Haidar Alwi: Polri Paling Siap Diawasi, Saatnya Semua Lembaga Menjaga Keseimbangan Hukum

Hukum | 07 Oct 2025 | 07:43 WIB
Haidar Alwi: Polri Paling Siap Diawasi, Saatnya Semua Lembaga Menjaga Keseimbangan Hukum

Uwrite.id - R. Haidar Alwi, pendiri Haidar Alwi Care dan Haidar Alwi Institute, memandang penegakan hukum bukan sekadar perkara kewenangan, tetapi perkara kesadaran moral dan tanggung jawab publik. Kemajuan lembaga penegak hukum tidak diukur dari seberapa luas kekuasaan yang dimilikinya, melainkan dari seberapa besar keberaniannya untuk diawasi. Dalam pandangan Haidar Alwi, Polri telah menjadi contoh nyata lembaga yang paling siap menerima kritik dan koreksi, sedangkan sebagian institusi lain masih enggan tunduk pada mekanisme kontrol lintas lembaga.

“Polri tidak meminta kekuasaan, tapi menjalankan amanat hukum dengan keterbukaan. Lembaga besar bukan yang berkuasa tanpa batas, melainkan yang berani diawasi tanpa takut kehilangan martabat. Itulah tanda kedewasaan hukum,” ujar Haidar Alwi.

Kematangan Moral dan Teladan Polri.

Menurut Haidar Alwi, moralitas adalah inti dari reformasi hukum nasional. Tanpa moral, semua aturan hanya menjadi prosedur kosong yang kehilangan makna. Polri di era Presiden Prabowo Subianto dan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo telah menunjukkan tingkat kedewasaan moral yang tinggi dengan membuka diri terhadap pengawasan publik dan memperkuat peran koordinasi dengan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) di bawah mekanisme Korwas PPNS.

Berdasarkan KUHAP Pasal 6 ayat (1), Polri ditetapkan sebagai penyidik utama dalam perkara pidana. Ketentuan ini diperkuat oleh Perkapolri Nomor 20 Tahun 2010 tentang Koordinasi, Pengawasan, dan Pembinaan terhadap PPNS. Artinya, secara hukum, Polri tidak hanya memegang peran teknis penyidikan, tetapi juga menjadi pengawas dan pengendali moral dalam proses penegakan hukum di ranah sipil. Hal ini menunjukkan karakter institusi yang matang, modern, dan siap dikoreksi.

“Ketika lembaga sebesar Polri mau diawasi dan mau berbagi kewenangan dengan PPNS, itu artinya Polri tidak takut transparansi. Inilah bentuk reformasi sejati, bukan memperluas wewenang, tapi memperluas kepercayaan publik,” tegas Haidar Alwi.

Kejaksaan dan Tantangan Keseimbangan Hukum.

Haidar Alwi menilai akar ketimpangan sistem hukum nasional justru terletak pada tumpang tindih kewenangan antara Polri dan Kejaksaan. Sejak disahkannya Undang-Undang Kejaksaan Nomor 11 Tahun 2021, Jaksa diberi kewenangan untuk melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu, terutama korupsi dan pelanggaran HAM berat. Meski secara normatif bersifat lex specialis, implementasinya di lapangan justru menimbulkan persoalan serius.

Ketika Jaksa bertindak sekaligus sebagai penyidik dan penuntut dalam kasus yang sama, fungsi check and balance hilang. Mekanisme hukum seperti P-19 (pengembalian berkas perkara yang belum lengkap) dan P-21 (pemberitahuan kelengkapan berkas perkara) menjadi formalitas yang kehilangan makna. Padahal, dua tahapan itu dirancang untuk memastikan agar penyidikan diuji dua kali, satu oleh penyidik, satu oleh penuntut umum. Tanpa pemisahan itu, sistem hukum berisiko berjalan tanpa koreksi.

“Kalau Jaksa ingin menjalankan fungsi penyidikan, maka harus bersedia diawasi sebagaimana PPNS yang tunduk pada koordinasi Polri. Prinsipnya sederhana: siapa pun yang memegang fungsi penyidikan harus terbuka terhadap pengawasan. Sementara Polri, dengan segala kewenangannya, justru bersedia diawasi dan berbagi peran. Itu menunjukkan kedewasaan moral dalam penegakan hukum,” tegas Haidar Alwi.

Haidar Alwi juga menyoroti bahwa dalam konteks Rancangan KUHAP (RKUHAP) 2025, isu penyidikan oleh Jaksa menjadi bahan tarik-menarik antara pemerintah, DPR, dan kalangan hukum. Draf RKUHAP yang sedang dibahas menjelang pemberlakuan KUHP baru pada 2026 mengusulkan pembatasan ruang penyidikan oleh Kejaksaan agar tetap selaras dengan prinsip koordinasi penegakan hukum terpadu. Namun, sebagian pihak justru ingin mempertahankan kewenangan Jaksa menyidik korupsi sebagai langkah pemberantasan yang cepat.

