Hasil Survei FICO: Separuh Rakyat Indonesia Gelembungkan Pendapatan Saat Ajukan Kredit
Uwrite.id - FICO, perusahaan penyedia perangkat lunak analitik global, baru-baru ini mengungkapkan hasil survei terbarunya yang mengejutkan. Survei tersebut menunjukkan bahwa hampir sebagian masyarakat Indonesia rela melakukan tindakan penipuan untuk mendapatkan pinjaman (kredit) atau mengajukan klaim asuransi.
Survei yang dilakukan pada akhir 2022 ini melibatkan 1.000 responden di 14 negara, termasuk Indonesia, Amerika Serikat, Kanada, Brasil, Meksiko, Kolombia, Peru, Malaysia, Thailand, Filipina, Afrika Selatan, Jerman, Inggris, dan Swedia. Hasil survei ini mengungkapkan bahwa hampir sebagian besar penduduk Indonesia merasa tidak keberatan untuk memperbesar-besarkan jumlah pendapatannya saat mengajukan pinjaman atau klaim asuransi.
CK Leo, pimpinan FICO untuk penipuan, keamanan, dan kejahatan keuangan di Asia Pasifik, mengungkapkan kegelisahannya terhadap temuan ini. Leo menduga bahwa biaya hidup yang semakin tinggi di Indonesia telah mendorong banyak orang untuk mempertimbangkan informasi pemalsuan sebagai cara untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Dalam survei tersebut, sekitar 25 persen responden menyatakan bahwa mereka tidak keberatan untuk melebih-lebihkan pendapatan mereka dalam aplikasi pinjaman atau hipotek, sementara 15 persen menganggap hal itu sebagai sesuatu yang normal. Survei ini juga mengungkapkan bahwa sejumlah responden cenderung membesar-besarkan klaim asuransi atau menambahkan item yang sebenarnya tidak ada dalam klaim mereka.
Leo menekankan adanya strategi pencegahan untuk melindungi pelanggan dan keuntungan perusahaan. Dengan hampir sebagian penduduk Indonesia yang bersedia melakukan penipuan demi keuntungan finansial, Leo menawarkan pemberi pinjaman dan lembaga keuangan untuk meningkatkan keamanan mereka.
“Temuan kami menggarisbawahi pentingnya strategi pencegahan penipuan yang kuat dalam menjaga kepentingan pelanggan dan memperkuat keuntungan,” kata Leo, dikutip dari Tempo, Sabtu 33 Juni 22023.
Leo juga mengungkapkan bahwa temuan serupa terjadi di negara-negara tetangga di Asia Tenggara seperti Thailand dan Filipina, di mana sekitar 50 persen penduduknya juga melakukan penipuan serupa. Bahkan, di Malaysia lebih dari 60 persen responden menyatakan bahwa perilaku tersebut dianggap sebagai sesuatu yang normal.
Pemberian informasi palsu pada aplikasi atau klaim adalah tindakan ilegal, tetapi banyak pelanggan mungkin tidak menyadari hal tersebut. Leo menekankan bahwa lembaga keuangan harus meningkatkan kemampuan mereka dalam mengidentifikasi informasi yang berlebihan sehingga lembaga keuangan dapat secara proaktif melindungi diri dari kerugian yang disebabkan oleh gagal bayar pelanggan.
"Dengan demikian, mereka juga dapat mendukung pelanggan dalam menghindari hasil yang disesalkan,” ucapnya.
FICO merekomendasikan penggunaan data dan analitik secara maksimal untuk mendorong perlindungan dari penipuan. Institusi keuangan sering kali memiliki data yang dapat membedakan antara aplikasi penipuan dan aplikasi yang sah, namun seringkali tim keamanan tidak dapat memanfaatkan data ini karena aksesnya yang terbatas. Hal ini mengakibatkan perlindungan penipuan yang tidak memadai dan membahayakan pengalaman pelanggan.
Bank meminta pelanggan memeriksa identitas yang sulit akan memakan waktu. Hal itu mengakibatkan peningkatan biaya dan duplikasi sehingga menyebabkan frustrasi bagi pelanggan.
Dalam industri perbankan yang sangat kompetitif, strategi perlindungan dari penipuan yang efektif terbukti mahal. Oleh karena itu, lembaga keuangan di Indonesia perlu segera mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk mengatasi masalah ini demi menjaga integritas industri perbankan dan melindungi kepentingan pelanggan.
Tulis Komentar