Haidar Alwi: Legalitas Tambang Rakyat Adalah Jalan Tengah Antara Hukum dan Keadilan Sosial

Uwrite.id - R. Haidar Alwi, pendiri Haidar Alwi Care dan Haidar Alwi Institute, memaparkan fakta yang sulit dibantah: tujuh dari sepuluh provinsi termiskin di Indonesia justru merupakan wilayah penghasil tambang besar. Papua dengan emas dan tembaganya, Nusa Tenggara Barat dengan gunung-gunung emasnya, Maluku dengan nikelnya, hingga Aceh dengan migasnya, semuanya menunjukkan paradoks antara kekayaan alam dan kemiskinan rakyat.
Menurut Haidar Alwi, persoalan ini bukan pada tambangnya, melainkan pada cara negara menata sistemnya. *“Selama rakyat kecil dilarang menambang di tanahnya sendiri sementara korporasi besar bebas menguasai ribuan hektare, maka hukum telah berubah dari alat keadilan menjadi pagar ketimpangan,”*
Haidar Alwi menilai hukum pertambangan selama ini masih beraroma kolonial: kekayaan alam dikuasai segelintir pemodal, sementara masyarakat di sekitar tambang hanya menjadi penonton. Akibatnya, daerah tambang tetap miskin, infrastruktur tertinggal, dan rakyat tidak pernah menikmati hasil bumi yang mereka pijak setiap hari.
*Dari Ketimpangan Hukum ke Peluang Baru.*
Perubahan arah mulai terlihat setelah disahkannya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2025 tentang Perubahan Keempat atas UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Dalam undang-undang baru ini, semangat pemerataan mulai mendapat tempat.
Salah satu ketentuan penting terdapat pada Pasal 35 ayat (3), yang menegaskan:
“Pemerintah memberikan prioritas Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) kepada koperasi, usaha kecil-menengah, serta badan usaha milik ormas keagamaan dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat.”
Bagi Haidar Alwi, pasal ini merupakan pintu masuk menuju paradigma baru. Negara kini tidak sekadar mengawasi, tetapi juga memberdayakan rakyat tambang. *“Untuk pertama kalinya, hukum memberi ruang bagi rakyat tambang agar bisa beroperasi secara sah di bawah perlindungan negara,”* kata Haidar Alwi.
Kebijakan ini diperkuat dengan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2024 yang menegaskan bahwa Izin Pertambangan Rakyat (IPR) dapat diberikan maksimal lima hektare untuk individu dan sepuluh hektare untuk koperasi. Menurut Haidar Alwi, ini langkah penting menuju keseimbangan antara hukum dan keadilan sosial.
*Koperasi Tambang Sebagai Jalan Tengah.*
Untuk menjembatani hukum dengan keadilan sosial, Haidar Alwi menawarkan model Koperasi Pertambangan Rakyat Nusantara (KOPERTARA). Melalui koperasi, rakyat bisa menambang secara legal, terorganisasi, dan berkelanjutan. *“Legalitas tambang rakyat adalah jalan tengah antara hukum dan keadilan sosial,”* tegas Haidar Alwi.
Haidar Alwi menjelaskan bahwa koperasi bukan sekadar alat ekonomi, tetapi simbol pengakuan negara terhadap kemandirian rakyat. Dengan sistem koperasi, rakyat tidak lagi berhadapan dengan hukum, melainkan menjadi bagian dari sistem hukum itu sendiri.
Haidar Alwi juga mendorong pembentukan Zona Afirmasi Ekonomi Rakyat di wilayah kaya sumber daya, seperti NTB, Maluku, dan Sulawesi Tengah, agar koperasi tambang lokal memperoleh kemudahan perizinan, pelatihan, serta perlindungan sosial. *“Kalau desa tambang kuat, negara tidak akan pernah bergantung pada investor asing,”* tegas Haidar Alwi.
*Kepemimpinan Baru dan Arah yang Lebih Berkeadilan.*
Haidar Alwi menilai bahwa pemerintahan Presiden Prabowo Subianto memiliki peluang besar untuk membalik paradigma ekonomi sumber daya alam yang selama ini tersentralisasi. Ia melihat kebijakan hilirisasi, industrialisasi dalam negeri, dan reformasi birokrasi perizinan sebagai tanda negara sedang kembali kepada semangat Pasal 33 UUD 1945.
*“Presiden Prabowo memiliki ruang sejarah yang besar untuk menulis bab baru dalam politik sumber daya alam Indonesia, dukungan terhadap tambang rakyat bukan sekadar kebijakan ekonomi, tapi perwujudan keadilan yang sesungguhnya.”*
Haidar Alwi menilai daerah seperti Sekotong dan Dompu di Nusa Tenggara Barat dapat menjadi laboratorium nasional bagi tambang rakyat berkeadilan. Dengan izin yang sah, teknologi bersih, dan pengawasan terbuka, wilayah-wilayah itu bisa membuktikan bahwa hukum dan kesejahteraan dapat berjalan beriringan.
Menyatukan Hukum dan Keadilan Sosial.
Bagi Haidar Alwi, hukum dan keadilan sosial tidak boleh berjalan sendiri-sendiri. Hukum tanpa keadilan hanya menimbulkan ketakutan, sementara keadilan tanpa hukum menimbulkan kekacauan. Keduanya harus bersatu untuk melindungi rakyat.
Haidar Alwi menegaskan bahwa revisi UU Minerba dan seluruh peraturan turunannya akan sia-sia bila tidak dijalankan dengan hati yang berpihak. *“Undang-undang yang baik tanpa pelaksanaan yang adil hanya akan menjadi teks kosong,”*
“Tidak boleh ada rakyat lapar di tanah emas. Hukum sejati adalah yang menegakkan martabat manusia dan memberi tempat bagi rakyat di tanahnya sendiri,” pungkas Haidar Alwi.
Tulis Komentar