Haidar Alwi Tawarkan Tiga Solusi Konkret Agar Zero ODOL Tidak Menyengsarakan Rakyat Kecil .

Peristiwa | 20 Jun 2025 | 21:24 WIB
Haidar Alwi Tawarkan Tiga Solusi Konkret Agar Zero ODOL Tidak Menyengsarakan Rakyat Kecil .

Haidar Alwi Tawarkan Tiga Solusi Konkret Agar Zero ODOL Tidak Menyengsarakan Rakyat Kecil

 _Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk melemahkan kebijakan Presiden Prabowo Subianto maupun Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo, melainkan sebagai bentuk tanggung jawab moral dan cinta tanah air. Haidar Alwi Care hadir sebagai mitra kritis dan sahabat kebijakan publik, yang konsisten mengingatkan pemerintah agar keberpihakan terhadap rakyat kecil selalu menjadi fondasi dalam setiap langkah nasional. Kebijakan sebesar Zero ODOL hanya akan efektif jika dijalankan dengan keadilan sosial dan empati kepada mereka yang paling terdampak._ 

R. Haidar Alwi, pendiri Haidar Alwi Care dan Haidar Alwi Institute, kembali menyuarakan kepeduliannya terhadap nasib rakyat kecil dalam pusaran kebijakan nasional. Kali ini, Haidar Alwi menyoroti kebijakan Zero ODOL (Over Dimension Over Loading) yang tengah menuai protes besar-besaran dari sopir truk di berbagai daerah. Menurut Haidar Alwi, kebijakan ini pada dasarnya baik dari sisi keselamatan dan perlindungan infrastruktur, tetapi gagal total dari sisi keadilan sosial. Ia menyebut, “Kalau hukum ditegakkan tanpa keadilan, maka rakyat akan merasa dizalimi oleh aturan yang tidak berpihak.”

Dalam pernyataan tertulisnya, Haidar Alwi menjelaskan duduk perkara Zero ODOL secara rinci dan memberikan analisa menyeluruh terhadap dampaknya, termasuk bagaimana solusi bijak harus ditawarkan oleh pemerintah jika ingin aturan ini tetap berjalan tanpa menghancurkan sendi-sendi ekonomi rakyat kecil.

 

Kebaikan Hukum Tanpa Keadilan Sosial.

Zero ODOL adalah kebijakan nasional yang bertujuan menghapus praktik pelanggaran dimensi dan beban kendaraan barang di jalan raya. Secara hukum, ini telah tertuang dalam UU No. 22 Tahun 2009 Pasal 277 dan 307, yang menyasar kendaraan yang melampaui ukuran maupun beban maksimal yang diperbolehkan. Secara teknis, tujuannya sangat masuk akal: mengurangi angka kecelakaan, menjaga umur jalan nasional, dan menciptakan ekosistem transportasi yang aman.

Namun menurut Haidar Alwi, pemerintah hanya fokus pada aspek legal dan teknis, sementara aspek sosial, yakni nasib jutaan sopir truk rakyat kecil, diabaikan. “Sopir truk bukan pembuat kebijakan, bukan pemilik karoseri, dan bukan pengendali harga logistik. Tapi mereka yang pertama ditindak, ditilang, bahkan terancam pidana,” ujarnya.

Haidar Alwi menegaskan bahwa ketimpangan ini merupakan bentuk ketidakadilan struktural. Banyak truk yang over dimension justru sudah keluar dari karoseri dalam kondisi tidak sesuai uji tipe, tetapi pemilik modal dan pembuat karoseri lolos dari jerat hukum. Yang ditangkap dan diproses adalah sopir, rakyat kecil yang hanya bekerja untuk menghidupi keluarganya.

Ia menambahkan bahwa hukum yang tidak memahami akar masalah sosial hanya akan menjadi alat penindas. “Hukum itu harus memanusiakan manusia. Kalau rakyat kecil dihukum karena kesalahan sistemik yang tidak mereka ciptakan, maka negara sedang gagal memahami siapa yang paling perlu dilindungi.”

