin.
Ia tinggal seorang diri di sebuah gubuk reot yang terletak di kaki bukit. Ia tidak memiliki sanak saudara.
Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, ia menggarap sebidang tanah (ladang) warisan orang tuanya.
Pada suatu ketika, musim tanam tiba. Seluruh warga dusun sibuk bekerja di ladang masing-masing, tidak terkecuali ibu suri itu.
Namun karena tubuhnya sudah lemah, ia sebentar-sebentar beristirahat untuk melepas lelah. Ketika sedang duduk beristirahat, tiba-tiba ia berangan-angan ingin mempunyai anak.
“Seandainya aku mempunyai anak ,tentu aku tidak secapek ini bekerja. Bagaimana jadinya nanti kalau aku sudah tidak mampu lagi bekerja. Siapa yang akan menggarap ladang ini?” pikirnya. Setelah itu, ia pun kembali melanjutkan pekerjaannya.
Menjelang siang hari, ia kembali ke gubuknya untuk beristirahat.
Pada malam harinya, cuaca tampak terang, ia duduk-duduk di depan gubuknya.
Pandangan matanya menerawang ke langit. Ia kembali berangan-angan ingin mempunyai anak.
Ibu suri itu segera menengadahkan kedua tangannya ke atas lalu berdoa, “Ya, Tuhanku! Berilah hamba seorang anak, walaupun hanya berbentuk katak.”
Berselang tiga hari kemudian, ibu suri itu merasakan ada sesuatu yang aneh di dalam perutnya.
“Ya Tuhan! Ada apa di dalam perutku ini. Sepertinya ada benda yang bergerak-gerak,” ucap ibu suri itu sambil mengelus-elus perutnya.
Rupanya, ia sedang mengandung. Tuhan telah mengabulkan doanya.
Alangkah bahagianya hati si ibu suri. Semakin hari perutnya pun tampak semakin membesar.
Para penduduk dusun pun bertanya-tanya mengenai kehamilan ibu suri itu.
“Bagaimana si ibu suri yang sudah tua itu bisa hamil? Bukankah sang suami ya sudah meninggal dunia?” kata seorang penduduk. “Wah, jangan-jangan dia telah berbuat tidak senonoh di dusun ini,” sahut seorang warga lainnya.
Demikian, ibu suri setiap hari menjadi bahan pembicaraan para penduduk.
Pada suatu malam, ibu suri itu berteriak-teriak meminta tolong karena mengalami sakit perut yang luar biasa.
Mendengar teriakan itu, para warga pun berdatangan hendak menolongnya.
Namun, baru saja sampai di depan gubuk ibu suri itu, mereka mendengar suara tangis bayi. Alangkah terkejutnya mereka ketika masuk ke dalam gubuk.
Ternyata ibu suri itu telah mendapati bayinya seorang anak yang bentuk dan kulitnya seperti katak. “Hei, Ibu Suri! Bagaimana hal ini bisa terjadi?” tanya seorang warga heran.
“Iya. Apakah kamu telah berhubungan badan dengan katak?” tanya warga lainnya dengan nada mengejek.
Ibu suri itu pun menceritakan semua kejadian yang telah dialaminya hingga ia bisa melahirkan anak berbentuk seekor katak.
Setelah mendengar penuturan si ibu suri itu, para warga pun kembali ke rumah masing-masing.
Sementara sang ibu suri pun tetap menerima kenyataan dengan perasaan suka-cita. Ia sadar bahwa kenyataan yang dialaminya adalah permintaannya sendiri. Ia pun merawat dan membesarkan bayinya dengan penuh kasih sayang.
Waktu terus berjalan. Anak yang mirip katak itu tumbuh menjadi dewasa. Penduduk dusun memanggilnya si Bujang Katak.
Ia adalah pemuda yang rajin. Sejak kecil ia tidak pernah pergi ke mana-mana, kecuali membantu ibu suri bekerja di ladang, sehingga ia tidak mengetahui situasi dan kehidupan di sekelilingnya.
Ibu suri pun tidak pernah bercerita kepadanya. Pada suatu hari, Bujang Katak meminta ibu suri agar bercerita kepadanya tentang keadaan yang sebenarnya di negeri ini.
“Anakku, ketahuilah! Negeri ini diperintah oleh seorang raja yang mempunyai tujuh putri yang cantik dan rupawan.
Ketujuh putri raja tersebut belum seorang pun yang menikah,” cerita sang Ibu Suri. Sejak mendengar cerita ibu suri itu, Bujang Katak selalu tampak murung membayangkan kecantikan ketujuh putri sang Raja.
