Haidar Alwi: Prabowo Subianto, Danantara Dan Misi Mencetak Uang Tanpa Pajak.

Ekonomi | 26 Mar 2025 | 18:55 WIB
Haidar Alwi: Prabowo Subianto, Danantara Dan Misi Mencetak Uang Tanpa Pajak.

Uwrite.id - Haidar Alwi: Prabowo Subianto, Danantara, dan Misi Mencetak Uang Tanpa Pajak.

R Haidar Alwi, pendiri Haidar Alwi Care dan Haidar Alwi Institute, menyoroti langkah besar yang sedang ditempuh pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto melalui proyek Danantara. Ia menilai skema ini sebagai salah satu terobosan yang berani dalam upaya menambah pemasukan negara tanpa membebani masyarakat dengan pajak yang lebih tinggi. Namun, ia juga memperingatkan bahwa tanpa pengawasan ketat dan manajemen yang profesional, proyek ini bisa menjadi bumerang yang berpotensi menimbulkan masalah besar di kemudian hari.

Menurut Haidar Alwi, konsep Danantara sejatinya bertujuan untuk menciptakan mesin pencetak uang bagi negara tanpa harus menekan rakyat dengan kebijakan pajak yang lebih ketat. Dengan cara ini, pemerintah berharap dapat mendukung program pembangunan nasional secara lebih mandiri, tanpa harus terlalu bergantung pada utang luar negeri atau kenaikan pajak yang berisiko memicu keresahan sosial.

Namun, di balik gagasan besar ini, terdapat sejumlah tantangan yang perlu diantisipasi. Salah satu yang paling krusial adalah soal transparansi dan pengawasan. Haidar Alwi menyoroti bahwa kepemilikan Danantara yang hampir sepenuhnya berada dalam kendali internal pemerintah bisa menjadi pedang bermata dua. Meskipun memberikan fleksibilitas dalam pengelolaan aset negara, skema ini juga membuka peluang bagi penyalahgunaan kewenangan dan praktik korupsi.

“Jika proyek sebesar ini tidak diawasi dengan ketat, maka celah untuk praktik korupsi akan semakin besar. Apalagi, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) tidak memiliki kewenangan penuh untuk melakukan audit secara langsung terhadap Danantara,” jelas Haidar alwi.

Menurutnya, ketiadaan pengawasan eksternal ini dapat membuat pengelolaan keuangan dalam proyek ini menjadi kurang transparan. Hal ini bisa berujung pada inefisiensi dalam pengelolaan dana serta munculnya potensi penyelewengan dalam jumlah yang tidak sedikit.

Danantara dan Strategi Negara dalam Menghindari Kenaikan Pajak.

Haidar Alwi menjelaskan bahwa Danantara dirancang sebagai alternatif bagi pemerintah dalam menggalang pemasukan negara tanpa harus menaikkan pajak. Saat ini, pajak masih menjadi sumber utama pemasukan negara, dan setiap kenaikan tarif pajak berpotensi menimbulkan dampak negatif bagi ekonomi nasional, terutama bagi sektor usaha dan daya beli masyarakat.

Prabowo Subianto tampaknya menyadari bahwa kenaikan pajak bukanlah solusi ideal untuk meningkatkan pendapatan negara. Oleh karena itu, ia mendorong strategi lain, yaitu dengan memanfaatkan aset negara secara lebih efektif agar dapat menghasilkan keuntungan yang lebih besar bagi kas negara.

Langkah pertama dalam strategi ini adalah efisiensi anggaran negara. Pemerintah mulai memangkas berbagai pos pengeluaran yang dianggap tidak mendesak dan mengalihkannya menjadi dana investasi yang lebih produktif. Dari langkah ini, pemerintah telah berhasil mengumpulkan dana segar sebesar ratusan triliun rupiah, yang kemudian akan dikelola melalui Danantara.

Namun, jumlah ini masih jauh dari target yang ingin dicapai. Pemerintah menargetkan dana sekitar 14.000 triliun rupiah, sementara yang baru terkumpul sejauh ini hanya sekitar 325 triliun rupiah. Dengan demikian, masih ada kekurangan dana yang cukup besar, dan pertanyaannya adalah dari mana sumber pendanaan tambahan akan diperoleh?

BUMN sebagai Mesin Penghasil Uang.

Sebagai bagian dari strategi besar ini, pemerintah telah memberikan mandat kepada Danantara untuk mengelola tujuh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) strategis, yaitu:

1. Bank Mandiri

2. Bank BRI

3. PLN

4. Pertamina

5. Bank BNI

6. Telkom Indonesia

7. Mining Industry Indonesia (MIND ID)

 

Haidar Alwi menilai bahwa langkah ini cukup cerdas karena memungkinkan pemerintah untuk mengoptimalkan aset negara yang selama ini kurang produktif. Jika dikelola dengan baik, aset-aset tersebut bisa menjadi sumber pemasukan baru bagi negara tanpa harus bergantung pada utang atau pajak.