 

*Demo Sopir: Gejala Frustasi Kolektif.*

Gelombang protes sopir truk di berbagai daerah, mulai dari Surabaya, Banjarnegara, Temanggung, hingga Kebumen dan Bandung, bukan hanya menolak Zero ODOL. Mereka sedang menunjukkan rasa kecewa yang sudah lama dipendam. Selain sanksi ODOL, sopir juga menuntut penghapusan pungutan liar, penindakan preman jalanan, perlakuan hukum yang adil, serta revisi sistem tarif angkut logistik yang tidak berpihak kepada mereka.

Haidar Alwi menyebut fenomena ini sebagai "frustasi kolektif akibat ketimpangan struktural yang menahun." Menurut Haidar Alwi, para sopir berada dalam posisi tidak berdaya: mereka tidak bisa menolak muatan dari pengusaha, tidak bisa menawar harga, tidak bisa mengubah karoseri, tetapi justru menjadi pihak yang dihukum paling keras saat negara menertibkan sistem.

“Demo ini adalah sinyal bahwa negara harus memperbaiki cara pandang terhadap rakyat kecil. Jangan hanya fokus pada target bebas ODOL 2025, tapi juga pastikan bahwa dalam prosesnya, tidak ada perut rakyat yang dikorbankan,” tegas Haidar Alwi.

Ia juga menyoroti dampak lanjutan dari demo sopir, seperti naiknya harga sayur, buah, dan bahan pokok akibat gangguan distribusi. Haidar Alwi menilai bahwa pemerintah tidak boleh menutup mata terhadap efek ekonomi mikro yang bisa menjalar ke krisis pangan dan ketimpangan harga.

 

Solusi Bijak: Bertahap, Adil, dan Manusiawi.

*Haidar Alwi menawarkan tiga solusi konkret menyelamatkan tujuan Zero ODOL tanpa menyengsarakan rakyat kecil:*

1. Amnesti Transportasi Rakyat Kecil

Negara harus memberikan masa transisi legal berupa amnesti atau penundaan penindakan bagi truk hasil bumi, material desa, dan angkutan logistik mikro. Prioritaskan pembinaan, bukan penghukuman. Petani, buruh, dan sopir bukan musuh hukum.

 

2. Reformasi Karoseri dan Tarif Logistik Nasional

Lakukan audit nasional terhadap karoseri dan buat regulasi ketat agar mereka tidak lagi memproduksi truk over-dimensi. Bersamaan dengan itu, susun sistem tarif logistik nasional yang adil dan transparan agar sopir tidak dibayar berdasarkan tonase semata.

 

3. Undang-Undang Perlindungan Sopir Rakyat

Haidar Alwi mendorong DPR dan Presiden untuk merancang regulasi perlindungan terhadap sopir rakyat. Ini bisa berupa revisi pasal-pasal ODOL yang memberikan pembedaan antara pelanggar sistemik dan sopir korban. Negara tidak boleh mempidanakan orang miskin hanya karena ia bekerja di sistem yang rusak.

 

Tegakkan Hukum, Tapi Jangan Bakar Rakyat.

Haidar Alwi menegaskan bahwa dirinya bukan menolak penegakan hukum, melainkan mendorong negara agar menegakkan hukum dengan hati nurani. “Hukum dan keadilan tidak selalu berjalan seiring. Negara yang besar adalah negara yang bisa memadukan keduanya. Jangan korbankan rakyat kecil demi pencitraan kebijakan,” ujarnya.

Zero ODOL adalah tujuan mulia. Tetapi jika penerapannya tanpa empati, tanpa transisi, dan tanpa keberpihakan pada rakyat kecil, maka negara sedang mengulang sejarah penindasan dalam bentuk baru: hukum sebagai alat kekuasaan, bukan perlindungan.

“Percepat reformasi, bukan sekadar operasi. Dengarkan rakyat, bukan hanya statistik,” pungkas Haidar Alwi.

 

 Artikel ini ditulis oleh Tim Media Haidar Alwi Care berdasarkan pernyataan, analisa, dan solusi dari R. Haidar Alwi.

Menulis di Uwrite bisa dapat penghasilan, Investasikan tulisan anda sekarang juga
Daftar di sini

Jika anda keberatan dan memiliki bukti atau alasan yang kuat bahwa artikel berita ini tidak sesuai dengan fakta, anda dapat melakukan pengaduan pada tautan ini

Tulis Komentar