Dalam hatinya, ia ingin sekali mempersunting salah seorang dari mereka. Namun, ia tidak berani mengungkapkan perasaan tersebut kepada ibu suri, takut ditolak.
Pada suatu sore, sang Ibu Suri melihatnya sedang duduk termenung seorang diri di depan gubuknya.
“Apa yang sedang kamu pikirkan, Anakku? Apakah ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu?” tanya sang Ibu Suri sembari duduk di samping anaknya. “Benar, Bu!” jawab Bujang Katak singkat.
“Apakah itu, Anakku? Katakanlah!” desak ibu suri. “Bu, bukankah aku sekarang sudah dewasa? Aku ingin mempunyai seorang pendamping hidup. Sudikah Ibu meminang salah seorang putri raja untukku?” pinta Bujang Katak.
Betapa terkejutnya sang Ibu Suri mendengar permintaan anaknya itu. Baginya, permintaan itu sangatlah berat.
“Sungguh berat permintaanmu itu, Anakku! Kita ini orang miskin. Mustahil dari tujuh putri raja tersebut ada yang mau menikah denganmu, apalagi melihat kondisimu seperti ini,” ujar sang Ibu.
“Tapi, Bu! Sebaiknya Ibu mencobanya dulu. Siapa tahu salah seorang di antara mereka ada yang mau menerima lamaranku,” desak Bujang Katak.
Oleh karena sebegitu sayangnya kepada si Bujang Katak, sang Ibu Suri pun menyanggupi permintaan itu.
Keesokan harinya, berangkatlah sang Ibu seorang diri ke istana hendak melamar salah seorang putri raja. Sesampainya di istana, ia pun disambut dengan baik oleh sang Raja.
“Hai, Perempuan Tua! Kamu siapa dan apa maksud kedatanganmu kemari?” tanya sang Raja.
Namun karena tidak berani berkata terus terang, Ibu suri Bujang Katak menjawabnya dengan pantun. “Te... sekate menjadi gelang. Pe... setempe nek madeh pesan urang.”
Sang Raja yang mengerti maksud pantun itu kembali bertanya kepada ibu suri Bujang Katak itu.
“Apakah engkau ingin meminang salah seorang putriku?” “Be... be... benar, Baginda! Hamba mohon ampun atas kelancangan hamba. Kedatangan hamba kemari ingin menyampaikan pinangan putra hamba yang bernama Bujang Katak kepada salah seorang putri Baginda,” jawab ibu suri itu gugup.
“Ooo, begitu! Baiklah, aku akan menanyakan dulu hal ini kepada ketujuh putriku,” kata sang Raja. Sang Raja pun segera memanggil ketujuh putrinya untuk menghadap.
Setelah mengetahui maksud kedatangan Ibu Suri Bujang Katak itu, para putri Raja bukannya memberikan jawaban dengan kata-kata sopan, melainkan memperlakukan ibu suri itu dengan tindakan kasar.
Satu per satu mereka maju meludahi kepala perempuan tua sang ibu suri itu. Hanya Putri Bungsu yang tidak melakukan hal itu.
Hatinya tidak tega melihat kakak-kakaknya berlaku kasar kepada ibu suri itu.
Namun, ia juga tidak berani mengatakan bahwa ia sebenarnya bersedia menerima pinangan tersebut, karena takut kepada sang Raja.
Ibu Suri Bujang Katak pun pulang dengan perasaan sedih.
Sesampainya di gubuk, ia segera menceritakan semua kejadian yang dialaminya di istana kepada Bujang Katak.
Mendengar cerita ibu surinya tersebut, Bujang Katak merasa yakin bahwa Putri Bungsu sebenarnya bersedia menerima pinangannya.
“Besok Ibu Suri harus kembali ke istana untuk menemaniku menghadap sang Raja. Aku yakin Putri Bungsu akan menerima pinanganku, karena dialah satu-satunya yang tidak meludahi kepala Ibu,” kata Bujang Katak dengan nada sedikit memaksa.
Keesokan harinya, Bujang Katak bersama ibu surinya berangkat ke istana.
Alangkah terkejutnya sang Raja saat melihat Bujang Katak yang datang bersama ibu surinya itu. “Hei, ibu suri! Apakah ini anakmu yang bernama Bujang Katak itu?” tanya sang Raja.
