Haidar Alwi: Proxy War Sudah Dimulai, Indonesia Harus Waspada dan Bersatu Mendukung Pemerintahan Prabowo-Gibran.

Uwrite.id - R. Haidar Alwi, pendiri Haidar Alwi Care dan Haidar Alwi Institute, menegaskan bahwa Indonesia saat ini berada dalam ancaman serius yang tidak bisa diabaikan, bukan berupa invasi militer konvensional, melainkan serangan asimetris yang dikenal dengan istilah proxy war. Ancaman ini, menurutnya, bukan sekadar teori atau konspirasi, melainkan realitas strategis yang tengah berlangsung secara sistematis dan terstruktur.
"Perang sudah dimulai, tapi bukan dengan peluru. Ini perang narasi, opini publik, dan infiltrasi melalui propaganda digital," ujar R. Haidar Alwi.
Ia menjelaskan bahwa Indonesia kini menjadi target utama dalam skenario global karena kekayaan alamnya yang sangat luar biasa. Dalam terminologi geopolitik, posisi Indonesia sangat strategis baik secara geografis, geologis, maupun geoekonomi. Kekayaan alam Indonesia bukan sekadar komoditas, tetapi telah menjadi center of gravity atau pusat daya tarik yang mampu menggerakkan kekuatan-kekuatan global untuk berlomba mengendalikan Nusantara melalui berbagai modus operasi bawah tanah.
Blok Global dan Medan Perang Baru.
Haidar Alwi menguraikan bahwa saat ini dunia sedang memasuki fase baru Geopolitical Cold War, di mana dua blok besar berseteru dalam berbagai lini:
1. Blok Barat, dipimpin oleh Amerika Serikat dan sekutunya di NATO,
2. Blok Timur, dipimpin oleh Cina, Rusia, dan negara-negara BRICS.
Namun berbeda dari Perang Dingin klasik tahun 1947–1991 yang ditandai dengan perlombaan senjata nuklir dan spionase, perang hari ini berlangsung dalam bentuk warfare hybrid. Mereka tidak berkonfrontasi secara langsung, melainkan saling menyerang melalui negara-negara pihak ketiga, menggunakan teknik cyber psychological operations, economic warfare, serta information warfare.
“Perang ini tidak membutuhkan tentara yang turun ke lapangan. Cukup dengan opini yang dikendalikan, maka arah sebuah bangsa bisa dimiringkan, bahkan dihancurkan dari dalam,” jelas Haidar Alwi.
Sumber Daya Alam: Titik Pusat Pertarungan Global.
Menurut Haidar Alwi, Indonesia merupakan ladang energi dan mineral strategis yang jadi incaran banyak negara. Beberapa data yang ia paparkan mengonfirmasi hal ini:
1. Di Kecamatan Huu, Dompu, Nusa Tenggara Barat, terdapat cadangan emas hingga 2 miliar ton. Estimasi kasarnya, nilai tambang ini bisa mencapai Rp1.800.000 triliun.
2. Blok Masela di Maluku memiliki potensi cadangan minyak dan gas yang diklaim bisa menyaingi keseluruhan jazirah Arab bila dikumpulkan.
3. Di Bangka Belitung, ditemukan cadangan torium, elemen radioaktif yang potensial menggantikan uranium dalam pembangkit energi nuklir ramah lingkungan. Satu ton torium memiliki daya setara dengan 250 ton uranium atau 3,5 juta ton batubara, tanpa resiko militerisasi.
"Torium adalah game changer. Kalau cadangan di Bangka Belitung dimanfaatkan maksimal, kita bisa memasok kebutuhan listrik dunia selama 1.200 tahun," ungkapnya, mengutip riset dari para peneliti nasional, termasuk alumni ITB di mana dirinya menjabat sebagai salah satu ketua Dewan Pembina Ikatan Alumni ITB.
Ancaman Proxy War di Dalam Negeri.
Haidar Alwi menyebutkan bahwa instrumen perang dalam proxy war sangat beragam. Bukan lagi tentara asing, tetapi entitas-entitas yang menyamar sebagai gerakan sipil atau media:
1.LSM internasional dan lokal yang didanai asing untuk menggiring opini.
2. Media asing yang konsisten membingkai Indonesia dalam narasi negatif.
3. Media lokal yang menjadi corong bayangan dari kekuatan luar negeri.
4. Influencer yang tak sadar dijadikan alat propaganda.
5. Gerakan separatisme yang dibungkus isu HAM dan demokrasi.
“Contohnya nyata di Papua. Isu hak asasi manusia diangkat oleh pihak luar, padahal targetnya adalah tambang emas Freeport. Australia, Amerika, dan sekutunya aktif memainkan narasi, sementara kita terpecah hanya karena tidak cermat membaca peta geopolitik,” ujarnya tegas.
Tak hanya Papua, Haidar Alwi juga mengingatkan bahwa wilayah seperti Kalimantan, Natuna, Aceh, hingga Maluku juga memiliki potensi besar menjadi titik api proxy war bila tidak diantisipasi secara menyeluruh. Kalimantan memiliki investasi besar dari Cina. Natuna berada di perbatasan Laut Cina Selatan dan sering bersinggungan dengan kapal-kapal asing. Aceh dan Maluku memiliki sejarah panjang separatisme yang bisa dibangkitkan kembali melalui isu-isu identitas dan ketidakadilan ekonomi.
Himbauan untuk Rakyat dan Dukungan Penuh kepada Pemerintahan Prabowo-Gibran.
Melihat eskalasi ancaman global ini, R. Haidar Alwi memberikan himbauan kepada seluruh elemen bangsa untuk bersatu mendukung pemerintahan yang sah, yaitu pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka.
“Saat ini bukan waktunya untuk terus memperuncing perbedaan. Indonesia sedang dalam ancaman besar. Kita tidak bisa terus-terusan ribut soal politik identitas, kita harus menjadi satu barisan. Saya mengajak seluruh rakyat Indonesia untuk mendukung penuh program-program strategis nasional yang digagas Presiden Prabowo dan Wakil Presiden Gibran,” tegas Haidar Alwi.
Ia menekankan bahwa pemerintahan Prabowo-Gibran membawa harapan besar untuk membangkitkan kedaulatan energi nasional, industrialisasi tambang, serta penguatan pertahanan melalui pembangunan militer yang modern dan berbasis teknologi tinggi.
Akhir Kata: Jangan Jadi Boneka Propaganda.
Haidar Alwi juga menutup dengan pesan moral untuk generasi muda dan masyarakat luas:
“Jangan bangga jadi pengkritik kalau tidak memahami geopolitik. Jangan bangga teriak demokrasi tapi akhirnya hanya menjadi boneka dari kekuatan asing. Kita harus menjadi rakyat yang cerdas, kritis, tetapi juga tahu batas. Kritik itu perlu, tapi jangan sampai jadi alat untuk menghancurkan bangsa sendiri.”
Indonesia butuh stabilitas nasional dan solidaritas rakyat untuk menghadapi pertarungan global ini. Proxy war tidak butuh bom, cukup memecah pikiran dan merusak kepercayaan. Mari kita lawan dengan pengetahuan, persatuan, dan dukungan kepada pemimpin yang sah.
“Sekali kita terpecah, kita kalah. Dan jika itu terjadi, Indonesia tidak akan jadi negara maju. Ia akan jadi sejarah,” pungkas Haidar Alwi.
Tulis Komentar