Selain itu, terdapat pasal-pasal dalam RKUHAP yang juga menimbulkan kekhawatiran publik, seperti pembatasan objek praperadilan ketika upaya paksa telah berizin dari pengadilan negeri, serta penguatan peran Jaksa dalam tahapan prapenuntutan. Menurut Haidar Alwi, wacana tersebut perlu dikawal agar tidak menggeser semangat check and balance yang sudah menjadi roh KUHAP sejak 1981.

“Negara ini tidak kekurangan aturan, tapi sering kehilangan keseimbangan. Hukum yang sehat itu harus punya dua mata: penyidik di satu sisi, pengendali di sisi lain. Kalau kedua peran itu dipegang satu tangan, keadilan bisa buta,” ungkap Haidar Alwi.

Menata Ulang Struktur dan Pengawasan Hukum Nasional.

Haidar Alwi menilai bahwa *Indonesia perlu menerapkan sistem dua lapis pengawasan hukum atau dual control justice system.* Dalam konsep ini, Polri tetap menjadi pelaksana utama penyidikan sebagaimana amanat KUHAP, sedangkan Kejaksaan berperan sebagai judicial controller, pengendali formil yang memastikan legalitas, kelengkapan, dan kepatuhan berkas perkara sebelum masuk ke tahap penuntutan.

Sistem dua lapis ini, bukan bentuk persaingan antar lembaga, melainkan mekanisme saling jaga agar hukum tidak jatuh ke tangan satu institusi yang tak terkendali. Dengan model seperti ini, fungsi P-19 dan P-21 hidup kembali, pengawasan berjalan dua arah, dan potensi penyimpangan dapat ditekan. Lebih jauh, model ini justru memperkuat kredibilitas Kejaksaan, bukan melemahkannya.

Haidar Alwi juga menyinggung soal kesetaraan hukum bagi lembaga lain, termasuk TNI. Berdasarkan UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI dan UU Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer, prajurit aktif yang terlibat tindak pidana umum seharusnya tunduk pada peradilan umum. Namun, dalam praktiknya, masih banyak perkara yang tertutup dalam sistem militer. Menurut Haidar Alwi, ini juga harus dibenahi agar prinsip keadilan berlaku sama di semua institusi negara.

“Kalau Polri bisa membuka diri terhadap pengawasan publik, lembaga lain pun harus berani melakukan hal serupa. Karena hukum tidak boleh menjadi tameng, tetapi cermin yang memantulkan kejujuran lembaga,” ujar Haidar Alwi.

Menjaga Marwah Keadilan di Era Prabowo.

Dalam pandangan Haidar Alwi, arah reformasi hukum di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto seharusnya tidak lagi berfokus pada perubahan struktur, tetapi pada penguatan moral lembaga dan keseimbangan kewenangan. Haidar Alwi melihat Polri saat ini sudah menjadi pilar moral bangsa, sementara Kejaksaan harus mengambil langkah serupa dengan menegaskan komitmen terhadap transparansi dan koordinasi lintas lembaga.

“Bangsa ini butuh lembaga hukum yang saling mengawasi, bukan saling meniadakan. Butuh aparat yang berani jujur, bukan hanya pintar berpasal. Reformasi hukum bukan tentang memperluas kewenangan, tetapi memperluas tanggung jawab moral,” tutur Haidar Alwi.

Sistem hukum yang baik tidak boleh menempatkan satu lembaga di atas hukum lain. Keadilan yang sejati hanya lahir ketika semua lembaga bersedia diawasi dengan cara yang sama, di bawah prinsip kesetaraan hukum di mata rakyat. Dalam konteks itu, Polri menjadi contoh nyata bagaimana reformasi struktural sudah selesai, dan kini yang dibutuhkan adalah reformasi moral di seluruh lini penegak hukum.

“Reformasi hukum tanpa moral hanyalah kekuasaan yang berganti wajah. Tapi kalau moral ditegakkan, keadilan akan hidup, dan rakyat akan percaya kembali pada hukum negaranya,” pungkas Haidar Alwi.

Menulis di Uwrite bisa dapat penghasilan, Investasikan tulisan anda sekarang juga
Daftar di sini

Jika anda keberatan dan memiliki bukti atau alasan yang kuat bahwa artikel berita ini tidak sesuai dengan fakta, anda dapat melakukan pengaduan pada tautan ini

Tulis Komentar