“Benar, Baginda,” jawab ibu suri Bujang Katak. “Ha... ha..., pantas saja ia dinamakan Bujang Katak! Bentuknya mirip seperti katak,” ucap sang Raja mengejek.
Setelah itu, sang Raja pun segera memanggil ketujuh putrinya dan menanyakan apakah mereka bersedia menikah dengan si manusia katak.
Namun, dengan sombongnya, para putri Raja satu per satu meludahi kepala Bujang Katak, kecuali si Putri Bungsu.
Melihat sikap putri bungsunya itu, sang Raja pun bertanya kepadanya. “Hei, Putriku! Kenapa kamu diam saja? Apakah kamu bersedia menikah dengan manusia katak itu?”
“Ampun, Ayahanda! Jika Ayahanda merestui, Ananda bersedia menjadi istri Bujang Katak,” jawab Putri Bungsu.
Alangkah terkejutnya sang Raja mendengar jawaban putrinya itu. Ia pun segera meminta nasehat kepada menteri penasehat Raja. Rupanya, menteri penasehat Raja setuju jika Putri Bungsu menikah dengan Bujang Katak.
“Baiklah, manusia katak! Kamu boleh menikah dengan putriku, asalkan sanggup memenuhi satu syarat,” kata sang Raja. “Apakah syarat itu, Baginda?” tanya Bujang Katak penasaran.
“Kamu harus membuat jembatan emas yang panjangnya mulai dari gubukmu sampai pintu gerbang istana ini. Apakah kamu sanggup menerima syaratku ini?” tanya sang Raja.
`Hamba sanggup, Baginda!” jawab Bujang Katak. “Tapi, ingat! Jembatan emas itu harus terwujud dalam waktu satu minggu. Jika tidak, maka hukuman mati yang akan kamu dapatkan,” ancam sang Raja.
Bujang Katak pun tidak gentar terhadap ancaman sang Raja. Dengan perasaan gembira, ia bersama ibu surinya segera kembali ke gubuknya.
Sesampainya di gubuk, sang Ibu kebingungan memikirkan cara untuk memenuhi permintaan sang Raja tersebut. Ia tidak ingin kehilangan anak yang sangat disayanginya itu. “Anakku! Bagaimana kita dapat mewujudkan permintaan Raja, sementara kita ini orang miskin?” tanya sang Ibu suri bingung.
“Tenang, Bu! Aku akan pergi bertapa di suatu tempat yang sepi. Jika Yang Mahakuasa menghendaki, apapun bisa terjadi,” jawab Bujang Katak dengan penuh keyakinan.
Pada saat hari mulai gelap, Bujang Katak ditemani ibu surinya pergi ke suatu tempat yang sepi di tengah hutan untuk bertapa. Sudah enam hari enam malam ia dan ibu surinya bertapa, namun belum juga menemukan tanda-tanda akan datangnya keajaiban.
Pada malam ketujuh, keajaiban itu pun tiba. Seluruh tubuh Bujang Katak memancarkan sinar berwarna kekuning-kuningan.
Kulit katak yang menyelimuti seluruh tubuhnya sedikit demi sedikit mengelupas.
Secara ajaib, Bujang Katak pun berubah menjadi pemuda yang tampan dan gagah. Kemudian ia membakar kulit katak pembalut tubuhnya itu.
Maka seketika itu pula, kulit katak tersebut menjelma menjadi tumpukan emas batangan.
Dengan perasaan gembira, Bujang Katak bersama ibu surinya segera menyusun emas batangan tersebut dari gubuknya hingga pintu gerbang istana.
Dalam waktu semalam, terwujudlah sebuah jembatan emas seperti yang diminta oleh sang Raja.
Keesokan harinya, istana menjadi gempar. Sang Raja beserta seluruh keluarga istana yang mengetahui keberadaan jembatan emas itu segera berlari menuju ke arah pintu gerbang istana.
Sang Raja sangat kagum melihat keindahan jembatan emas itu.
Batangan-batangan emas yang diterpa sinar matahari pagi tersebut memancarkan sinar kekuning-kuningan.
Beberapa saat kemudian, dari kejauhan tampak sang ibu suri berjalan beriringan dengan seorang pemuda tampan dan gagah sedang menuju ke arah tempat mereka berdiri.
“Hei, Pengawal! Siapa kedua orang itu?” tanya sang Raja kepada pengawalnya. “Ampun, Baginda! Bukankah itu si ibu suri, ibunya Bujang Katak?
Tapi, Baginda, hamba tidak mengenal siapa pemuda yang sedang berjalan bersamanya itu,” jawab seorang pengawal.
