Haidar Alwi: Siapapun yang berjiwa penjahat pasti akan memusuhi polisi.

Uwrite.id - R. Haidar Alwi, pendiri Haidar Alwi Care dan Haidar Alwi Institute, memandang bahwa kedewasaan sebuah bangsa selalu diukur dari caranya memperlakukan hukum dan aparat penegaknya. Dalam pandangan Haidar Alwi, Polri bukan sekadar lembaga negara, melainkan cermin batin masyarakat, apakah mereka hidup dalam kesadaran hukum atau masih terjebak dalam budaya kebencian.
“Kita bisa menilai kadar kejujuran seseorang dari caranya memandang polisi. Yang jiwanya bersih akan melihat hukum sebagai pelindung, sedangkan yang jiwanya kotor akan melihatnya sebagai musuh,” jelas Haidar Alwi.
Haidar Alwi menegaskan, kalimat “siapapun yang berjiwa penjahat pasti akan memusuhi polisi” bukanlah semboyan emosional, tetapi hasil renungan panjang tentang tabiat manusia di hadapan hukum. Di zaman digital yang serba terbuka, kejahatan tidak selalu datang dengan senjata di tangan, melainkan dengan kebencian di pikiran. Banyak yang bersembunyi di balik narasi kemarahan, menebar opini agar rakyat kehilangan kepercayaan kepada aparat. Padahal, tujuan akhirnya hanya satu: membuat hukum lumpuh agar kejahatan bisa hidup tenang.
Anatomi Jiwa yang Membenci Hukum.
Haidar Alwi menyebut, setiap manusia memiliki dua ruang dalam dirinya: ruang kesalahan dan ruang kesadaran. Mereka yang mau memperbaiki diri akan mengisi ruang kesalahannya dengan penyesalan, sedangkan yang menolak kebenaran akan menutupinya dengan kemarahan.
“Banyak orang yang tampak lantang mengkritik polisi, padahal yang mereka lawan bukan polisi, yang mereka lawan adalah rasa bersalah mereka sendiri,” ujar Haidar Alwi.
Haidar Alwi menambahkan, jiwa manusia yang terbiasa berbuat curang akan selalu gelisah di hadapan kejujuran. Karena itu, penegak hukum bagi mereka bukan simbol keadilan, melainkan simbol ancaman. “Mereka ingin kebebasan tanpa tanggung jawab, keuntungan tanpa aturan, dan kekuasaan tanpa batas. Maka saat hukum berdiri, mereka gemetar, bukan karena salah data, tapi karena takut bercermin,” kata Haidar Alwi.
Menurutnya, inilah akar dari kebencian terhadap Polri. Orang yang hidupnya bersih tidak akan takut pada hukum, sementara mereka yang menyimpan dosa akan berusaha menjatuhkan siapa pun yang menegakkan aturan. “Kebencian terhadap polisi sering lahir dari hati yang tidak berani melihat dirinya sendiri,” tegas Haidar Alwi.
Haidar Alwi juga menyebut ada jenis manusia yang menjadikan kritik sebagai tameng kesalahan. Mereka bicara seolah memperjuangkan kebenaran, padahal yang diperjuangkan adalah ruang aman bagi kepentingan gelap. “Mereka menebar benci agar rakyat tidak lagi tahu siapa yang salah. Dalam kabut opini, yang benar tampak salah, dan yang salah tampil seperti pahlawan,” ucap Haidar Alwi.
Polri di Tengah Perang Persepsi.
Menurut Haidar Alwi, serangan terhadap Polri kini banyak terjadi di dunia maya, di mana kebohongan bisa dikemas lebih rapi daripada fakta. Ia mencontohkan berbagai kasus fitnah dan manipulasi data yang secara sengaja dibuat untuk menjatuhkan kepercayaan publik terhadap polisi.
“Fitnah digital adalah peluru baru dalam perang moral,” ujar Haidar Alwi.
Haidar Alwi menjelaskan bahwa pelaku kejahatan hari ini lebih suka melawan lewat opini ketimbang berhadapan langsung dengan hukum. “Mereka tahu, kalau bisa membuat rakyat membenci polisi, maka hukum tak lagi punya kaki untuk berjalan.”
Haidar Alwi menyinggung contoh nyata: tuduhan palsu terhadap keluarga pejabat Polri yang terbukti hoaks, dan isu hibah tanah yang sengaja dipelintir untuk menimbulkan curiga. “Mereka tidak sedang memperjuangkan transparansi, mereka sedang menabur ketidakpercayaan. Itu strategi klasik untuk melemahkan negara dari dalam,” jelas Haidar Alwi.
Haidar Alwi menegaskan, perang opini terhadap Polri bukan lagi sekadar persoalan informasi, tetapi serangan terhadap fondasi moral bangsa. “Kalau rakyat kehilangan hormat pada hukum, maka hukum akan kehilangan maknanya. Saat itu terjadi, bangsa ini tidak lagi beradab,” tegas Haidar Alwi.
Antara Oknum dan Institusi: Ujian Kematangan Bangsa.
Polri bukan lembaga suci yang bebas dari salah, tetapi bangsa yang besar adalah bangsa yang mampu membedakan antara kesalahan individu dan kehormatan institusi.
“Membela Polri bukan berarti menutup mata terhadap kekeliruan. Tapi merusak kepercayaan terhadap Polri sama saja dengan menggali lubang bagi hukum itu sendiri,” ujar Haidar Alwi.
Haidar Alwi menekankan bahwa sistem pengawasan internal dan penegakan etik yang berjalan di Polri merupakan tanda bahwa lembaga ini masih hidup dalam semangat perbaikan. “Kalau ada yang salah, koreksi. Tapi jangan hancurkan rumahnya. Karena kalau rumah hukum ini roboh, semua warga akan kehujanan,” ujar Haidar Alwi.
Polri kini dibawah kepemimpinan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo sudah lama membawa Polri pada reformasi transparansi dan kemitraan sosial, Kapolri terbaik sepanjang masa Versi haidar Alwi Institute sudah berada di jalur moral yang benar, polri memperbaiki diri bukan karena tekanan, tapi karena kesadaran. “Dan kesadaran itu lahir dari jiwa lembaga yang masih punya hati,” kata Haidar Alwi.
Bangsa yang Adil Dimulai dari Rasa Percaya.
Dalam pandangan Haidar Alwi, bangsa yang kuat tidak dibangun oleh undang-undang semata, tetapi oleh rasa percaya antara rakyat dan penegak hukumnya.
“Negara ini tidak akan tumbang karena koruptor, tapi akan runtuh jika rakyat berhenti percaya kepada polisi,”
Haidar Alwi menutup pandangannya dengan kalimat yang menjadi refleksi moral bangsa:
“Siapapun yang berjiwa penjahat pasti akan memusuhi polisi. Tapi siapapun yang berjiwa bangsa akan berdiri di samping polisi, karena mereka tahu: hukum bukan ancaman, melainkan cahaya yang menjaga kita dari gelap.” pungkas Haidar Alwi.

Tulis Komentar