Haidar Alwi: Prabowo dan Paradoks Diplomasi, Ketika Moralitas Mengalahkan Arogansi Superpower

Opini | 02 Oct 2025 | 16:49 WIB
Haidar Alwi: Prabowo dan Paradoks Diplomasi, Ketika Moralitas Mengalahkan Arogansi Superpower

Uwrite.id - Haidar Alwi: Prabowo dan Paradoks Diplomasi, Ketika Moralitas Mengalahkan Arogansi Superpower.

R. Haidar Alwi, pendiri Haidar Alwi Care dan Haidar Alwi Institute, melihat Sidang Umum PBB ke-80 pada 23 September 2025 sebagai salah satu momentum paling penting bagi Indonesia di abad ini. Dunia menyaksikan Presiden Prabowo Subianto bukan sebagai pemimpin yang menebar ancaman, melainkan sebagai negarawan yang berani mengetuk nurani global dengan gebrak meja yang menggema. “Itulah simbol bahwa diplomasi kita tidak pernah kehilangan roh moralnya. Keberanian yang lahir dari integritas jauh lebih menggetarkan daripada arogansi militer,” ungkap Haidar Alwi.

Dari titik inilah, paradoks diplomasi Indonesia kembali menjadi sorotan dunia. Untuk memahami paradoks ini, kita perlu menoleh ke belakang, melihat bagaimana akar diplomasi Indonesia terbentuk sejak awal kemerdekaan.

Jejak Sejarah dan DNA Diplomasi Indonesia.

Sejarah diplomasi Indonesia selalu dibangun di atas integritas, bukan dominasi. Tahun 1947, H. Agus Salim tampil di forum PBB dan mengubah arah sejarah dengan penguasaan bahasa internasional dan ketajaman logika. Ia berhasil meraih pengakuan kedaulatan Indonesia dari negara-negara Arab tanpa satu pun tembakan.

Delapan tahun setelahnya, Soekarno memperluas panggung lewat Konferensi Asia-Afrika Bandung 1955. Pidato “Let a New Asia and a New Africa be Born” melahirkan Dasasila Bandung yang menjadi fondasi Gerakan Non-Blok. Dengan cara itu, Indonesia tampil sebagai bridge builder di tengah Perang Dingin.

Estafet moral ini berlanjut hingga kini. Prabowo hadir di PBB dengan gaya abad ke-21: singkat, tegas, namun sarat makna. “Dari Agus Salim hingga Soekarno, diplomasi kita konsisten menekankan moral authority. Prabowo hanya melanjutkan DNA itu, tapi dalam konteks global yang lebih kompleks,” jelas Haidar Alwi. 

Sejarah panjang ini menjelaskan mengapa gebrak meja Prabowo punya resonansi yang begitu kuat di forum internasional.

Paradoks Prabowo vs Trump.

Kontras terlihat jelas ketika Donald Trump dan Prabowo berbicara di podium yang sama. Trump menghabiskan waktu 56 menit, penuh retorika konfrontatif, meremehkan PBB, bahkan menolak isu iklim sebagai realitas. Ruangan terasa kaku, delegasi gelisah, dan tidak ada tepuk tangan spontan yang terdengar.

Sebaliknya, Prabowo berbicara hanya 15–20 menit. Ia menegaskan pentingnya multilateralisme, mengakui krisis iklim, dan menghadirkan komitmen konkret: 20.000 pasukan perdamaian TNI siap diterjunkan dalam Peacekeeping Operations (PKO) di Gaza, Ukraina, dan Sudan. Ia juga menyinggung ketahanan pangan Indonesia yang mencapai rekor tertinggi, siap digunakan untuk membantu rakyat Palestina.

“Diplomasi Prabowo adalah bentuk smart power ala Nusantara. Soft power dari Pancasila dipadukan dengan komitmen nyata berupa pasukan perdamaian dan cadangan pangan, sehingga melahirkan moral deterrence yang jauh lebih kuat daripada strategic deterrence militer,” tegas Haidar Alwi. 

Pandangan itu bukan sekadar teori, melainkan langsung terbukti di ruang sidang.

Respons dunia membenarkan hal itu. Delapan kali tepuk tangan spontan bergema, diakhiri dengan standing ovation yang menggetarkan. Bahkan Trump, yang sebelumnya meremehkan PBB, akhirnya ikut memuji. Baginya, pidato Prabowo adalah salah satu yang paling berkesan. Haidar Alwi menilai, pengakuan dari lawan politik semacam ini bukan sekadar pujian, melainkan kemenangan moral yang sesungguhnya. Untaian peristiwa itu menggambarkan jelas bagaimana Indonesia mampu mencuri pusat perhatian dunia dengan kekuatan moral.

Implikasi Global dan Pesan untuk Bangsa.

Momentum ini, bila dilihat lebih jauh, menandai pergeseran geopolitik global. Dunia kini lelah dengan unilateralisme yang arogan. Negara menengah dengan kredibilitas moral, seperti Indonesia, justru tampil sebagai alternatif kepemimpinan. Inilah yang dalam teori hubungan internasional disebut middle power diplomacy, ketika sebuah bangsa, meski bukan superpower, mampu menentukan arah dunia karena integritasnya.

Indonesia kembali ke jalur multilateralisme setelah sempat redup. Prabowo menegaskan politik luar negeri bebas-aktif sebagai amanat UUD 1945, dan dunia menyambutnya dengan antusias. “Dunia percaya pada Indonesia bukan karena jumlah kapal induk atau rudalnya, melainkan karena keberanian moral yang tidak dimiliki bangsa lain. Jika integritas itu tergadaikan, maka hilanglah kekuatan terbesar kita,” ujar Haidar Alwi. 

Peringatan ini membawa kita pada kesadaran yang lebih dalam, bahwa diplomasi bukan sekadar retorika, melainkan amanah sejarah yang harus terus dijaga.

Dengan demikian, gebrak meja Prabowo bukan sekadar gestur dramatis. Ia adalah ketukan yang membangunkan kesadaran dunia bahwa moralitas masih punya tempat di panggung internasional. Bagi bangsa Indonesia sendiri, momen itu menjadi pengingat untuk selalu menjaga DNA diplomasi Nusantara. “Prabowo telah menunjukkan jalan bahwa diplomasi Indonesia mampu mengalahkan arogansi superpower dengan ketegasan tanpa agresi, dengan keadilan tanpa kompromi, dan dengan integritas yang tidak bisa ditawar,” pungkas Haidar Alwi.

Menulis di Uwrite bisa dapat penghasilan, Investasikan tulisan anda sekarang juga
Daftar di sini

Jika anda keberatan dan memiliki bukti atau alasan yang kuat bahwa artikel berita ini tidak sesuai dengan fakta, anda dapat melakukan pengaduan pada tautan ini

Tulis Komentar