Ketika perempuan tua dan pemuda itu sampai di depannya, sang Raja pun segera bertanya, “Hei, ibu suri! Siapa pemuda itu?”
“Dia Bujang Katak, putra hamba,” jawab ibu suri itu lalu menceritakan semua peristiwa yang dialami Bujang Katak hingga ia bisa berubah menjadi pemuda yang tampan.
Bujang Katak pun segera berlutut memberi hormat kepada sang Raja.
“Ampun, Baginda! Hamba ini Bujang Katak,” kata Bujang Katak. Betapa terkejutnya sang Raja beserta seluruh keluarga istana.
Mereka benar-benar tidak pernah mengira sebelumnya, jika Bujang Katak adalah seorang pemuda yang gagah dan tampan.
“Baiklah, Bujang Katak! Karena kamu telah memenuhi persyaratanku, maka sesuai dengan janjiku, aku akan menikahkanmu dengan putri bungsuku,” kata sang Raja.
Beberapa hari kemudian, pesta pernikahan Bujang Katak dengan Putri Bungsu dilangsungkan selama tujuh hari tujuh malam.
Para undangan yang datang dari penjuru negeri turut gembira dan bahagia menyaksikan pesta pernikahan tersebut.
Namun, lain halnya dengan keenam kakak Putri Bungsu, mereka sangat sedih dan menyesal karena telah menolak pinangan Bujang Katak.
Usai pesta perkawinan tersebut, keenam kakak Putri Bungsu memerintahkan kepada seorang pengawal istana untuk pergi menangkap katak di sawah.
Mereka mengira bahwa Bujang Katak berasal dari katak biasa yang hidup di sawah. Tidak berapa lama, pengawal itu pun kembali dari sawah sambil membawa enam ekor katak.
Setiap putri mendapat seekor katak, lalu membawanya masuk ke dalam kamar masing-masing dan memasukkannya ke dalam lemari dengan harapan katak-katak tersebut akan menjelma menjadi seorang pemuda tampan seperti Bujang Katak.
Tujuh hari kemudian, keenam putri tersebut membuka lemari masing-masing.
Namun malang nasib mereka, katak-katak tersebut bukannya menjelma menjadi pemuda tampan, melainkan mati dan sudah berulat karena tidak diberi makan.
Bau busuk pun menyebar ke mana-mana. Keenam putri tersebut keluar dari kamarnya sambil muntah-muntah. Akhirnya seisi istana menjadi gempar. Seluruh penghuni istana turut muntah-muntah karena mencium bau busuk itu.
Sang Raja pun menjadi murka melihat perbuatan keenam putrinya tersebut dan memberi hukuman kepada mereka, yaitu memerintahkan mereka untuk membersihkan kamar masing-masing dari bau busuk itu. Bujang Katak dan Putri Bungsu pun hanya tersenyum melihat kelakuan keenam kakaknya tersebut.
Beberapa tahun kemudian. Sang Raja sudah tidak mampu lagi menjalankan tugas-tugas kerajaan karena usianya yang sudah semakian tua.
Akhirnya, ia pun mengundurkan diri dan menobatkan Bujang Katak sebagai Raja. Bujang Katak bersama istrinya memimpin negeri itu dengan arif dan bijaksana.
Demikian cerita Bujang Katak dari daerah Bangka, Provinsi Bangka-Belitung (Babel), Indonesia. Cerita di atas termasuk kategori dongeng yang mengandung pesan-pesan moral yang dapat dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari.
Setidaknya ada dua pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas yaitu, keburukan sifat suka memandang rendah orang lain dan suka bertindak bodoh.
Pertama, sifat suka memandang rendah orang lain. Sifat ini tercermin pada sikap dan perilaku keenam putri Raja yang memandang rendah Bujang Katak dengan meludahi kepalanya.
Dalam kehidupan orang Melayu, sifat ini sangatlah tercela. Dikatakan dalam tunjuk ajar Melayu: “kalau suka merendahkan orang, kalau tak menjadi abu, menjadi arang.” Kedua, keburukan sifat suka bertindak bodoh. Sifat ini tercermin pada sikap dan perilaku keenam putri Raja.
Mereka menyimpan katak di dalam kamar masing-masing, karena mengira katak-katak tersebut akan berubah menjadi seorang pemuda tampan seperti Bujang Katak.
Akibatnya, mereka mendapat hukuman dari sang Raja karena menyebabkan istana berbau bangkai katak. (*)
Tulis Komentar