Namun, ia juga mengingatkan bahwa model pengelolaan aset negara semacam ini bukanlah hal yang baru di dunia. Sejumlah negara telah menerapkan skema serupa dengan hasil yang beragam.

“Singapura memiliki Temasek Holdings, Norwegia mengelola Government Pension Fund, dan Uni Emirat Arab punya Abu Dhabi Investment Authority (ADIA). Tapi di sisi lain, kita juga harus belajar dari kasus Malaysia yang gagal mengelola 1Malaysia Development Berhad (1MDB) dan justru menjadi skandal korupsi besar,” ungkapnya.

Ia menegaskan bahwa keberhasilan proyek ini sangat bergantung pada siapa yang diberi kewenangan untuk mengelolanya. Jika proyek ini dikelola oleh tenaga profesional yang berpengalaman dalam dunia bisnis dan investasi, maka peluang keberhasilannya akan lebih besar. Namun, jika dikelola oleh pihak-pihak yang lebih mementingkan kepentingan politik, maka potensi kegagalannya juga akan semakin tinggi.

Potensi Optimasi Aset Negara.

Selain pengelolaan BUMN, Haidar Alwi juga menyoroti pentingnya optimalisasi aset-aset negara yang selama ini belum dimanfaatkan secara maksimal. Ia menyebut beberapa contoh, seperti:

1. Ribuan hektar lahan kosong milik PLN yang bisa dikembangkan untuk proyek energi hijau atau Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN).

2. Kilang minyak tua milik Pertamina yang bisa di-upgrade tanpa harus meminjam dana dari luar negeri.

3. Lahan kosong yang dimiliki BUMN properti, yang bisa dikembangkan untuk proyek-proyek properti produktif.

 

Jika aset-aset ini bisa dikelola dengan lebih baik, maka Indonesia dapat mengurangi ketergantungan pada utang luar negeri, sekaligus menciptakan sumber pemasukan baru yang lebih stabil bagi negara.

Membuka Pintu bagi Investor Asing.

Selain optimalisasi aset dalam negeri, Danantara juga berperan dalam menarik investasi asing ke Indonesia. Saat ini, Indonesia masih tertinggal jauh dibandingkan negara tetangga seperti Singapura dalam menarik Foreign Direct Investment (FDI).

Pada tahun 2022, Singapura berhasil menarik investasi asing sebesar 141 miliar dolar, sementara Indonesia hanya memperoleh sekitar 21 miliar dolar. Dengan adanya Danantara, pemerintah berharap dapat meningkatkan daya tarik Indonesia di mata investor asing, terutama karena proyek ini akan dikelola dengan pendekatan bisnis yang lebih profesional.

Lima Syarat Agar Danantara Berhasil.

Haidar Alwi menegaskan bahwa agar proyek ini berjalan sesuai harapan, ada beberapa hal yang harus dipenuhi:

1. Transparansi maksimal, agar masyarakat dan investor bisa percaya terhadap proyek ini.

 

2. Dikelola oleh tenaga profesional, bukan oleh pihak-pihak yang memiliki kepentingan politik.

 

3. Tidak bergantung pada utang, melainkan harus menggunakan dividen dari BUMN yang dikelola.

 

4. Fokus pada sektor investasi yang sedang berkembang, seperti teknologi, energi hijau, dan agribisnis.

 

5. Komunikasi yang konsisten, agar pasar modal dan masyarakat tidak bingung dengan arah kebijakan yang diambil pemerintah.

 

Jika semua syarat ini bisa dipenuhi, maka Danantara berpotensi menjadi motor baru pertumbuhan ekonomi Indonesia. Namun, jika proyek ini gagal atau disalahgunakan, maka rakyatlah yang akan menanggung dampaknya, karena pemerintah tidak akan punya pilihan lain selain menaikkan pajak untuk menutup defisit.

"Oleh karena itu, kita harus memastikan bahwa Danantara dikelola dengan baik dan tidak menjadi skandal ekonomi yang justru merugikan bangsa ini," pungkas Haidar Alwi.

Menulis di Uwrite bisa dapat penghasilan, Investasikan tulisan anda sekarang juga
Daftar di sini

Jika anda keberatan dan memiliki bukti atau alasan yang kuat bahwa artikel berita ini tidak sesuai dengan fakta, anda dapat melakukan pengaduan pada tautan ini

Tulis Komentar