Haidar Alwi: Kenapa Prabowo Tak Gentar Saat IHSG Anjlok?

Uwrite.id - R. Haidar Alwi, pendiri Haidar Alwi Care dan Haidar Alwi Institute, menyampaikan pandangan kritis sekaligus optimistik terhadap dinamika ekonomi nasional yang tengah berlangsung di bawah pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. Menurutnya, situasi terkini bukan sekadar turbulensi biasa dalam bursa, melainkan refleksi mendalam dari kerusakan struktur distribusi ekonomi yang terlalu lama dikuasai segelintir elit finansial.
"Kita sedang menyaksikan dislokasi antara realitas ekonomi masyarakat dan permainan spekulatif para elite pasar," ungkap Haidar Alwi dalam narasi analitiknya. IHSG yang terjun bebas, koreksi teknikal ekstrem, hingga volatilitas yang tak kunjung stabil bukan sekadar anomali statistik. Fenomena ini, dalam bahasa Aristotelian, adalah wujud dari akratic behavior—ketika pelaku kebijakan tahu apa yang benar, tapi memilih yang salah karena dorongan hasrat jangka pendek.
Ketika Pasar Saham Bukan Lagi Cermin Ekonomi Nyata.
Seiring dengan kinerja indeks yang melemah dan nilai tukar rupiah yang merosot, banyak analis menyeret Presiden Prabowo ke pusaran tanggung jawab seolah beliaulah aktor utama dalam tiap tick dan candle yang turun di layar perdagangan. Namun, Haidar Alwi menegaskan bahwa logika tersebut cacat nalar. “Saham itu bukan demokrasi ekonomi, tapi aristokrasi uang. Fluktuasinya tidak merepresentasikan denyut nadi warung, sawah, atau bengkel kecil di pelosok negeri.”
Presiden Prabowo tidak salah saat menyebut bursa sebagai arena spekulatif yang tak bersinggungan langsung dengan rakyat kecil. Istilah money-on-money violence atau kekerasan uang atas uang, menjadi realitas di mana dana besar hanya berputar dalam kalangan terbatas—membeli obligasi, memutar reksa dana, menjual surat utang negara, lalu kembali dibeli oleh institusi yang sama. Circularity ini menciptakan hyperfluidity tanpa menyentuh sektor rill.
Anomali Ekonomi dan Ironi Harga.
Yang lebih mengejutkan, menurut Haidar Alwi, bukan hanya kemerosotan indeks atau depresiasi rupiah. “Ironi terbesarnya adalah ketika nilai tukar melemah, harga barang justru stagnan atau malah turun. Ini bukan demand destruction biasa, ini ekonomi vakum, di mana daya beli seolah hilang ke ruang hampa,” tegasnya. Secara teori monetaris, depresiasi mata uang harusnya mengerek inflasi. Tapi dalam kondisi saat ini, yang terjadi adalah disinflation paradox—anomali dari anomali.
Fenomena ini memperkuat argumen bahwa ada pembelahan tajam antara ekonomi elite dan ekonomi rakyat. Yang satu sibuk dengan capital gain, yang lain bergulat dengan beras dan minyak goreng. Maka, kata Haidar Alwi, Presiden Prabowo benar-benar menyentuh jantung permasalahan ketika mendorong penguatan sektor riil dan mereformasi distribusi fiskal.
Solusi Prabowo: Mengakhiri Ilusi Pasar Bebas.
Menurut Haidar Alwi, langkah Prabowo membentuk Danantara bukan hanya sekadar inisiatif teknokratis, tapi revolusi epistemik dalam pengelolaan keuangan negara. “Ini bukan soal BUMN baru, ini soal reclaiming sovereignty atas instrumen ekonomi bangsa. Negara harus kembali menjadi aktor utama, bukan penonton,” ujar Haidar Alwi.
Ia menyoroti bahwa selama ini APBN lebih mirip lumbung bocor ketimbang alat produksi nasional. Data ICOR (Incremental Capital Output Ratio) Indonesia yang tertinggi di kawasan ASEAN, menjadi sinyal bahwa modal yang ditanam tidak menghasilkan output signifikan. Dalam logika utility maximization, ini menunjukkan misallocation dan inefficiency akut.
Tarif Impor dan Perang Dagang: Saatnya Menjawab Tantangan Global
Penerapan tarif impor 32% terhadap produk Indonesia oleh mitra dagang global bukan sekadar persoalan bilateral, tapi cerminan dari gelombang deglobalisasi yang sudah mengakar sejak era Trump. Haidar Alwi menyebut ini sebagai fase neo-merkantilisme, di mana negara-negara besar kembali pada proteksionisme sebagai bentuk survival ekonomi.
Bagi Indonesia, langkah terbaik bukan mengemis negosiasi, tapi membangun resilience domestik. “Kita harus masuk ke fase import-substitution industrialization. Produksi lokal harus menjadi tuan rumah, bukan hanya narasi politik menjelang kampanye,” tegas Haidar Alwi.
Haidar alwi menyebut bahwa "kita tidak bisa masuk ke sungai yang sama dua kali." Dunia telah berubah. Pasar bebas telah bubar secara diam-diam, dan sekarang dunia sedang menyusun ulang arsitektur ekonomi berbasis negara. Presiden Prabowo membaca arah sejarah ini dengan sangat tepat.
Namun elite politik dan finansial di Indonesia, menurut Haidar Alwi, masih terjebak dalam zeitgeist masa lalu. Mereka menyeret Prabowo ke dalam logika yang sudah usang yakni pasar sebagai Tuhan. “Padahal, seperti kata Kierkegaard, ketakutan terbesar manusia adalah kebebasan itu sendiri. Dan pasar bebas itu kini telah kehilangan legitimasi moral dan fungsional.”
Negara Kuat, Rakyat Bangkit.
Meski tantangan begitu besar, Haidar Alwi optimis bahwa Presiden Prabowo mampu memimpin transisi menuju ekonomi berdaulat. Dengan konsolidasi fiskal, restrukturisasi APBN, serta pelembagaan kontrol negara atas sumber daya strategis, Indonesia bisa keluar dari jerat dependency syndrome terhadap modal asing dan logika pasar.
Ia mengajak semua pihak untuk berhenti menyandera kepala negara dengan retorika usang. “Cukup sudah Indonesia menjadi periphery dalam sistem global. Saatnya kita menjadi subject, bukan object,” pungkas Haidar Alwi.
Tulis Komentar